Tony Gunawan: Legenda Indonesia dan Amerika

Tony Gunawan | CNN Indonesia
Rabu, 23 Jun 2021 19:03 WIB
Tony Gunawan mengukir sejarah manis di bulutangkis Indonesia dan Amerika Serikat. Simak penuturan Tony tentang perjalanan kariernya.
Tony Gunawan merupakan legenda ganda putra Indonesia. (AFP/ADRIAN DENNIS)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sehari sebelum final Olimpiade Sydney 2000, saya memutuskan untuk menonton final ganda campuran. Waktu Tri Kusharjanto/Minarti Timur kalah, saya merasakan ketegangan luar biasa.

Saat itu saya dan Candra Wijaya sudah berhasil masuk ke final Olimpiade. Dalam perjalanan menuju final, saya sama sekali tidak merasakan ketegangan. Hal itu lantaran persiapan yang baik.

Selama persiapan Olimpiade saya rasa persiapan kami sangat bagus. Beberapa bulan sebelum Olimpiade, Candra menginginkan suasana pertandingan. Sedangkan saya justru inginnya hanya latihan tanpa mau ikut pertandingan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akhirnya Candra sempat dikirim turnamen Malaysia Open bersama Antonius Budi Ariantho, sedangkan saya berlatih di Cipayung. Secara keseluruhan, persiapan saya dan Candra sangat bagus dan Koh Herry Iman Pierngadi mendukung keinginan dan kenyamanan kami berdua untuk menghadapi Olimpiade.

Sepanjang perjalanan menuju final Olimpiade, saya tidak merasakan ketegangan. Saat wakil Indonesia lain tersingkir, saya hanya fokus pada diri sendiri.

Di semifinal kami bisa mengalahkan Ha Tae Kwon/Kim Dong Moon. Di All England kami kalah dari mereka. Karena persiapan dan latihan mati-matian, kami bisa menang dua set langsung, padahal biasanya kami harus lewat rubber game kalau menghadapi mereka.

Indonesia's Candra Wijaya (L) and partner Tony Gunawan drape themselves in the national flag after defeating South Korea's Lee Dong-Soo and Yoo Yong-Sung in the men's doubles badminton final 21 September 2000 at the Sydney Olympic Park Pavillions. The Indonesia pair won 15-10, 9-15, 15-7 to take gold while the Korean pair settled for silver. AFP PHOTO/Robyn BECK (Photo by ROBYN BECK / AFP)Tony Gunawan (kanan) bersama Candra Wijaya jadi peraih medali emas Olimpiade Sydney 2000. (AFP/ROBYN BECK)

Dalam perjalanan menuju final, saya merasa penampilan kami sangat bagus, baik dari segi mental maupun persiapan latihan.

Seharusnya kami jangan nonton final ganda campuran, tetapi ada rasa ingin nonton. Dalam pikiran saya bila sudah satu emas di tangan, saya bisa lebih tenang.

Ternyata ganda campuran Indonesia kalah setelah unggul jauh di gim kedua dan menang di gim pertama. Karena ganda campuran kalah, saya mulai merasakan ketegangan yang sebelumnya tidak dirasakan.

Di babak final melawan Lee Dong Soo/Yoo Yong Sung, setelah menang di gim pertama, kami ternyata kalah di gim kedua. Saya mulai merasa tegang sekali.

Rekor kami melawan Lee/Yoo bagus. Memang pernah kalah, tetapi tidak banyak. Setelah kalah di gim kedua, saya merasa agak down. Kok sepertinya susah sekali jadinya pertandingan ini.

Di awal gim ketiga pertandingan masih ramai. Skor 3-3, lalu 4-4. Terus saya berpikir, kami sudah latihan, sudah mati-matian, terserah Yang Di Atas apa hasilnya. Saya hanya fokus dan berusaha melakukan yang terbaik.

Setelah berpikir seperti itu, main malah jadi lebih enak, semuanya balik seperti semula. Kami bisa unggul jauh 13-6 dan akhirnya menang.

Kami bisa juara Olimpiade!

Emas jelas jadi target saat tampil di Olimpiade. Begitu menang rasanya seperti dream comes true, namun saya masih bertanya-tanya: 'Apakah ini benar?', sulit digambarkan dengan jelas perasaan yang saya alami seperti apa.

Men's doubles badminton gold medalist Candra Wijaya (CL) and Tony Gunawan of Indonesia, silver medalists Lee Dong-Soo (L) and Yoo Yong-Sung of South Korea and bronze medalists Kim Dong-Moon (2nd R) and Ha Tae-Kwon of South Korea pose on the podium during the award ceremony 21 September 2000 at the Sydney Olympic Park Pavillions.   AFP PHOTO/Robyn BECK (Photo by ROBYN BECK / AFP)Duet Candra/Tony berdiri di podium tertinggi Olimpiade 2000. (AFP/ROBYN BECK)

Momen Pasangan dengan Candra

Dua tahun sebelum Olimpiade, saya yang waktu itu berpasangan dengan Halim Haryanto sudah duduk di peringkat dua dunia. Bahkan saya dan Halim pernah duduk di posisi nomor satu dunia meski hanya satu minggu.

Saat itu kami hanya kalah dari Candra Wijaya/Sigit Budiarto yang jadi ganda nomor satu dunia.

Ketika Sigit terganjal kasus doping, saya dipanggil pelatih dan PBSI. Saya dicoba dipasangkan dengan Candra. Saya sempat berargumen bahwa saya dan Halim sudah ada di posisi kedua dunia, tetapi keputusan tetap tak berubah dari PBSI

Situasi dengan sekarang beda sekali. Dulu cuma boleh mengikuti. Saya bukan menolak, tetapi situasinya sulit bagi saya karena saya dan Halim sudah punya hasil bagus, hanya kalah dari Candra/Sigit.

Sungguh situasi yang susah dan dilema. Saya berpikir bahwa saya cuma bisa melakukan yang terbaik. Di awal pasangan, tidak terlalu enak main bersama Candra. Hasil juga tidak terlalu bagus.

Dari Singapore Open 1998 sampai awal 1999 belum bagus. Asian Games malah kalah di babak pertama. Di Hong Kong juara tetapi saat itu banyak lawan yang tidak ikut.

Saya sebenarnya dengan Candra lebih akrab dibandingkan dengan Halim. Saya dan Candra seumuran dan kami memang sekamar. Sudah lama kami sekamar sebelum berpasangan. Sudah seperti saudara.

Saat diputuskan berpasangan, perasaan yang mendominasi saya adalah perasaan tidak enak karena situasi, bukan karena merasa tidak cocok dengan Candra.

The Indonesian mens' doubles team of Chandra Wijaya (R) and Tony Gunawan wait for a return during the finals at the Malaysian Open Badminton Championship in Shah Alam 04 July 1999. Wijaya and Gunawan beat compatriots Flandi Limpele and Eng Hian in straight games 15-6, 15-11.             AFP PHOTO/Shamshahrin SHAMSUDIN (Photo by SHAMSHAHRIN SHAMSUDIN / AFP)Tony Gunawan mengaku memikul bayak beban saat baru berpasangan dengan Candra Wijaya. (AFP/SHAMSHAHRIN SHAMSUDIN)

Beban di diri saya berat dan kompleks. Candra/Sigit juara dunia 1997, dan saya merasakan beban saat ditunjuk menggantikan Sigit, meskipun saat itu saya sudah jadi nomor dua dunia.

Beban saya ke Halim juga besar. Jadi hal itu lumayan terasa ke mental dan pikiran sehingga berpengaruh pada permainan. Sampai pada 1999 baru mulai ada hasil.

Kami bisa jadi juara All England 1999, pemain nomor satu dunia, dan juara Olimpiade.

Reuni dengan Halim

Setelah juara Olimpiade 2000, kami diarak dan banyak acara. Alhasil, selama dua bulan tidak terlalu rutin latihan. Banyak wawancara dan harus bertemu ini-itu.

Karena saat itu latihan tidak terlalu rutin, duet Candra/Tony sempat break. Saya partner sama Rexy Mainaky untuk Kejuaraan Asia.

Saya berpikir bila sama Candra tentu tidak boleh kalah di tiap pertandingan, terlebih habis juara Olimpiade. Kalau sama yang lain kan lebih rileks. Saya dan Rexy juara Kejuaraan Asia saat itu.

Setelah juara Badminton Grand Prix di 2000 kami berempat: saya dan Candra serta Sigit dan Halim, bersama pelatih, mengambil keputusan bersama.

Saya kembali berpasangan dengan Halim sedangkan Candra kembali berpasangan dengan Sigit. Sigit pernah dicoba dengan Halim dan hasilnya kurang cocok.

Saya setuju-setuju saja. Dulu, sebagai pemain memang tidak terlalu ada suara. Tiap keputusan tentu ada efek positif dan negatif.

Saya selalu memilih semuanya dibuat simpel. Sama siapa saja berpasangan, ya main saja. Memang sayang bila berpikir tentang ranking, tetapi mau bagaimana lagi. Jalani saja.

Setelah keputusan tersebut, banyak yang bertanya tentang perubahan pasangan ganda Indonesia. Tetapi bila dipikir-pikir, perubahan pasangan itu terbukti tepat.

Di All England 2001, ada tiga ganda Indonesia di semifinal. Dengan pertukaran pasangan, ganda putra Indonesia bisa tetap dominasi.

Saya dan Halim tak menyangka bisa jadi juara All England 2001 saat itu. Bertemu Candra/Sigit di final, beban memang lebih besar ke mereka meski saat itu kami sama-sama baru kembali dipasangkan.

Setelah juara All England saya dan Halim juga tak mengumbar optimisme tinggi ketika berlaga di Kejuaraan Dunia 2001. Kami benar-benar tidak punya keyakinan langsung untuk membidik juara, tetapi melihat satu per satu lawan terlebih dulu.

Di semifinal hampir kalah dari ganda Malaysia. Saat tampil di semifinal, badan saya agak panas, tetapi Halim bisa melakukan cover lapangan dengan baik sehingga kami bisa menang.

Di final kami melawan Ha Tae Kwon/Kim Dong Moon. Karena kami pasangan baru, beban lebih besar ke mereka. Saya benar-benar tak menyangka bisa jadi juara dunia 2001. Bagi saya semua hanya benar-benar coba saya jalani saja.

Setelah jadi juara dunia 2001, tebersit dalam pikiran saya bahwa saya sudah meraih prestasi tertinggi di bulutangkis yaitu emas Olimpiade dan juara dunia. Saya tidak mau terus berada di bulutangkis.

Saya pikir mau apalagi saya setelah ini. Saya masih muda saat itu, 26 tahun, namun saya berpikir tidak mau terus di dunia bulutangkis saja.

Indonesia's Halim Haryanto (L) and Tony Gunawan hold their trophies after winning the men's doubles final match against fellow countrymen Sigit Budiarto  and Candra Wijaya 11 March 2001, at the the All England Badminton Championships in Birmingham. Haryanto and Gunawan won the match 15-13,  7-15, 15-7.   AFP PHOTO/ADRIAN DENNIS (Photo by ADRIAN DENNIS / AFP)Bersama Halim Haryanto, Tony Gunawan jadi juara All England 2001 dan Kejuaraan Dunia 2001. (AFP/ADRIAN DENNIS)

Sempat Malas Main Bulutangkis

Saya sudah kenal bulutangkis sejak kecil, sejak usia lima tahun. Karena papa dan mama sering main bulutangkis dan saya sering dibawa. Papa melatih di klub, mantan atlet provinsi, namun tidak bisa tembus level nasional.

Saya sudah dilatih sejak umur lima tahun, meski malas-malasan karena sebenarnya saya hanya diikutkan latihan bareng kakak yang sudah delapan tahun.

Umur 9-10 tahun saya sudah rutin bangun jam lima pagi lalu latihan fisik. Sekolah, lalu pulang, dan sore latihan lagi. Setiap hari.

Di nomor tunggal prestasi saya lumayan. Namun karena latihan dipaksa, saya lumayan jenuh. Masuk umur kategori remaja, jadi malas dan sempat mau berhenti di usia 15 setelah saya sempat masuk Bimantara (Tangkas) dan Ardath Jember selama setahun.

Saat main nomor tunggal, Ibu Minarni dari Jaya Raya melihat dan saya disarankan main di nomor ganda karena permainan saya dirasa lebih cocok main di nomor ganda. Akhirnya saya masuk ke Jaya Raya dan berpasangan dengan Namrih Suroto.

Herry Iman Pierngadi, pelatih ganda putra.Herry Iman Pierngadi adalah salah satu pelatih yang menangani Tony Gunawan, di samping Christian Hadinata dan Atik Jauhari. (CNN Indonesia/ Putra Permata Tegar)

Bersama Namrih saya juga berhasil menembus pelatnas Cipayung pada 1993 dengan status peringkat terbawah dari ganda yang lolos.

Waktu itu nomor ganda putra dibagi menjadi tiga lapis. Lapis utama dipegang Koh Christian Hadinata, lapis kedua dipegang kak Atiek Djauhari, dan lapis ketiga dipegang Koh Herry IP.

Di dua tahun awal, saya dan Namrih peringkat terbawah di pelatnas Cipayung. Karena itu kami diharuskan main di sejumlah sirkuit nasional. Dan kami tidak boleh kalah dari pemain luar pelatnas. Tekanan itu terus ada.

Dalam dua tahun awal di pelatnas, saya jarang berangkat turnamen. Saya pun sempat bimbang karena jarang dikirim. Sekali dikirim, saya main di China dan babak kedua kalah.

Kata Koh Christian Hadinata saat itu,'Aduh kamu masih belum bagus, tidak usah berangkat-berangkat lagi'. Hahaha..

Momen saya mulai percaya diri dan melejit mungkin saat berpasangan dengan Rudy Wijaya dan berhasil mengalahkan Ricky Subagdja/Rexy Mainaky di Indonesia Open 1995. Saat itu kami menghentikan rekor tak terkalahkan Ricky/Rexy yang berjalan 1,5 tahun.

Tentu saja hoki, karena kami junior. Mereka mungkin menganggap remeh dan kami nothing to lose. Setelah itu saya lebih sering berangkat. Lalu berganti pasangan dengan Victo Wibowo dan bisa masuk 10 besar.

Kemudian saya dipasangkan dengan Halim Haryanto dan mulai mengukir prestasi lebih bagus sampai akhirnya ditandemkan dengan Candra Wijaya di 1998.

Baca lanjutan berita ini di halaman berikut>>>

Pergi dan Membuka Lembaran Baru di Amerika Serikat

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER