Saya ingin coba ambil pengalaman lain, yaitu ingin melanjutkan sekolah di Amerika Serikat. Niatnya sambil sesekali main dan melatih.
Mendengar keputusan saya, semua kaget. Tetapi saya pikir hidup saya dari kecil sudah selalu tentang bulutangkis, tidak ada yang lain. Saya pikir bisa mencoba-coba hal baru mumpung masih 26 tahun, masih cukup muda. Kalau ada apa-apa, masih punya tenaga. Biasanya kalau sudah tambah umur penginnya lebih aman. Jadi memang saat itu keputusan saya coba-coba.
Saya tidak tahu bagaimana pendapat dan perasaan Halim saat itu, tetapi ini hidup saya dan saya juga terbilang sering ganti partner sebagai pemain bulutangkis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya tidak tahu saat itu ke depannya seperti apa, mungkinkah saya terus partner Halim lagi, atau malah diganti lagi dengan yang lain.
![]() |
Saat baru ke Amerika Serikat, sempat tebersit mau coba mempertahankan emas Olimpiade. Namun pikiran yang mendominasi adalah kemungkinan bila saya tetap di Indonesia, masih bisa terus main atau tidak, masih bisa juara atau tidak.
Soal sekolah ke Amerika Serikat, saya juga tidak tahu ke depan seperti apa. Saya hanya berpikir ingin cari ilmu baru saja untuk masa depan. Meski pengurus PBSI agak lama memberi izin, akhirnya saya bisa berangkat.
Setahun pertama di Amerika Serikat, saya benar-benar tidak main bulutangkis. Saya sekolah. Di 2002, saya belajar bahasa Inggris dulu setahun. Jadi benar-benar berangkat dari Indonesia tidak tahu apa-apa dan tidak bisa bahasa Inggris.
Berdasarkan pengalaman saya, saya berharap pemain Indonesia mulai sedikit-sedikit menambah kemampuan dan pelajaran apapun di sela latihan. Bisa bahasa Inggris, komputer, ataupun hal lain.
Karena sebagai atlet, kita benar-benar ambil risiko. Yang bisa masuk pelatnas hanya beberapa puluh orang, dan yang benar-benar jadi prestasi cuma beberapa, tidak banyak. Jadi kalau ada bekal ilmu tambahan tentu lebih bagus sekali.
Saat kuliah di Amerika Serikat, saya biaya sendiri bukan beasiswa. Di sekolah saya tidak terkenal, karena badminton juga bukan olahraga terkenal. Bagi orang Amerika Serikat, bulutangkis itu cuma backyard games. Permainan iseng-iseng.
Ketika saya ikut main, mereka kaget kok bisa main cepat sekali. Mereka pikir bulutangkis itu hanya sekadar main teng-tong-teng-tong pukul-pukul doang, tidak ada smash.
Untuk biaya hidup saya mulai melatih sejak 2002. Di awal jadi pelatih, saya pakai bahasa Tarzan karena tidak bisa bahasa Inggris. Karena itu saya bisa bilang di AS saya berjuang dari awal karena badminton di sini termasuk olahraga kecil.
Saya cuma jadi pelatih, sekolah bayar sendiri, apartemen bayar sendiri.
Di tahun pertama dan kedua, tentu terkadang tebersit penyesalan. Bila masih jadi pemain bulutangkis tentu pemasukan lebih besar. Namun pikiran saya sudah bulat ingin menjalankan sesuatu yang baru. Jadi ya, ditahan terus. Coba berusaha dan terus menjalaninya.
Di AS tidak ada tim nasional untuk pebulutangkis. Saya melatih di Orange County Badminton Club yang memang klub paling besar di Amerika Serikat. Para pemain top AS berlatih di klub ini.
Selama 2002-2004, saya benar-benar hilang dari peredaran bulutangkis dunia. Lagi berjuang, sekolah. Hahaha..
Juara Dunia dengan USA di Punggung
Di 2004 permintaan dari klub, saya diminta tampil di Kejuaraan Dunia 2005 saat Anaheim jadi tuan rumah. Saya diminta berpasangan dengan Howard Bach.
Persiapan kami hanya setahun tetapi saya memang melatih dia sebelumnya. Jadi saya lumayan tahu cara main, cara latihan Howard. Pikir saya memang ini hanya coba-coba saja dan, sesederhana itu pikiran saya dan saya hanya coba menjalaninya.
Setelah menjalani persiapan di beberapa turnamen, kami juara di Belanda dan Jerman, namun tidak banyak pemain top yang ikut. Saat tampil di Jepang, kami hanya delapan besar.
Kondisi itu membuat saya tidak punya pemikiran bisa menang di Kejuaraan Dunia. Meski demikian saya memang punya target untuk setidaknya bisa masuk delapan besar.
Target itu didasarkan pada drawing karena saya kemungkinan bertemu Chew Choon Eng/Choong Tan Fook di babak ketiga. Saya jarang kalah saat bertemu mereka sebelumnya, jadi saya pasang target bisa menang lawan mereka dan menembus perempat final.
Ketika akhirnya bertemu ganda Malaysia di babak ketiga, kami bisa menang dua set dan lolos ke perempat final. Di perempat final, kami bertemu unggulan pertama Jens Eriksen/Martin Hansen.
Kami kalah di Jepang lewat rubber set jadi saya pikir kami masih punya peluang menang. Mungkin karena target sudah tercapai, kami bisa main rileks dan menang jauh. Lolos ke semifinal saya merasa lebih percaya diri lagi.
Di babak semifinal kami bertemu Luluk Hadiyanto/Alvent Yulianto. Saya tidak banyak berpikir soal bahwa saat ini di punggung saya sudah bertuliskan 'USA'. Yang saya pikirkan justru senang bisa bertemu teman.
Kami bisa menang lawan Luluk/Alvent tak lepas dari keberuntungan. Di akhir gim kedua saya merasa hoki. Di akhir gim kedua permainan kami sudah bisa dipegang oleh Luluk/Alvent. Andai kami kalah di gim kedua, bisa jadi kami akan kalah di rubber set.
![]() |
Di final ternyata kami bertemu Candra/Sigit. Tentunya itu sudah cerita lain dibandingkan duel-duel di babak sebelumnya. Itu sudah lebih personal. Saya tidak berpikir USA vs Indonesia.
Waktu saya pindah ke Amerika Serikat, semua pada bilang bahwa karier saya di bulutangkis sudah habis. Terus terang sering lihat nama Candra, Sigit, Halim masih rutin masuk final, kayak ada rasa menyesal. Karena itu ketika berada satu lapangan lagi, rasa bahagia dalam diri saya justru mendominasi, kayak kangen.
Saya benar-benar main dengan rasa senang, tidak ada pikiran untuk menang karena saya rasa tidak mungkin menang. Hanya benar-benar all-out dan menikmati pertandingan. Saya benar-benar enjoy saat main.
Saya tak tahu perasaan Howard Bach di lapangan saat final. Sebagai pemain sejak di pelatnas PBSI, saya sering gonta-ganti partner. Jadi kalau main sama siapapun, saya hanya coba menyesuaikan. Bagaimana cara main, bagaimana situasi yang ada, lalu cari jalan.
Saya jarang bilang sama partner, 'Kamu harus begini, kamu harus begini'. Semua pemain tentu tidak mau kalah. Apapun situasinya, mereka pasti mau yang terbaik. Kalau saya tidak bisa menyesuaikan gaya main pasangan, ya sudah. Sesimpel itu.
Mungkin karena saya bermain senang, akhirnya kami bisa menang. Setelah juara, saya senang sekaligus kaget.
Juara dunia 2005 itu benar-benar personal bagi saya. Sebelumnya semua menganggap karier badminton saya habis. Gelar juara dunia itu kayak bilang, 'Hei, saya masih di sini, masih bisa'.
Kalau dibayangkan lagi saat ini, benar-benar luar biasa.
Bersatu Lagi dengan Candra
Hidup ini bisa dibilang lucu. Saya sekolah pada 2003-2005 dan tinggal butuh dua tahun lagi untuk menyelesaikan sekolah. Semestinya.
Pada saat setuju main untuk Kejuaraan Dunia 2005, saya memang hanya bersiap untuk turnamen itu saja. Hanya komitmen satu tahun.
Karena itu saat Kejuaraan Dunia 2005 selesai, saya tak lanjut pasangan dengan Howard Bach. Saya belum jadi warga negara AS saat itu, hanya pemegang green card. Jadi Howard harus cari partner lain untuk persiapan Olimpiade 2008.
Saya hanya berpikir cukup sampai Kejuaraan Dunia 2005, setelah itu berhenti dan sekolah lagi. Soalnya setiap pertandingan, saya kehilangan waktu sekolah 1-2 minggu. Banyak ketinggalan pelajaran dan ketika kembali ke sekolah tidak tahu mau apa.
Ternyata tidak menyangka saya bisa juara dunia. Karena itu saya sempat diundang main ke China dan Denmark hingga akhir 2005 dengan status masih tetap jadi mahasiswa.
Masuk ke 2006 saya sempat pasangan dengan Halim yang juga baru pindah ke AS untuk main di turnamen di sini. Kami tidak pernah banyak latihan bersama karena masing-masing sibuk.
Sejak Maret 2006 saya berencana pulang ke Indonesia pada Juni 2006. Terus saya dengar Candra baru saja keluar dari pelatnas Cipayung. Saya lalu menghubungi Candra.
"Aku balik iki liburan Juni pas Indonesia Open. Iso main gak?" kata saya waktu itu.
Terus terang saja saya masih punya pemikiran bila saya main sama Candra, kami harus membawa nama besar Candra/Tony, jadi hasilnya tidak boleh terlalu jelek.
"Tapi lek kalah, gak popo gak?"
![]() |
Eh Candra mau, ya sudah kami main di Indonesia Open.
Saya dan Candra berpasangan dan langsung masuk drawing utama, tidak perlu lewat kualifikasi karena ranking individu kami masih tinggi.
Ternyata saya dan Candra berhasil juara, kalau tak salah menang lawan Markis Kido/Hendra Setiawan di final. Setelah itu saya berdiskusi dengan Candra dan akhirnya lanjut pasangan terus.
Karena kembali aktif, sekolah akhirnya tak lanjut. Saya komitmen main sama Candra dari 2006-2008.
Di masa itu pula sempat ada pembicaraan penawaran kembali ke pelatnas. Saat itu saya juga belum jadi warga negara AS. Namun situasi saat itu terbilang susah bagi saya.
Penawaran datang pada 2007 dan terbilang terlalu mepet dengan Olimpiade. Saya juga bilang masih ada Kido/Hendra di Indonesia. Mereka menurut saya saat itu potensial banget.
Urusan administrasi juga bakal ribet karena harus ke BWF dan waktu terlalu mepet. Selain itu bila saya memutuskan kembali ke pelatnas Cipayung, berarti usaha dan perjuangan saya sekeluarga yang dipupuk dari awal di AS bakal hilang semua.
Saat itu saya juga berpikir, dengan usia 33 tahun di Olimpiade 2008, saya masih bisa atau tidak diandalkan. Masak saya mau gambling hanya untuk Olimpiade saja.
Indonesia sudah ada Kido/Hendra, masih ada Luluk/Alvent juga. Mereka muda-muda, saya sudah veteran dan pola latihan tidak benar. Akhirnya saya menolak penawaran tersebut.
Saya baru jadi warga negara Amerika serikat pada 2011. Saya pasangan dengan Howard kembali dan juara Pan America Games 2011 sehingga masuk Olimpiade 2012.
![]() |
Setelah benar-benar pensiun dari lapangan bulutangkis, saya masih aktif melatih dan punya akademi bulutangkis bernama Global Badminton Academy. Bila dibandingkan saat saya pertama kali datang, perkembangannya terbilang pesat.
Banyak klub dibuka, pelatih internasional termasuk dari Indonesia, berdatangan. Karena pelatih berkualitas, tentu pemain-pemain junior jadi lebih bagus, kompetisi lebih bagus.
Meski demikian, bulutangkis belum besar. Pusat latihan tim nasional belum ada. Mimpi saya saat ini, mudah-mudahan bisa menghasilkan pemain dunia. Saat ini masalah di AS adalah punya banyak atlet lumayan, namun kemudian berhenti saat kuliah.
Alasan pindah jadi warga negara AS, karena urusan anak, karena urusan pajak, hidup dan lain-lain. Karena saya sudah di sini, dari 2002. Sudah lama sekali.
Kalau kangen Indonesia, pasti kangen sekali. Orang tua dan keluarga masih di Indonesia.
Saya tentu punya keinginan untuk selalu pulang ke Indonesia. Saya besar di Indonesia. Jadi memang bukan karena mau ganti warga negara atau apa, ini hanya karena situasi hidup saja.
(ptr)