Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Komunikasi dan Informatika
Rudiantara mengatakan mendukung konsep dasar
Badan Penelitian dan Pengkajian (BPPT) terkait
Cable Based Tsunameter (CBT) untuk deteksi awal
tsunami. CBT ini dicanangkan sebagai alternatif untuk menggantikan buoy yang memakan biaya operasional (operation expenditure) yang sangat besar.
Kendati demikian BPPT mengakui belanja modal (
capital expenditure/CAPEX) CBT jauh lebih mahal dari buoy. Biaya pengeluaran modal bisa mencapai triliunan rupiah dengan asumsi BPPT membangun kabel bawah laut CBT sendiri.
Oleh karena itu BPPT berencana untuk menggunakan kabel broadband Palapa Ring untuk menaruh sensor sehingga bisa menekan CAPEX CBT. Rudiantara mengatakan akan mendukung konsep ini sebagai langkah mitigasi bencana.
"Saya sudah bicara dengan BMKG & BPPT. Kami dukung (CBT)," tutur Rudiantara saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Jumat (5/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT) Hammam Riza menceritakan biaya operasional buoy sangat tinggi. Bisa mencapai Rp600 juta per tahun dengan harga buoy sekitar Rp6 miliar.
"Dari Rp6 miliar tadi pukul rata
maintenance bisa 10 sampai 20 persen per tahun," kata Hammam.
CBT sudah diterapkan di Jepang dan Amerika. Amerika memanfaatkan kabel optik komunikasi bawah laut untuk memasang sensor. deteksi tsunami. Opsi yang paling cocok dalam penerapan CBT DI Indonesia adalah opsi yang dilakukan Amerika.
"Kalau sudah ada kabel ya tinggal pasang sensor di kabel. Kalau pasang kabel sendiri itu baru harganya triliunan. Makanya saya bilang penting agar Palapa Ring juga bisa terkoneksi dengan CBT. Jadi tidak hanya broadband tapi juga bisa CBT," tutur Hammam.
CBT ini juga telah dikembangkan di beberapa negara dan dimanfaatkan antara lain oleh Kanada, dan Oman. Dalam forum komunikasi antar perekayasa CBT di seluruh dunia disepakati CBT menjadi pilihan sebagai alternatif terhadap permasalahan yang dihadapi oleh buoy, yakni vandalisme dan mahalnya biaya operasi buoy.
(jnp/age)