Jakarta, CNN Indonesia -- Namanya Abu Minimi alias Nurdin. Kadang dia juga dipanggil dengan nama Din Minimi. Pada awal Oktober lalu, dia membuat gempar warga Aceh. Fotonya tampil di media lokal Tanah Rencong itu: memegang senapan AK-47, dan diapit oleh sejumlah lelaki bertampang keras.
Senapan mesin mungkin bukan barang aneh di Aceh yang lama didera konflik bersenjata. Tapi Din Minimi muncul di saat perdamaian telah berumur sembilan tahun, sejak MoU Helsinki ditandatangani pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005.
Din adalah mantan kombatan GAM. Dia menyatakan melawan pemimpin Aceh, yang dulu adalah panutannya di gerakan bersenjata itu, yaitu Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak jelas apa yang mau digapai oleh Din Minimi. Dia kelihatannya hendak berontak, tapi terdengar setengah hati. Misalnya, meskipun menyatakan mengangkat senjata, dia menegaskan tak bermusuhan dengan aparat keamanan. Ia hanya melawan kepemimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf.
Adalah Safarudddin, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh, yang “menemukan” Din Minimi. Dia mengaku terkejut saat Din pertama kali memperkenalkan diri via telepon dan mengajak bertemu. “Ketika saya tanya dia siapa, dia bilang bahwa dia adalah orang yang terlibat beberapa kasus bersenjata di Aceh Timur. Saya langsung merasa itu penting,” katanya saat dihubungi CNN Indonesia, pekan lalu.
Dia menceritakan, Din kala itu meminta dirinya untuk datang ke sebuah hutan di pedalaman Aceh Timur. Safaruddin pun sudah mendapat izin Din untuk membawa sejumlah wartawan. Setelah berjalan sekitar satu jam dengan kendaraan, mereka akhirnya tiba di sebuah tepi hutan. Perjalanan berlanjut beberapa menit lagi untuk mencapai sebuah gubuk. Di sanalah, kata Safaruddin, dia bertemu Din Minimi.
Pertemuan itu, ujar Safaruddin, menjadi momen curhat Din sebagai mantan kombatan GAM. “Dia kecewa terhadap proses reintegrasi yang tidak tuntas. Reintegrasi yang dibilang mampu memberikan kehidupan yang layak, tidak dia rasakan,” katanya.
Safaruddin menjelaskan, pada masa pemberontakan GAM, para kombatan dapat menghidupi dirinya melalui perang. Namun kini, setelah Perjanjian Helsinki itu, sebagian kecil kombatan bisa hidup tenang dan nyaman. Misalnya ada yang duduk di kursi pemerintahan, termasuk Gubernur Zaini Abdullah dan Wakilnya, Muzakir Manaf.
“Abu Minimi ini salah satu kepingan yang tertinggal,” kata Safaruddin. Dia menjelaskan, pada masanya, Aceh Timur memang menjadi basis terbesar keberadaan GAM. Kehidupan di hutan tanpa pekerjaan, kata Safaruddin, tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam perjanjian. “Mereka ini kecewa karena tidak ada pekerjaan, mereka tidak dapat kembali ke tengah masyarakat,” katanya.
Selama 90 menit pertemuan kala itu, Din juga menyampaikan alasannya yang beberapa kali menyandera dan merampok truk-truk logistik di Aceh. “Mereka merampok untuk bertahan hidup. Alasan yang sederhana,” ujar Safaruddin.
Tentu, apapun alasannya, serangkaian aksi Din Minimi itu mendapat reaksi keras dari polisi. Polres Aceh Timur menyatakan telah setahun ini mengejar kelompok Din dan kawan-kawan. Soalnya, catatan kriminal mereka tergolong tinggi.
Kapolres Aceh Timur AKBP Muhajir mengatakan Din telah lima kali melakukan aksi jahat. “Mulai dari pengrusakan alat berat, perampasan mobil box hingga mobil truk telah dilakukan oleh Abu Minimi. Motifnya adalah meminta tebusan,” kata Muhajir saat dihubungi CNN Indonesia, Selasa pekan lalu.
Polisi menduga aksi Din lebih banyak, tapi tak dilaporkan oleh masyarakat.
Kata Muhajir, Din Minimi cukup ditakuti di Aceh Timur. Dia adalah pemberontak organik. Ayahnya juga bergabung dengan GAM pada saat gerakan itu berdiri. Ayahnya terkenal dengan panggilan “Minimi”, karena kala itu ia berhasil merampas senjata TNI jenis FN Minimi. “Dia itu namanya Din, supaya lebih dikenal, dia pakai nama panggilan orang tuanya, yaitu Minimi,” kata Muhajir.
Din memang tak seberuntung rekan seperjuangannya yang lain. Sejumlah dari mereka kini hidup berkecukupan. Ada yang menjadi kontraktor infrastruktur, anggota parlemen lokal, atau pengusaha dengan wilayah bisnis sekitar Aceh dan Sumatera Utara.
Abdul Muthalib, misalnya. Pria kelahiran Syamtalira Aron, Aceh Utara, 46 tahun yang lalu ini, adalah mantan kombatan yang beruntung. Dia terjun ke politik, dan kini duduk di kursi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Utara. Muthalib, yang akrab dipanggil Thaliban ini, mengatakan dia masih meneruskan apa yang menjadi perjuangan GAM dulu, lewat kursi parlemen.
Muthalib bercerita ia tak pernah melupakan masa gerilya bersama GAM, yang telah dilakoninya hampir 26 tahun. Dia juga pemberontak organik. Kakaknya bergabung dengan GAM, dan sempat berlatih militer di Libya. Itu membuat Muthalib kagum. Saat itu ia berumur 17 tahun. Ia lalu ikut memilih jalan hidup sebagai kombatan di kawasan yang disebut GAM sebagai Wilayah III Pasee Aceh.
Kini, kisah sebagai kombatan selama belasan tahun itu sudah menjadi sejarah bagi Muthalib. Dia mengakui, kehidupan masyarakat Aceh kini sudah jauh lebih tenang dengan adanya Perjanjian Helsinki. “Selepas MoU Helsinki, jarang sekali kita mendegar letusan senjata. Sehingga masyarakat pun mudah mencari rezeki ke sawah dan laut dengan aman,” kata Muthalib saat ditemui CNN Indonesia di Mess DPRK, Kamis (2/10). Muthalib sepakat lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada tahun 2006, memberi cahaya baru untuk rakyat Aceh. “Tak hanya untuk mensejahterakan rakyat, tapi juga untuk para kombatan GAM,” ujarnya.
Meski begitu, Muthalib tidak menutup mata dengan adanya beberapa eks kombantan GAM yang bernasib malang. Menurutnya, jika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kewenangan Aceh tidak segera disahkan, maka bukan tidak mungkin akan ada gesekan kembali dari para mantan kombatan GAM yang gagal kembali ke kehidupan normal.
Ia mencontohkan, jika saja pemerintah pusat dapat merealisasikan janjinya memberikan jatah lahan perkebunan 2 hektar per kombatan, mungkin mereka bisa hidup lebih baik. “Tetapi sekarang apa kenyataannya? Hampir 10 tahun MoU Helsinki, hasilnya mayoritas kesejahteraan kombatan GAM itu tidak ada,” katanya.
Memang, isi dari Perjanjian Helsinki seakan memberikan harapan-harapan baru untuk rakyat Aceh. Sayangnya, hingga jalan tahun kesembilan, kata Muthalib, hanya beberapa saja dari butir-butir perjanjian Helsinki yang sudah dilunasi Pemerintah Pusat ke rakyat Aceh. “Perjanjian Helsinski ini bagus, tapi implementasinya kurang,” ujarnya.
Sekarang ini, Muthalib menambahkan, pemerintah pusat seperti acuh tak acuh. “Seperti bentuk pisau. Matanya di Aceh, tapi gagangnya di pusat,” kata dia bertamsil.
Diakui Muthalib, kucuran dana pemerintah pusat kepada Aceh bukan tak ada. GAM pernah menikmati dana integrasi, juga masyarakat Aceh menikmati dana Otsus yang cukup besar. Secara politik, Aceh juga punya partai lokal. “Akan tetapi semua itu belum dapat menghidupkan kombatan GAM secara merata,” katanya. Irwandi Yusuf, mantan kombatan yang lalu menjadi Gubernur Aceh pada 2007-2012, mengatakan selama masa pemerintahannya ia hanya dapat menagih dan menerapkan beberapa butir kesepakatan Helsinki. Dia juga sempat mengajukan revisi UUPA, yang merupakan turunan dari butir MoU Helsinki.
Kala itu, dia menilai, ada beberapa hal dalam UUPA yang dianggapnya tidak sesuai dengan MoU Helsinki. Hanya saja, pemikiran Irwandi tidak mendapatkan tanggapan memuaskan.
Dia pernah menyampaikan hal itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Beliau (SBY) katakan, jalankan dulu UU ini. Nanti dimana ada ganjalannya kita ubah bersama-sama,” ujar Irwandi mengutip kata-kata SBY.
SBY memang tak menganjurkan undang-undang itu langsung direvisi. Waktu itu ia khawatir, jika parlemen mengubah terlalu jauh dari apa yang disepakati. Kata Irwandi, SBY mengusulkan agar menunggu selama dua tahun. Tapi hasilnya nihil. “Revisi tidak pernah terjadi. Kecuali satu kali, saat pencabutan pasal 286 tentang partai independen ikut serta dalam pilkada,” katanya kepada CNN Indonesia di Jakarta , pertengahan September lalu.
Dia menjelaskan, tertundanya pelaksanaan butir-butir dalam Perjanjian Helsinki sejak UUPA dibuat, berdampak besar bagi rakyat Aceh saat dipimpin olehnya. Masyarakat Aceh, kata Irwandi, sempat merasa kembali ditipu oleh Pemerintah Pusat. “Dari sana efeknya banyak. Ketidakpuasan rakyat, yang pertama. Efek psikologis bahwa Pemerintah Pusat bohong lagi. Dan yang paling sulit bagi saya, ketika banyak yang menyalahkan. ‘Kenapa Pak Irwandi enggak menagih ke Pemerintah Pusat?’ Saya jawab; sudah saya tagih. Banyak kali saya tagih,” ujarnya.
Sejak awal Irwandi setuju, Perjanjian Helsinki dapat membawa masyarakat Aceh lebih sejahtera. Namun baginya, semua itu akan dapat berjalan baik jika Pemerintah Pusat konsisten mendukung.
“Tapi kesejahteraan itu tidak mutlak hanya dibuat dari Pemerintah Pusat. Tapi juga penting untuk Pemerintah Aceh. Mampu kah pemimpin Aceh menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya untuk membangun rakyat? Ini tergantung di (pemerintahan) propinsi juga,” kata Irwandi.
Dia mencontohkan, Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan minyak dan gas dan juga pertanahan. Hingga kini peraturan itu belum juga disahkan oleh Jakarta. “Kita sudah siapkan drafnya dan sudah dibahas. Tapi sampai sekarang belum selesai,” ujarnya.
Walau realisasi butir-butir dalam MoU Helsinki terbilang minim, Irwandi juga tak menampik banyak hal positif lainnya yang tercetus oleh Pemerintah Pusat untuk Aceh, meski tidak tercantum dalam MoU.
“Ada satu hal positif, tapi tidak ada dalam MoU. Yaitu keputusan pemberian dana Otsus, sebesar 2 persen yang diambil dari Dana Alokasi Umum Pemerintah Gubernur Aceh,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengatakan itu adalah kebijakan wajar, karena konflik di Aceh itu juga merupakan “dosa” Pemerintah Pusat sebelumnya. “Selama 30 tahun itu, Jakarta tidak bisa menyelesaikan permasalahan Aceh, akhirnya terlalu sedikit yang bisa diberikan untuk Aceh,” katanya.
Melalui kucuran dana Otsus itu, Irwandi melihat kemakmuran di tanah Aceh mulai meningkat pasca konflik. Pertambahan jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar di Aceh menjadi ukuran peningkatan tersebut.
Tapi dia agak miris. Situasi damai di Aceh saat ini, kata Irwandi, bisa saja tak akan berlangsung lama. Konflik daerah pun sangat mungkin kembali terjadi di Aceh. Hal itu dapat terjadi jika Pemerintah Pusat tidak menunjukkan komitmennya untuk mewujudkan Perjanjian Helsinki dengan menyeluruh.
“Saya kuatir generasi yang akan datang, kalau hidupnya pontang-panting karena tak merasakan apa yang ada di MoU dan UUPA, mereka (gerakan separatis) akan muncul lagi,” kata dia.
Karenanya, Irwandi berharap Pemerintahan Jokowi, kelak tidak melupakan apa yang sudah dijanjikan oleh pemerintah sebelumnya. “Jangan dianggap PR yang berat, tapi pikirkan ini sebagai kewajiban. Karena perjanjian itu adalah hutang, bukan pemberian, yang bisa semaunya,” ujarnya. Soal ketidakpuasan bekas kombatan, seperti aksi Din Minimi itu, Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh, Murthalamuddin, punya pendapat beda. Ia menyatakan dengan aksi kecil itu tak bisa disimpulkan bahwa Aceh kembali berkonflik. Dia menyebut, masih ada yang gemar melakukan kontra intelijen di Aceh. “Tidak bisa diartikan itu sebagai konflik. Orang-orang itu, ada yang menyetel mereka,” kata Murthala saat dihubungi CNN Indonesia, Sabtu (11/10).
Dia menjelaskan, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, kerap berdialog dengan para mantan kombatan GAM. Zaini mendengar keluhan para mantan kombatan. Untuk mensejahterakan mantan kombatan, Gubernur Zaini pun, dikatakan Murthala, tak hanya bergantung dengan keputusan pemerintah pusat. “Kami berusaha membekali para mantan kombatan dengan kemampuan diri lainnya,” katanya.
Itu sebabnya, kata Murthala, Pemerintah Aceh menggandeng sejumlah perusahaan besar di luar Aceh. Tujuannya, memberikan lapak kerja bagi para mantan kombatan. Selain itu, ada dana bantuan sebesar Rp 600 miliar untuk kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di pinggir laut, kebun dan juga peternakan. “Artinya, kita tidak lepas tangan dengan mereka (para kombatan),” ujar Murthala.
Suara sumbang soal pelaksanaan Perjanjian Helsinki rupanya membuat Jakarta juga meradang. Kepala Pusat Penerangan dan Humas Kementerian Dalam Negeri RI Dodi Riatmadji mengatakan Aceh kerap menuntut perhatian khusus dengan menggunakan Perjanjian Helsinki sebagai tameng.
Dia mengatakan, meski semua pengajuan yang berkaitan peningkatan kesejahteraan daerah sudah sering disampaikan ke Presiden, namun akan sangat sulit pelaksanaannya. Soalnya, kata dia, Aceh ingin melakukan semuanya sendiri dan dalam waktu yang cepat.
Dodi mencontohkan, saat Pemerintah Aceh ingin mengajukan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan tanah dan migas. “Prinsip pokoknya itu, yang masalah pertanahan, semua minta dilimpahkan ke Aceh. Padahal itu hak milik nasional yang menangani. Ini kacau kalau semua diserahkan ke Aceh,” katanya. Permintaan rakyat Aceh itu menurut Dodi di luar sistem perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Begitupun dengan permintaan atas pengelolaan minyak dan gas. Dodi mengaku, Pemerintah Pusat tak akan mungkin mengabulkan permintaan mereka yang menuntut 200 mil dari lepas pantai untuk dikeloa oleh Aceh. “Seperti itu kan enggak mungkin. Itu kan kewenangan negara, bukan Pemda. Kalau 200 mil dikelola Aceh, lantas kalau diserang negara lain, ya bagaimana?” ujarnya.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Ikrar Nusa Bhakti melihat percikan masalah di Aceh usai Perjanjian Helsinki, membuktikan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh belum patuh pada kesepakatan.
“Buat saya, dikembalikan saja ke aturan yang sudah disepakati di UUPA. Mereka mendapatkan berapa persen, pemerintah pusat mendapatkan berapa persen. Tapi, lagi-lagi semua harus transparan,” ujarnya.
Ikrar mengatakan rekonsiliasi antara Pemerintah Aceh dengan mantan kombatan GAM menjadi hal penting. Pembagian rezeki lewat kompensasi dari MoU Helsinki yang tidak adil, kata Ikrar, dapat menyalakan kembali api konflik. “Ini menjadi persoalan utama. Terjadi karena ketidakadilan,” ujarnya.
Dia mengingatkan kembali, GAM dulu tidak mau memberikan informasi jumlah anggotanya. Misalnya, dulu jumlah kombatan yang dilaporkan pemerintah cuma 30 ribu orang. “Padahal anggota misalnya 100 ribu. Nah yang 70 ribu orang akhirnya tidak masuk daftar mereka yang layak dapat kompensasi,” ujarnya.
Apapun, perdamaian di Aceh telah berjalan sembilan tahun. Dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya, ia menjadi prestasi terpenting yang dicatat dunia di awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Jusuf Kalla.
Tentu, keberlangsungan perdamaian di Aceh kini menjadi tantangan tersendiri di bawah pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.