Tepat pada 2 September 1994, Menristek BJ Habibie meresmikan operasional Telkomsel GSM milik Telkom dan Indosat sebagai calon pemilik saham minoritas. Kelahiran layanan seluler GSM membuat Garuda menegaskan strategi pemasaran bagi operator. Menurutnya, bisnis operator bukan jualan ponsel, tetapi nomor dalam kartu SIM. Mengingat sebelumnya untuk berkomunikasi seluler, orang harus membeli ponsel dengan harga sangat mahal sekitar Rp10 jutaan, kini ponsel dan kartu dijual terpisah.
Penerapan
an open distribution channel (ODC) pada tahun 1994 merupakan mimpinya agar distribusi kartu perdana dan pulsa bisa dilakukan sampai ke kios rokok. Strategi ini kemudian diikuti dengan kemunculan produk pendukung seperti kartuHalo, Simpati, Grapari, Combat, dan lainnya.
"Obsesi saya saat itu agar suatu hari tukang sayur dan sopir truk menggunakan ponsel," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usai merampungkan proyek Telkomsel GSM, tim kemudian menyiapkan cikal bakal perusahaan patungan Telkom-Indosat dan jaringan nasional. Hingga tahun 1998, Telkom hanya fokus pada bisnis domestik sementara Indonesia solusi layanan internasional.
Di tahun 2000, pemerintah membuat kesepakatan
cross-ownership antara dua perusahaan BUMN yakni Telkom dapat Telkomsel dan Indosat melalui Satelindo dengan produk Indosat MultiMedia Mobile (IM3). Di tahun yang sama, ia ditunjuk oleh Menteri BUMN sebagai Direktur Operasi PT Indosat.
"Dulu Indosat cuma punya layanan 001 internasional, sekarang berubah menjadi
full network service provider. Sementara Telkom dulu fokus di domestik lewat jaringan telepon, interkoneksi, satelit Pala yang kemudian dipindahkan ke Indosat, kabel laut, dan bisnis lainnya," jelasnya.
Di bawah kepemimpinannya di Indosat, ia merangsek lewat produk IM3 yang menyasar segmen anak muda. Garuda menyebut kemunculan IM3 membuat Telkom gelagapan. Ia pun menyebut Satelindo, kini Indosat, menjadi operator pertama yang berpikir internet multimedia
(broadband).
"IM3 namanya ngetren banget karena segmennya anak muda. Cuma sayangnya, Dirut berikutnya mengganti IM3 dengan Matrix sebagai ikon dan dalam perjalanannya justru stagnan," ungkapnya.
Memasuki tahun 2002 hingga 2004, penyuka paralayan gini ditarik kembali ke PT Telkom sebagai Direktur Bisnis Jasa untuk menangani proyek telepon bergerak TelkomFlexi. Sistem CDMA yang baru tumbuh kemudian dikemasnya lewat Flexi yang disebut sebagai komplementari telepon murah.
Sebaliknya, kelahiran Flexi membuat kompetitornya yakni operator seluler GSM gelagapan. Citra telepon rumah yang ramah dan murah berbanding terbalik dengan banderol layanan GSM yang relatif mahal saat itu.
Pada tahun 2005 hingga 2007, ia ditugaskan menjadi direktur utama PT Telkom. Di tengah rangkaian prestasi yang berhasil diukir, pecinta motor gede ini memutuskan pensiun dini saat usianya belum genap 60 tahun.
Seiring dengan pertumbuhan layanan pita lebar, ia mengatakan kini industri telekomunikasi telah banyak berubah. Jika dulu masyarakat antre untuk menggunakan telepon umum, kini semua bisa dilakukan lewat ponsel. Di era '90-an saat sistem pager sangat marak dan digantikan dengan kemunculan warung internet (warnet). Namun kini kemunculan layanan seluler digital sekaligus mematikan eksistensi telepon umum, pager, dan warnet sekaligus.
"Layanan seluler digital menjadi predator yang membunuh jasa telekomunikasi yang lahir sebelumnya. Begitulah siklus teknologi," pungkas pria yang kini menjadi anggota Dewan Pelaksana TIK Nasional (Wantiknas).
Lebih jauh, ia mengatakan masih banyak hal yang disoroti di industri telekomunikasi Indonesia. Mulai dari komitmen operator seluler, kesemrawutan tiang dan kabel internet, transfer kemampuan dan pengetahuan dari tenaga asing, hingga regulasi telekomunikasi yang menurutnya terlalu kuno.
"Masih banyak PR yang harus dibenahi, pertelekomunikasian Indonesia perlu kecepatan dan ketepatan untuk membangun pemerataan aksesibilitas internet pita lebar. Cara ini bisa membuat masyarakat yang ditunjang sektor telekomunikasi yang berkedaulatan bisa terwujud," imbuhnya.
(evn)