Jakarta, CNN Indonesia --
Sehari sebelum final Olimpiade Sydney 2000, saya memutuskan untuk menonton final ganda campuran. Waktu Tri Kusharjanto/Minarti Timur kalah, saya merasakan ketegangan luar biasa.
Saat itu saya dan Candra Wijaya sudah berhasil masuk ke final Olimpiade. Dalam perjalanan menuju final, saya sama sekali tidak merasakan ketegangan. Hal itu lantaran persiapan yang baik.
Selama persiapan Olimpiade saya rasa persiapan kami sangat bagus. Beberapa bulan sebelum Olimpiade, Candra menginginkan suasana pertandingan. Sedangkan saya justru inginnya hanya latihan tanpa mau ikut pertandingan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya Candra sempat dikirim turnamen Malaysia Open bersama Antonius Budi Ariantho, sedangkan saya berlatih di Cipayung. Secara keseluruhan, persiapan saya dan Candra sangat bagus dan Koh Herry Iman Pierngadi mendukung keinginan dan kenyamanan kami berdua untuk menghadapi Olimpiade.
Sepanjang perjalanan menuju final Olimpiade, saya tidak merasakan ketegangan. Saat wakil Indonesia lain tersingkir, saya hanya fokus pada diri sendiri.
Di semifinal kami bisa mengalahkan Ha Tae Kwon/Kim Dong Moon. Di All England kami kalah dari mereka. Karena persiapan dan latihan mati-matian, kami bisa menang dua set langsung, padahal biasanya kami harus lewat rubber game kalau menghadapi mereka.
 Tony Gunawan (kanan) bersama Candra Wijaya jadi peraih medali emas Olimpiade Sydney 2000. (AFP/ROBYN BECK) |
Dalam perjalanan menuju final, saya merasa penampilan kami sangat bagus, baik dari segi mental maupun persiapan latihan.
Seharusnya kami jangan nonton final ganda campuran, tetapi ada rasa ingin nonton. Dalam pikiran saya bila sudah satu emas di tangan, saya bisa lebih tenang.
Ternyata ganda campuran Indonesia kalah setelah unggul jauh di gim kedua dan menang di gim pertama. Karena ganda campuran kalah, saya mulai merasakan ketegangan yang sebelumnya tidak dirasakan.
Di babak final melawan Lee Dong Soo/Yoo Yong Sung, setelah menang di gim pertama, kami ternyata kalah di gim kedua. Saya mulai merasa tegang sekali.
Rekor kami melawan Lee/Yoo bagus. Memang pernah kalah, tetapi tidak banyak. Setelah kalah di gim kedua, saya merasa agak down. Kok sepertinya susah sekali jadinya pertandingan ini.
Di awal gim ketiga pertandingan masih ramai. Skor 3-3, lalu 4-4. Terus saya berpikir, kami sudah latihan, sudah mati-matian, terserah Yang Di Atas apa hasilnya. Saya hanya fokus dan berusaha melakukan yang terbaik.
Setelah berpikir seperti itu, main malah jadi lebih enak, semuanya balik seperti semula. Kami bisa unggul jauh 13-6 dan akhirnya menang.
Kami bisa juara Olimpiade!
Emas jelas jadi target saat tampil di Olimpiade. Begitu menang rasanya seperti dream comes true, namun saya masih bertanya-tanya: 'Apakah ini benar?', sulit digambarkan dengan jelas perasaan yang saya alami seperti apa.
 Duet Candra/Tony berdiri di podium tertinggi Olimpiade 2000. (AFP/ROBYN BECK) |
Momen Pasangan dengan Candra
Dua tahun sebelum Olimpiade, saya yang waktu itu berpasangan dengan Halim Haryanto sudah duduk di peringkat dua dunia. Bahkan saya dan Halim pernah duduk di posisi nomor satu dunia meski hanya satu minggu.
Saat itu kami hanya kalah dari Candra Wijaya/Sigit Budiarto yang jadi ganda nomor satu dunia.
Ketika Sigit terganjal kasus doping, saya dipanggil pelatih dan PBSI. Saya dicoba dipasangkan dengan Candra. Saya sempat berargumen bahwa saya dan Halim sudah ada di posisi kedua dunia, tetapi keputusan tetap tak berubah dari PBSI
Situasi dengan sekarang beda sekali. Dulu cuma boleh mengikuti. Saya bukan menolak, tetapi situasinya sulit bagi saya karena saya dan Halim sudah punya hasil bagus, hanya kalah dari Candra/Sigit.
Sungguh situasi yang susah dan dilema. Saya berpikir bahwa saya cuma bisa melakukan yang terbaik. Di awal pasangan, tidak terlalu enak main bersama Candra. Hasil juga tidak terlalu bagus.
Dari Singapore Open 1998 sampai awal 1999 belum bagus. Asian Games malah kalah di babak pertama. Di Hong Kong juara tetapi saat itu banyak lawan yang tidak ikut.
Saya sebenarnya dengan Candra lebih akrab dibandingkan dengan Halim. Saya dan Candra seumuran dan kami memang sekamar. Sudah lama kami sekamar sebelum berpasangan. Sudah seperti saudara.
Saat diputuskan berpasangan, perasaan yang mendominasi saya adalah perasaan tidak enak karena situasi, bukan karena merasa tidak cocok dengan Candra.
 Tony Gunawan mengaku memikul bayak beban saat baru berpasangan dengan Candra Wijaya. (AFP/SHAMSHAHRIN SHAMSUDIN) |
Beban di diri saya berat dan kompleks. Candra/Sigit juara dunia 1997, dan saya merasakan beban saat ditunjuk menggantikan Sigit, meskipun saat itu saya sudah jadi nomor dua dunia.
Beban saya ke Halim juga besar. Jadi hal itu lumayan terasa ke mental dan pikiran sehingga berpengaruh pada permainan. Sampai pada 1999 baru mulai ada hasil.
Kami bisa jadi juara All England 1999, pemain nomor satu dunia, dan juara Olimpiade.
Reuni dengan Halim
Setelah juara Olimpiade 2000, kami diarak dan banyak acara. Alhasil, selama dua bulan tidak terlalu rutin latihan. Banyak wawancara dan harus bertemu ini-itu.
Karena saat itu latihan tidak terlalu rutin, duet Candra/Tony sempat break. Saya partner sama Rexy Mainaky untuk Kejuaraan Asia.
Saya berpikir bila sama Candra tentu tidak boleh kalah di tiap pertandingan, terlebih habis juara Olimpiade. Kalau sama yang lain kan lebih rileks. Saya dan Rexy juara Kejuaraan Asia saat itu.
Setelah juara Badminton Grand Prix di 2000 kami berempat: saya dan Candra serta Sigit dan Halim, bersama pelatih, mengambil keputusan bersama.
Saya kembali berpasangan dengan Halim sedangkan Candra kembali berpasangan dengan Sigit. Sigit pernah dicoba dengan Halim dan hasilnya kurang cocok.
Saya setuju-setuju saja. Dulu, sebagai pemain memang tidak terlalu ada suara. Tiap keputusan tentu ada efek positif dan negatif.
Saya selalu memilih semuanya dibuat simpel. Sama siapa saja berpasangan, ya main saja. Memang sayang bila berpikir tentang ranking, tetapi mau bagaimana lagi. Jalani saja.
Setelah keputusan tersebut, banyak yang bertanya tentang perubahan pasangan ganda Indonesia. Tetapi bila dipikir-pikir, perubahan pasangan itu terbukti tepat.
Di All England 2001, ada tiga ganda Indonesia di semifinal. Dengan pertukaran pasangan, ganda putra Indonesia bisa tetap dominasi.
Saya dan Halim tak menyangka bisa jadi juara All England 2001 saat itu. Bertemu Candra/Sigit di final, beban memang lebih besar ke mereka meski saat itu kami sama-sama baru kembali dipasangkan.
Setelah juara All England saya dan Halim juga tak mengumbar optimisme tinggi ketika berlaga di Kejuaraan Dunia 2001. Kami benar-benar tidak punya keyakinan langsung untuk membidik juara, tetapi melihat satu per satu lawan terlebih dulu.
Di semifinal hampir kalah dari ganda Malaysia. Saat tampil di semifinal, badan saya agak panas, tetapi Halim bisa melakukan cover lapangan dengan baik sehingga kami bisa menang.
Di final kami melawan Ha Tae Kwon/Kim Dong Moon. Karena kami pasangan baru, beban lebih besar ke mereka. Saya benar-benar tak menyangka bisa jadi juara dunia 2001. Bagi saya semua hanya benar-benar coba saya jalani saja.
Setelah jadi juara dunia 2001, tebersit dalam pikiran saya bahwa saya sudah meraih prestasi tertinggi di bulutangkis yaitu emas Olimpiade dan juara dunia. Saya tidak mau terus berada di bulutangkis.
Saya pikir mau apalagi saya setelah ini. Saya masih muda saat itu, 26 tahun, namun saya berpikir tidak mau terus di dunia bulutangkis saja.
 Bersama Halim Haryanto, Tony Gunawan jadi juara All England 2001 dan Kejuaraan Dunia 2001. (AFP/ADRIAN DENNIS) |
Sempat Malas Main Bulutangkis
Saya sudah kenal bulutangkis sejak kecil, sejak usia lima tahun. Karena papa dan mama sering main bulutangkis dan saya sering dibawa. Papa melatih di klub, mantan atlet provinsi, namun tidak bisa tembus level nasional.
Saya sudah dilatih sejak umur lima tahun, meski malas-malasan karena sebenarnya saya hanya diikutkan latihan bareng kakak yang sudah delapan tahun.
Umur 9-10 tahun saya sudah rutin bangun jam lima pagi lalu latihan fisik. Sekolah, lalu pulang, dan sore latihan lagi. Setiap hari.
Di nomor tunggal prestasi saya lumayan. Namun karena latihan dipaksa, saya lumayan jenuh. Masuk umur kategori remaja, jadi malas dan sempat mau berhenti di usia 15 setelah saya sempat masuk Bimantara (Tangkas) dan Ardath Jember selama setahun.
Saat main nomor tunggal, Ibu Minarni dari Jaya Raya melihat dan saya disarankan main di nomor ganda karena permainan saya dirasa lebih cocok main di nomor ganda. Akhirnya saya masuk ke Jaya Raya dan berpasangan dengan Namrih Suroto.
 Herry Iman Pierngadi adalah salah satu pelatih yang menangani Tony Gunawan, di samping Christian Hadinata dan Atik Jauhari. (CNN Indonesia/ Putra Permata Tegar) |
Bersama Namrih saya juga berhasil menembus pelatnas Cipayung pada 1993 dengan status peringkat terbawah dari ganda yang lolos.
Waktu itu nomor ganda putra dibagi menjadi tiga lapis. Lapis utama dipegang Koh Christian Hadinata, lapis kedua dipegang kak Atiek Djauhari, dan lapis ketiga dipegang Koh Herry IP.
Di dua tahun awal, saya dan Namrih peringkat terbawah di pelatnas Cipayung. Karena itu kami diharuskan main di sejumlah sirkuit nasional. Dan kami tidak boleh kalah dari pemain luar pelatnas. Tekanan itu terus ada.
Dalam dua tahun awal di pelatnas, saya jarang berangkat turnamen. Saya pun sempat bimbang karena jarang dikirim. Sekali dikirim, saya main di China dan babak kedua kalah.
Kata Koh Christian Hadinata saat itu,'Aduh kamu masih belum bagus, tidak usah berangkat-berangkat lagi'. Hahaha..
Momen saya mulai percaya diri dan melejit mungkin saat berpasangan dengan Rudy Wijaya dan berhasil mengalahkan Ricky Subagdja/Rexy Mainaky di Indonesia Open 1995. Saat itu kami menghentikan rekor tak terkalahkan Ricky/Rexy yang berjalan 1,5 tahun.
Tentu saja hoki, karena kami junior. Mereka mungkin menganggap remeh dan kami nothing to lose. Setelah itu saya lebih sering berangkat. Lalu berganti pasangan dengan Victo Wibowo dan bisa masuk 10 besar.
Kemudian saya dipasangkan dengan Halim Haryanto dan mulai mengukir prestasi lebih bagus sampai akhirnya ditandemkan dengan Candra Wijaya di 1998.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut>>>
Saya ingin coba ambil pengalaman lain, yaitu ingin melanjutkan sekolah di Amerika Serikat. Niatnya sambil sesekali main dan melatih.
Mendengar keputusan saya, semua kaget. Tetapi saya pikir hidup saya dari kecil sudah selalu tentang bulutangkis, tidak ada yang lain. Saya pikir bisa mencoba-coba hal baru mumpung masih 26 tahun, masih cukup muda. Kalau ada apa-apa, masih punya tenaga. Biasanya kalau sudah tambah umur penginnya lebih aman. Jadi memang saat itu keputusan saya coba-coba.
Saya tidak tahu bagaimana pendapat dan perasaan Halim saat itu, tetapi ini hidup saya dan saya juga terbilang sering ganti partner sebagai pemain bulutangkis.
Saya tidak tahu saat itu ke depannya seperti apa, mungkinkah saya terus partner Halim lagi, atau malah diganti lagi dengan yang lain.
 Tony Gunawan meninggalkan ketenaran sebagai pemain bulutangkis dan hidup sebagai mahasiswa di Amerika Serikat. (ADRIAN DENNIS / AFP) |
Saat baru ke Amerika Serikat, sempat tebersit mau coba mempertahankan emas Olimpiade. Namun pikiran yang mendominasi adalah kemungkinan bila saya tetap di Indonesia, masih bisa terus main atau tidak, masih bisa juara atau tidak.
Soal sekolah ke Amerika Serikat, saya juga tidak tahu ke depan seperti apa. Saya hanya berpikir ingin cari ilmu baru saja untuk masa depan. Meski pengurus PBSI agak lama memberi izin, akhirnya saya bisa berangkat.
Setahun pertama di Amerika Serikat, saya benar-benar tidak main bulutangkis. Saya sekolah. Di 2002, saya belajar bahasa Inggris dulu setahun. Jadi benar-benar berangkat dari Indonesia tidak tahu apa-apa dan tidak bisa bahasa Inggris.
Berdasarkan pengalaman saya, saya berharap pemain Indonesia mulai sedikit-sedikit menambah kemampuan dan pelajaran apapun di sela latihan. Bisa bahasa Inggris, komputer, ataupun hal lain.
Karena sebagai atlet, kita benar-benar ambil risiko. Yang bisa masuk pelatnas hanya beberapa puluh orang, dan yang benar-benar jadi prestasi cuma beberapa, tidak banyak. Jadi kalau ada bekal ilmu tambahan tentu lebih bagus sekali.
Saat kuliah di Amerika Serikat, saya biaya sendiri bukan beasiswa. Di sekolah saya tidak terkenal, karena badminton juga bukan olahraga terkenal. Bagi orang Amerika Serikat, bulutangkis itu cuma backyard games. Permainan iseng-iseng.
Ketika saya ikut main, mereka kaget kok bisa main cepat sekali. Mereka pikir bulutangkis itu hanya sekadar main teng-tong-teng-tong pukul-pukul doang, tidak ada smash.
Untuk biaya hidup saya mulai melatih sejak 2002. Di awal jadi pelatih, saya pakai bahasa Tarzan karena tidak bisa bahasa Inggris. Karena itu saya bisa bilang di AS saya berjuang dari awal karena badminton di sini termasuk olahraga kecil.
Saya cuma jadi pelatih, sekolah bayar sendiri, apartemen bayar sendiri.
Di tahun pertama dan kedua, tentu terkadang tebersit penyesalan. Bila masih jadi pemain bulutangkis tentu pemasukan lebih besar. Namun pikiran saya sudah bulat ingin menjalankan sesuatu yang baru. Jadi ya, ditahan terus. Coba berusaha dan terus menjalaninya.
Di AS tidak ada tim nasional untuk pebulutangkis. Saya melatih di Orange County Badminton Club yang memang klub paling besar di Amerika Serikat. Para pemain top AS berlatih di klub ini.
Selama 2002-2004, saya benar-benar hilang dari peredaran bulutangkis dunia. Lagi berjuang, sekolah. Hahaha..
Juara Dunia dengan USA di Punggung
Di 2004 permintaan dari klub, saya diminta tampil di Kejuaraan Dunia 2005 saat Anaheim jadi tuan rumah. Saya diminta berpasangan dengan Howard Bach.
Persiapan kami hanya setahun tetapi saya memang melatih dia sebelumnya. Jadi saya lumayan tahu cara main, cara latihan Howard. Pikir saya memang ini hanya coba-coba saja dan, sesederhana itu pikiran saya dan saya hanya coba menjalaninya.
Setelah menjalani persiapan di beberapa turnamen, kami juara di Belanda dan Jerman, namun tidak banyak pemain top yang ikut. Saat tampil di Jepang, kami hanya delapan besar.
Kondisi itu membuat saya tidak punya pemikiran bisa menang di Kejuaraan Dunia. Meski demikian saya memang punya target untuk setidaknya bisa masuk delapan besar.
Target itu didasarkan pada drawing karena saya kemungkinan bertemu Chew Choon Eng/Choong Tan Fook di babak ketiga. Saya jarang kalah saat bertemu mereka sebelumnya, jadi saya pasang target bisa menang lawan mereka dan menembus perempat final.
Ketika akhirnya bertemu ganda Malaysia di babak ketiga, kami bisa menang dua set dan lolos ke perempat final. Di perempat final, kami bertemu unggulan pertama Jens Eriksen/Martin Hansen.
Kami kalah di Jepang lewat rubber set jadi saya pikir kami masih punya peluang menang. Mungkin karena target sudah tercapai, kami bisa main rileks dan menang jauh. Lolos ke semifinal saya merasa lebih percaya diri lagi.
Di babak semifinal kami bertemu Luluk Hadiyanto/Alvent Yulianto. Saya tidak banyak berpikir soal bahwa saat ini di punggung saya sudah bertuliskan 'USA'. Yang saya pikirkan justru senang bisa bertemu teman.
Kami bisa menang lawan Luluk/Alvent tak lepas dari keberuntungan. Di akhir gim kedua saya merasa hoki. Di akhir gim kedua permainan kami sudah bisa dipegang oleh Luluk/Alvent. Andai kami kalah di gim kedua, bisa jadi kami akan kalah di rubber set.
 Tony Gunawan yang berpasangan dengan Howard Bach bertemu Candra Wijaya/Sigit Budiarto di Final Kejuaraan Dunia 2005. (AFP PHOTO/Nicolas ASFOURI) |
Di final ternyata kami bertemu Candra/Sigit. Tentunya itu sudah cerita lain dibandingkan duel-duel di babak sebelumnya. Itu sudah lebih personal. Saya tidak berpikir USA vs Indonesia.
Waktu saya pindah ke Amerika Serikat, semua pada bilang bahwa karier saya di bulutangkis sudah habis. Terus terang sering lihat nama Candra, Sigit, Halim masih rutin masuk final, kayak ada rasa menyesal. Karena itu ketika berada satu lapangan lagi, rasa bahagia dalam diri saya justru mendominasi, kayak kangen.
Saya benar-benar main dengan rasa senang, tidak ada pikiran untuk menang karena saya rasa tidak mungkin menang. Hanya benar-benar all-out dan menikmati pertandingan. Saya benar-benar enjoy saat main.
Saya tak tahu perasaan Howard Bach di lapangan saat final. Sebagai pemain sejak di pelatnas PBSI, saya sering gonta-ganti partner. Jadi kalau main sama siapapun, saya hanya coba menyesuaikan. Bagaimana cara main, bagaimana situasi yang ada, lalu cari jalan.
Saya jarang bilang sama partner, 'Kamu harus begini, kamu harus begini'. Semua pemain tentu tidak mau kalah. Apapun situasinya, mereka pasti mau yang terbaik. Kalau saya tidak bisa menyesuaikan gaya main pasangan, ya sudah. Sesimpel itu.
Mungkin karena saya bermain senang, akhirnya kami bisa menang. Setelah juara, saya senang sekaligus kaget.
Juara dunia 2005 itu benar-benar personal bagi saya. Sebelumnya semua menganggap karier badminton saya habis. Gelar juara dunia itu kayak bilang, 'Hei, saya masih di sini, masih bisa'.
Kalau dibayangkan lagi saat ini, benar-benar luar biasa.
Bersatu Lagi dengan Candra
Hidup ini bisa dibilang lucu. Saya sekolah pada 2003-2005 dan tinggal butuh dua tahun lagi untuk menyelesaikan sekolah. Semestinya.
Pada saat setuju main untuk Kejuaraan Dunia 2005, saya memang hanya bersiap untuk turnamen itu saja. Hanya komitmen satu tahun.
Karena itu saat Kejuaraan Dunia 2005 selesai, saya tak lanjut pasangan dengan Howard Bach. Saya belum jadi warga negara AS saat itu, hanya pemegang green card. Jadi Howard harus cari partner lain untuk persiapan Olimpiade 2008.
Saya hanya berpikir cukup sampai Kejuaraan Dunia 2005, setelah itu berhenti dan sekolah lagi. Soalnya setiap pertandingan, saya kehilangan waktu sekolah 1-2 minggu. Banyak ketinggalan pelajaran dan ketika kembali ke sekolah tidak tahu mau apa.
Ternyata tidak menyangka saya bisa juara dunia. Karena itu saya sempat diundang main ke China dan Denmark hingga akhir 2005 dengan status masih tetap jadi mahasiswa.
Masuk ke 2006 saya sempat pasangan dengan Halim yang juga baru pindah ke AS untuk main di turnamen di sini. Kami tidak pernah banyak latihan bersama karena masing-masing sibuk.
Sejak Maret 2006 saya berencana pulang ke Indonesia pada Juni 2006. Terus saya dengar Candra baru saja keluar dari pelatnas Cipayung. Saya lalu menghubungi Candra.
"Aku balik iki liburan Juni pas Indonesia Open. Iso main gak?" kata saya waktu itu.
Terus terang saja saya masih punya pemikiran bila saya main sama Candra, kami harus membawa nama besar Candra/Tony, jadi hasilnya tidak boleh terlalu jelek.
"Tapi lek kalah, gak popo gak?"
 Tony sempat kembali berpasangan dengan Candra Wijaya dan aktif di seri turnamen BWF sejak 2006. (AFP/KAZUHIRO NOGI) |
Eh Candra mau, ya sudah kami main di Indonesia Open.
Saya dan Candra berpasangan dan langsung masuk drawing utama, tidak perlu lewat kualifikasi karena ranking individu kami masih tinggi.
Ternyata saya dan Candra berhasil juara, kalau tak salah menang lawan Markis Kido/Hendra Setiawan di final. Setelah itu saya berdiskusi dengan Candra dan akhirnya lanjut pasangan terus.
Karena kembali aktif, sekolah akhirnya tak lanjut. Saya komitmen main sama Candra dari 2006-2008.
Di masa itu pula sempat ada pembicaraan penawaran kembali ke pelatnas. Saat itu saya juga belum jadi warga negara AS. Namun situasi saat itu terbilang susah bagi saya.
Penawaran datang pada 2007 dan terbilang terlalu mepet dengan Olimpiade. Saya juga bilang masih ada Kido/Hendra di Indonesia. Mereka menurut saya saat itu potensial banget.
Urusan administrasi juga bakal ribet karena harus ke BWF dan waktu terlalu mepet. Selain itu bila saya memutuskan kembali ke pelatnas Cipayung, berarti usaha dan perjuangan saya sekeluarga yang dipupuk dari awal di AS bakal hilang semua.
Saat itu saya juga berpikir, dengan usia 33 tahun di Olimpiade 2008, saya masih bisa atau tidak diandalkan. Masak saya mau gambling hanya untuk Olimpiade saja.
Indonesia sudah ada Kido/Hendra, masih ada Luluk/Alvent juga. Mereka muda-muda, saya sudah veteran dan pola latihan tidak benar. Akhirnya saya menolak penawaran tersebut.
Saya baru jadi warga negara Amerika serikat pada 2011. Saya pasangan dengan Howard kembali dan juara Pan America Games 2011 sehingga masuk Olimpiade 2012.
 Tony Gunawan sempat tampil di Olimpiade 2012 bersama Howard Bach. ( AFP/ADEK BERRY) |
Setelah benar-benar pensiun dari lapangan bulutangkis, saya masih aktif melatih dan punya akademi bulutangkis bernama Global Badminton Academy. Bila dibandingkan saat saya pertama kali datang, perkembangannya terbilang pesat.
Banyak klub dibuka, pelatih internasional termasuk dari Indonesia, berdatangan. Karena pelatih berkualitas, tentu pemain-pemain junior jadi lebih bagus, kompetisi lebih bagus.
Meski demikian, bulutangkis belum besar. Pusat latihan tim nasional belum ada. Mimpi saya saat ini, mudah-mudahan bisa menghasilkan pemain dunia. Saat ini masalah di AS adalah punya banyak atlet lumayan, namun kemudian berhenti saat kuliah.
Alasan pindah jadi warga negara AS, karena urusan anak, karena urusan pajak, hidup dan lain-lain. Karena saya sudah di sini, dari 2002. Sudah lama sekali.
Kalau kangen Indonesia, pasti kangen sekali. Orang tua dan keluarga masih di Indonesia.
Saya tentu punya keinginan untuk selalu pulang ke Indonesia. Saya besar di Indonesia. Jadi memang bukan karena mau ganti warga negara atau apa, ini hanya karena situasi hidup saja.