WARISAN POLITIK SBY

Jangan Acuhkan Aceh

CNN Indonesia
Senin, 20 Okt 2014 13:14 WIB
Sejak perjanjian damai di Helsinki 2005, politik Aceh berubah. Kini ada ketidakpuasan terhadap Jakarta. Ada pula gejolak internal sesama bekas kombatan.
Warga Bireuen mengibarkan bendera Partai Aceh di salah satu Kantor Pemkot Lhoksumawe, Aceh, Selasa (02/04/2013) (Feri Fernandes/Detikcom)
Jakarta, CNN Indonesia -- Namanya Abu Minimi alias Nurdin. Kadang dia juga dipanggil dengan nama Din Minimi. Pada awal Oktober lalu, dia membuat gempar warga Aceh. Fotonya tampil di media lokal Tanah Rencong itu: memegang senapan AK-47, dan diapit oleh sejumlah lelaki bertampang keras.

Senapan mesin mungkin bukan barang aneh di Aceh yang lama didera konflik bersenjata. Tapi Din Minimi muncul di saat perdamaian telah berumur sembilan tahun, sejak MoU Helsinki ditandatangani pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005.  

Din adalah mantan kombatan GAM. Dia menyatakan melawan pemimpin Aceh, yang dulu adalah panutannya di gerakan bersenjata itu, yaitu Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak jelas apa yang mau digapai oleh Din Minimi. Dia kelihatannya hendak berontak, tapi terdengar setengah hati.  Misalnya, meskipun menyatakan mengangkat senjata, dia menegaskan tak bermusuhan dengan aparat keamanan. Ia hanya melawan kepemimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf.    

Adalah Safarudddin, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh, yang “menemukan” Din Minimi. Dia mengaku terkejut saat Din pertama kali memperkenalkan diri via telepon dan mengajak bertemu. “Ketika saya tanya dia siapa, dia bilang bahwa  dia adalah orang yang terlibat beberapa kasus bersenjata di Aceh Timur. Saya langsung merasa itu penting,” katanya saat dihubungi CNN Indonesia, pekan lalu.

Dia menceritakan, Din kala itu meminta dirinya untuk datang ke sebuah hutan di pedalaman Aceh Timur. Safaruddin pun sudah mendapat izin Din untuk membawa sejumlah wartawan. Setelah berjalan sekitar satu jam dengan kendaraan, mereka akhirnya tiba di sebuah tepi hutan. Perjalanan berlanjut beberapa menit lagi untuk mencapai sebuah gubuk. Di sanalah, kata Safaruddin, dia bertemu Din Minimi.

Pertemuan itu, ujar Safaruddin, menjadi momen curhat Din sebagai mantan kombatan GAM. “Dia kecewa terhadap proses reintegrasi yang tidak tuntas. Reintegrasi yang dibilang mampu memberikan kehidupan yang layak, tidak dia rasakan,” katanya.

Safaruddin  menjelaskan, pada masa pemberontakan GAM, para kombatan dapat menghidupi dirinya melalui perang. Namun kini, setelah Perjanjian Helsinki itu, sebagian kecil kombatan bisa hidup tenang dan nyaman. Misalnya ada yang duduk di kursi pemerintahan, termasuk Gubernur Zaini Abdullah dan Wakilnya, Muzakir Manaf.

“Abu Minimi ini salah satu kepingan yang tertinggal,” kata Safaruddin. Dia menjelaskan, pada masanya, Aceh Timur memang menjadi basis terbesar keberadaan GAM.  Kehidupan di hutan tanpa pekerjaan, kata Safaruddin, tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam perjanjian. “Mereka ini kecewa karena tidak ada pekerjaan, mereka tidak dapat kembali ke tengah masyarakat,” katanya.

Selama 90 menit pertemuan kala itu, Din juga menyampaikan alasannya yang beberapa kali menyandera dan merampok truk-truk logistik di Aceh. “Mereka merampok untuk bertahan hidup. Alasan yang sederhana,” ujar Safaruddin.
 

Beragam Nasib Para Eks Kombatan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3 4 5 6
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER