Jakarta, CNN Indonesia -- Industri teknologi finansial (
financial technology/
fintech) saat ini sudah menjamur di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan
fintech yang menawarkan peminjaman uang berbasis online atau lebih dikenal dengan sebutan
fintech lending.
Meski menawarkan kecepatan dan kemudahan dalam meminjam uang, layanan
fintech lending memiliki sejumlah risiko. Salah satu risiko besar pada layanan ini adalah kemungkinan penipuan, karena tidak ada pertemuan langsung antara pihak yang meminjamkan uang dengan pihak yang meminjam.
Dalam industri
fintech lending, dikenal istilah
'predatory lending' atau praktik peminjaman uang dengan dasar penipuan, yang dilakukan oleh pihak peminjam dan bertujuan untuk melilit peminjam dengan utang secara terus-menerus.
Ketua Bidang Pinjaman Cash Loan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menjelaskan terdapat setidaknya tiga ciri yang mengindikasikan sebuah perusahaan fintech melakukan praktik predatory lending.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Tidak memberikan keterangan jelas tentang bunga.
Layaknya peminjaman uang pada umumnya, layanan fintech juga menetapkan bunga dalam program peminjamannya. Perusahaan yang berpotensi melakukan predatory lending biasanya tidak menjelaskan secara rinci tentang suku bunga yang akan diterapkan.
2. Tidak memberikan keterangan jelas tentang denda.
Sunu mengatakan, perusahaan fintech umumnya bakal mengenakan denda kepada para peminjam yang terlambat membayarkan pinjamannya. Para pelaku predatory lending biasanya tidak mencantumkan dengan rinci penjelasan terkait hal ini sebelum peminjaman dilakukan.
3. Perhitungan bunga dan denda tidak pasti.
Perusahaan fintech pelaku
predatory lending juga biasanya tidak menuliskan cara perhitungan bunga dan denda pada kontrak awal.
"Perhitungan bunga dalam praktik predatory itu mayoritas
interest on interest. Jadi benar-benar bola [seperti] salju dalam perhitungannya," ujar Sunu.
Maksud dari
interest on interest adalah bunga tidak dihitung berdasarkan jumlah pinjaman awal, melainkan berdasarkan jumlah pinjaman awal ditambah bunga yang sudah dikenakan sebelumnya.
Sunu menambahkan, selain dengan memperhatikan tiga ciri tersebut, masyarakat dapat menghindari praktik predatory lending dengan cara hanya meminjam uang ke perusahaan fintech yang telah terdaftar secara resmi di otoritas jasa keuangan.
"Pilihlah perusahaan fintech yang sudah terdaftar di OJK. Saat ini sudah 64 perusahaan fintech peer to peer lending terdaftar di OJK," tuturnya.
"Gampangnya, kalau perusahaan yang belum terdaftar, pasti dia tidak mencantumkan logo OJK."
(age)