Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Andreas Hugo Pareira menyatakan partainya menganggap perlu pasal penghinaan presiden yang saat ini dimasukkan ke dalam draf Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Presiden adalah simbol negara, simbol pemersatu yang harus dihormati, dan menghina presiden itu melanggar etika dan moral. Harus diatur dalam UU,” kata Andreas kepada CNN Indonesia, Jumat (7/8).
Menghina, ujar Andreas, berbeda dengan mengkritik. Menurutnya, tak ada persoalan dengan pasal penghinaan presiden selama definisi ‘penghinaan’ dijelaskan dengan rinci di dalamnya. (Baca juga:
Dalih Hukum Pemerintah soal Pasal Penghinaan Presiden)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendapat Andreas berbeda dengan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Menurut Jimly, presiden bukan simbol negara. "Dulu kepala negara dianggap simbol negara. Itu teori lama. Sekarang simbol itu artinya lambang negara. Pasal 26 UUD 1945 menyatakan simbol negara adalah Garuda Pancasila," kata dia.
Jimly juga mengkategorikan Presiden sebagai institusi negara yang tidak memiliki perasaan sehingga tak dapat terhina. Hal tersebut berbeda dengan seorang presiden sebagai pribadi.
"Penghinaan itu tindak pidana. Tapi bedakan antara perasaan pribadi dan institusi. Lembaga kepresidenan tidak punya perasaan. Yang terhina itu pribadi, sama dengan warga negara yang lain," ujar Jimly.
Hal serupa dikemukakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil yang mengatakan berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, lambang negara ialah Garuda Pancasila, bukan Presiden.
Jokowi secara terpisah menampik pasal penghinaan presiden bertujuan untuk membungkam kritik terhadapnya. Selama menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga kini Presiden, kata Jokowi, dia tak pernah memperkarakan orang-orang yang menghinanya. (Baca
Jokowi: Pasal Penghinaan Presiden Diusulkan Pemerintah Lalu)
Simak selengkapnya di Fokus:
Pro-Kontra Penghinaan PresidenPasal penghinaan presiden sesungguhnya telah dihapus Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Saat itu pasal yang dihapus berbunyi “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.” (Baca:
Riwayat Berbahaya Pasal Penghinaan Presiden)
Kini kausa serupa yang dimasukkan ke dalam Pasal 263 Ayat 1 RUU KUHP berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Delik itu diperluas pada Pasal 264 RUU KUHP yang berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Lebih lanjut pada Penjelasan Pasal 263 RUU KUHP disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘menghina’ adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.”
Dijelaskan pula “Penghinaan terhadap orang (individu) biasanya merupakan tindak pidana (delik) aduan, tetapi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dapat dituntut tanpa perlu pengaduan (delik biasa).”
Dalam delik aduan, perkara baru dapat diproses apabila ada pengaduan atau pelaporan dari pihak yang dirugikan, dalam hal ini presiden. Sementara dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dengan demikian, siapapun yang melaporkan adanya penghinaan terhadap presiden, sekalipun presiden mengaku tak merasa dirugikan, dapat dipidanakan.
(agk)