Jakarta, CNN Indonesia -- Pendaratan 12
astronaut dalam misi Apollo yang berlangsung selama empat tahun sejak sejak Desember 1968 hingga Desember 1972 merupakan salah satu pencapaian terbesar Badan Antariksa Amerika Serikat (
NASA).
Hanya saja, sejak saat itu hingga kini belum ada lagi manusia yang menginjakkan kaki di bulan. Padahal, para peneliti dan pengusaha beranggapan bahwa membuat sebuah pangkalan luar angkasa di bulan memungkinkan manusia untuk melakukan banyak hal.
"Stasiun luar angkasa di bulan bisa jadi tahap baru yang sebenarnya bisa diwujudkan, kita bisa melakukan hal itu dan mengujinya untuk melakukan penelitian lebih mendalam," imbuh Chris Hadfield, mantan astronaut kepada
Business Insider.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biaya tinggiSelaih Hadfield, mantan astronaut lainnya Walter Cunningham mengungkapkan beberapa alasan yang membuat misi ke bulan tak lagi jadi fokus utama NASA.
Biaya mahal jadi salah salah satu benturan yang kerap dihadapi dalam ekspedisi ke luar angkasa.
Di bawah pemerintahan Donald Trump, NASA mendapatkan anggaran sebesar US$19,5 miliar (sekitar Rp277,9 triliun) per tahun. Kemungkinan anggaran tersebut kan naik hingga US$19,9 miliar (Sekitar Rp286,6 triliun) pada 2019 mendatang.
Meski terlihat besar, dana tersebut harus dialokasikan untuk mendanai sejumlah proyek NASA yang jumlahnya tidak sedikit. Mulai dari pembangunan teleskop ruang angkasa James Webb, proyek roket raksasa Space Launch System (SLS), dan misi-misi untuk menjelajahi matahari, Jupiter, Mars, sabuk asteroid, sabuk kuiper, hingga ujung tata surya.
NASA menganggap anggaran ini relatif kecil dibandingkan masa pemerintahan presiden AS sebelum era Trump.
"Pada tahun 1965, NASA mendapatkan 4 persen dari anggaran negara. Selama 40 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk NASA tak lebih dari satu persen, bahkan hanya mencapai 0,4 persen selama 15 tahun belakangan," ungkap Cunningham yang merupakan salah satu astronaut yang terlibat dalam misi Apollo 7.
"Anggaran yang dimiliki NASA terlalu kecil untuk melakukan hal-hal tersebut," jelasnya terkait misi mengirim astronaut ke bulan dan Mars.
Presiden yang mengubah programSeiring dengan pergantian presiden, NASA turut menjadi korban perubahan program yang kerap diubah. Sebagai contoh, di era George W. Bush pada 2005, NASA ditugaskan untuk mempersiapkan pengganti pesawat ulang alik dan mengirim kembali misi ke bulan.
Saat itu NASA memulai program yang dinamakan Constellation untuk mendaratkan astronaut di bulan dengan menggunakan roket Ares dan pesawat antariksa Orion. Proyek ini menyedot dana US$9 miliar (sekitar Rp129,5 triliun) selama lima tahun untuk keperluan desain, membangun, dan melakukan serangkaian percobaan.
Namun, saat Barack Obama dilantik menggantikan Bush dan menerima laporan bahwa NASA tak mampu memperkirakan anggaran program tesebut dengan baik, proyek ini justru dihentikan dan digantikan dengan proyek roket SLS.
Perubahan tersebut berimbas pada beragam pembatalan dan kerugian yang harus dihadapi sebesar US$20 miliar (sekiar Rp287,9 trilian) dan waktu bertahun-tahun yang terbuang percuma.
Lingkungan berbahayaPermukaan bulan yang dipenuhi kawah dan batu-batu besar jadi medan berbahaya yang sangat menantang untuk misi pendaratan.
Madhu Thangavelu, seorang ahli penerbangan dari University of Southern California menyebut bahwa bulan diselimuti oleh lapisan debu yang kasar dan lengkat hingga berpotensi merusak kostum astronaut, kendaraan, dan sistem dengan sangat cepat.
Mengutip
Science Alert, masalah lain yakni paparan sinar matahari. Setiap 15 hari sekali, permukaan bulan akan menjadi sangat panas ketika menghadap ke arah matahari karena bulan tidak memiliki perlindungan atmosfer. Setelah itu, bulan akan diselimuti kegelapan total selama 15 hari berikutnya yang membuat menjadi salah satu tempat terdingin di alam semesta.
(evn)