Ervina Anggraini
Ervina Anggraini
Berlatarbelakang pendidikan non-formal, penulis memilih untuk mengabdi sebagai jurnalis. Sehari-hari menulis di kanal teknologi CNN Indonesia dan solo traveling di saat senggang.

Romansa dan Nestapa Uber di Tangan 'Akamsi'

Ervina Anggraini | CNN Indonesia
Senin, 09 Apr 2018 15:00 WIB
Setelah beroperasi sejak 2015, Uber mengumumkan angkat kaki dan mengalihkan bisnisnya di Asia Tenggara ke tangan Grab.
Uber menyudahi bisnisnya di Asia Tenggara. (REUTERS/Sergio Perez)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Perkenalan saya (dan warga Jakarta lain) terhadap taksi dan ojek online berawal pada 2015. Saat itu Gojek memperkenalkan kehadiran jasa ojek yang bisa dipesan secara online lewat aplikasi ponsel.

Selain Gojek, ada pula Uber (asal San Fransisco, AS) dan Grab (asal Malaysia yang berbasis di Singapura) lewat layanan taksi dan menyusul ojek online. Saat itu saya penasaran dengan jasa milik kedua pesaing Gojek itu. 

Mudah memang, saya hanya cukup mengunduh aplikasi dan mendaftarkan akun untuk bisa memesan jasa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menariknya, saat itu ada suara layanan pelanggan yang menghubungi usai saya merampungkan perjalanan dari Senayan ke Kemang pada 3 tahun lalu. Perhatian semacam ini tak pernah diterima konsumen saat menggunakan transportasi konvensional.

Di ujung telepon, saya dicecar pertanyaan soal kesan dan kepuasan menggunakan layanan Grab untuk pertama kalinya. Terkesan? Sudah pasti. Sebagai pengguna, saya merasa keberadaan dan suara saya didengar.

Uber pertama kali menawarkan jasa pemesanan sewa mobil pribadi secara online, menyusul layanan roda dua hingga helikopterUber pertama kali menawarkan jasa pemesanan sewa mobil pribadi secara online, menyusul layanan roda dua hingga helikopter. (CNN Indonesia/Hesti Rika)

Lain Grab, lain juga pengalaman saya saat pertama kali menjajal Uber. 

Bukan hanya penasaran, saat itu penawaran promo berhasil membuat saya mengunduh dan mendaftarkan aplikasi Uber di ponsel.

Sama halnya dengan Grab, Uber pun mulai beroperasi di Indonesia -- tepatnya Jakarta sejak 3 tahun lalu lewat layanan kendaraan roda empat. Meski sama-sama responsif dan mementingkan pengguna, Uber kerap mengandalkan surel untuk berkomunikasi langsung dengan penggunanya. Faktor kepuasan menggunakan jasa juga diberikan secara dua arah, saya dan sopir bisa saling memberikan penilaian.

Tak terhitung berapa kali saya menggunakan layanan Uber cs, karena sudah jadi andalan sehari-hari. 

Membandingkan ketiga penyedia: Grab, Gojek, dan Uber sudah jadi hal lumrah bagi penggunanya. Ketiganya sukses membuat pengguna tak perlu berdesakan dalam bus dan kereta, lama menunggu angkot 'ngetem', atau berjalan kaki ke depan gang untuk menunggu ojek.

Selain harga, faktor lain seperti kemudahan mendapatkan pengendara, hingga navigasi menuju titik penjemputan juga jadi alasan saya memesan kendaraan daring nyaris setiap hari.

Kontroversi tak berujung

Sayang, segala kemudahan yang ditawarkan transportasi online tak melulu mulus. Beragam kontroversi muncul, mulai dari pengemudi yang mengaku tak tahu jalan kemudian membawa penumpang berputar-putar demi mark-up tarif hingga cara berkendara yang sembrono.

Belum lagi gesekan antara ojek online versus opang (ojek pangkalan) dan sopir taksi online dengan taksi konvensional.

Tarif ojek dan taksi online yang jauh lebih murah dari tarif standar kendaraan umum dirasa tak masuk akal. Padahal, skema subsidi yang  membuat penumpang hanya membayar sebagian kecil dari tarif sebenarnya. Bisnis 'bakar uang' inilah yang membuat sopir transportasi 'jadul' kelabakan. 

Perusahaan juga acapkali memberikan promosi gila-gilaan untuk menarik lebih banyak pengguna. 

Rangkaian kontroversi dan penolakan juga terjadi di berbagai negara. Kampanye mengusir Uber hingga seruan menghapus aplikasi sempat menggema di AS, Brasil, Turki, Inggris, hingga Perancis.

Motifnya beragam, mulai dari sikap pengemudi yang tidak sopan terhadap penumpang hingga itikad perusahaan yang dinilai tidak mematuhi regulasi. Belum lagi sikap arogan pendiri dan CEO Uber saat itu, Travis Kalanick yang menambah runyam citra Uber.

Romansa dan Nestapa Uber di Tangan 'Akamsi'Uber menuai protes di berbagai negara seperti Indonesia, Brasil, Inggris, AS, dan Perancis. (Foto: REUTERS/Charles Platiau)


Rangkaian kontroversi tapi tak menghentikan Uber cs melebarkan sayap bisnis mereka berbagai negara. Uber yang berdiri pada Maret 2009 menyediakan jasanya ke 30 negara. Sementara pesaingnya di Asia Tenggara, Grab tersedia di enam negara dan Gojek sebagai 'jago kandang' yang hanya ada di Indonesia.

Layanan yang ditawarkan ketiganya tak sebatas transportasi, tapi ke ranah kurir hingga 'urusan perut'. Uber bahkan merilis layanan sewa helikopter bagi Anda yang 'alergi' kemacetan - meski belakangan harus ditangguhkan karena terganjal legalitas.

Tuntutan untuk membuat payung hukum yang melindungi pengemudi terus menggema. Pengemudi merasa terdzolimi dengan tarif murah yang diberlakukan perusahaan.

Suara sopir di Indonesia kemudian terwakilkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Sedangkan pemerintah Inggris akhirnya memasukkan Uber sebagai perusahaan transportasi.

Romansa dan Nestapa Uber di Tangan 'Akamsi'Salah satu protes keberatan tarif oleh sopir UberMotor. (Foto: CNNIndonesia/Safir Makki)

Berakhir keok

Ketatnya kompetisi bisnis ternyata bukan hanya dirasakan di kalangan pemilik modal, pengemudi turut terkena imbas. Konsumen yang mencari layanan dengan tarif murah membuat pengemudi 'kebakaran jenggot' hingga nyaris tekor.

Dugaan aksi curang dengan menggunakan fake GPS hingga order 'tuyul' marak demi mendongkrak performa. Baik Grab, Uber, atau Gojek memang getol memberikan promosi, mulai dari potongan harga hingga perjalanan Rp0.

Promo jor-joran dan persaingan bisnis yang sangat ketat disinyalir jadi alasan Uber menyerah di Asia Tenggara. Rumor ini sebenarnya sudah terdengar sejak akhir November lalu. Meski kedua pihak selalu membantah, akhirnya manajemen Uber membenarkan kabar akuisisi bisnis oleh Grab pada Minggu (25/3).

Kabar tersebut otomatis berimbas pada operasional Uber di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Meski alasannya tak jelas, seluruh karyawan Uber pada Senin (26/3) diminta mengosongkan kantor dalam hitungan jam.

Nestapa karyawan tak berhenti sampai disitu. Nasib 100 karyawan tetap dan 200 karyawan kontrak di Indonesia terkatung-katung. Kesepakatan bisnis hanya menyertakan Uber sebagai pemilik 30 persen saham Grab.

Akuisisi tersebut tidak menyertakan karyawan dan pengemudi sebagai 'harta' yang ikut diserahkan ke Grab. Sejumlah pengemudi Uber mengaku tahapan yang dilalui tak ubahnya mendaftar sebagai mitra Grab baru. Tak heran jika kemudian banyak yang memilih 'hijrah' ke Gojek ketimbang Grab.

Hengkangnya Uber menarik perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang khawatir ada dugaan oligopoli karena hanya akan ada dua pemain di ranah transportasi online. Otoritas Singapura dan Malaysia juga merasa kegerahan hingga berencana menyelidiki akuisisi tersebut.

Dalam kesepakatan tersebut, Uber menyebut aplikasinya hanya bisa dipakai hingga Minggu (8/4). Setelah tanggal itu, pengguna yang ingin memesan jasa Uber akan dialihkan ke aplikasi Grab. 

Sayonara Uber. Dan selamat bersaing 'akamsi' (anak kampung sini) Gojek dan Grab! (asa)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER