Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak bergabung bersama
PT Telkom Indonesia (d/h Perumtel) pada tahun 1977,
Garuda Sugardo memendam mimpi kelak layanan telekomunikasi bisa dinikmati tukang sayur dan sopir ojek. Selepas lulus dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Garuda secara perlahan mulai membangun mimpinya itu menjadi nyata.
Saat ditempatkan di Laboratorium Telegraf, Puslitbang Perumtel, ia ditempatkan di 'unit gersang' dengan berhasil mengeskalasi sistem telegrafi menjadi komunikasi data. Berkat jasanya, ia kemudian diangkat menjadi Kepala Labkomdata dan mengabdi selama 12 tahun. Ia juga berhasil mengembangkan sistem
Packet Satellite Data Network (Packsatnet) dan Sistem Komunikasi Data Paket (SKDP).
Garuda menuturkan ada kisah tersendiri yang membuatnya lebih memilih unit sistem telegrafi ketimbang unit kerja favorit seperti transmisi satelit,
microwave, sentral telepon atau jaringan kabel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kerjaan begini membosankan dan saya tidak suka rutinitas, saya lebih suka sesuatau yang menantang makanya saya lebih memilih sistem telegrafi," ujarnya saat diwawancara
CNNIndonesia.com.
Ketertarikan Garuda di ranah jaringan sudah terlihat dari hobinya 'ngoprek' peralatan elektronik dan main pemancar radio amatir sejak duduk di SMAN 8 Jakarta. Saat itu ia bekerja paruh waktu sebagai tukang bantu di sebuah bengkel mobil bekas di Kampung Melayu, Jakarta Selatan.
Di tahun 1989, Garuda menantang direktur utama Telkom Cacuk Sudarijanto untuk ditugaskan di Papua-- daerah yang kebanyakan dihindari oleh rekan seprofesi. Menjabat sebagai Wakil Kepala Wilayah Telekomunikasi, setahun kemudian ia diangkat menjadi Kepala Wilayah dan memberikan sentuhan teknologi di daerah yang kerap dianggap terbelakang itu.
 Base transciever station (BTS) salah satu penunjang layanan telekomunikasi seluler. (Foto: CNN Indonesia/ Susetyo Dwi Prihadi) |
Pada 1991, ia kembali ditugaskan di Kantor Pusat Telkom di Bandung sebagai Kepala Proyek Sistem Telekomunikasi Kendaraan Bergerak (STKB) selama empat tahun. Lagi-lagi ia merasa tidak berada di zona nyaman dengan jabatannya itu. Ia kemudian menyodorkan proposal studi bandung sistem seluler digital Global System for Mobile Communications (GSM) ke Eropa, Amerika, dan Hong Kong.
"Saat itu saya tidak menikmati jabatan tersebut karena bersifat rutinitas operasional yang tanpa greget dan tantangan," ucapnya.
Sekembalinya dari studi banding, pria kelahiran 4 Desember 1949 ini memimpin pilot project GSM Telkom di Batam dan Bintan. Saat itu banyak orang Singapura bisa membawa telepon dari negaranya dan menelepon dari Batam ke Singapura dengan tarif pulsa lokal.
Setelah bekerja 18 jam sehari selama 7 minggu, ia dan timnya sukses mengudarakan sinyal GSM pada 31 Desember 1993. Realisasi ini sehari lebih awal dari target agar GSM Telkom mengudara pada 1 Januari 1994.
Di hari itu, sistem seluler GSM pertama di Indonesia telah dilahirkan. Meski tak mengantongi surat kuasa dari Dirut Telkom, ia nekat mendaftarkan proyek percontohan ini ke Asosiasi GSM dengan nama layanan GSM Telkomse. Kemudian pada 26 Mei 1995 berubah menjadi PT Telkomsel.
"Dulu misinya mau menghadang dan menghalau sinyal seluler dari Singapura yang seenaknya menerobos masuk ke Batam dan Bintan. Saking herannya, bule-bule Siemens Jerman dan Ericsson sambil berujar mengatakan kami seperti menggali lubang untuk kuburan sendiri," kenangnya.
Tepat pada 2 September 1994, Menristek BJ Habibie meresmikan operasional Telkomsel GSM milik Telkom dan Indosat sebagai calon pemilik saham minoritas. Kelahiran layanan seluler GSM membuat Garuda menegaskan strategi pemasaran bagi operator. Menurutnya, bisnis operator bukan jualan ponsel, tetapi nomor dalam kartu SIM. Mengingat sebelumnya untuk berkomunikasi seluler, orang harus membeli ponsel dengan harga sangat mahal sekitar Rp10 jutaan, kini ponsel dan kartu dijual terpisah.
Penerapan
an open distribution channel (ODC) pada tahun 1994 merupakan mimpinya agar distribusi kartu perdana dan pulsa bisa dilakukan sampai ke kios rokok. Strategi ini kemudian diikuti dengan kemunculan produk pendukung seperti kartuHalo, Simpati, Grapari, Combat, dan lainnya.
"Obsesi saya saat itu agar suatu hari tukang sayur dan sopir truk menggunakan ponsel," imbuhnya.
Usai merampungkan proyek Telkomsel GSM, tim kemudian menyiapkan cikal bakal perusahaan patungan Telkom-Indosat dan jaringan nasional. Hingga tahun 1998, Telkom hanya fokus pada bisnis domestik sementara Indonesia solusi layanan internasional.
Di tahun 2000, pemerintah membuat kesepakatan
cross-ownership antara dua perusahaan BUMN yakni Telkom dapat Telkomsel dan Indosat melalui Satelindo dengan produk Indosat MultiMedia Mobile (IM3). Di tahun yang sama, ia ditunjuk oleh Menteri BUMN sebagai Direktur Operasi PT Indosat.
"Dulu Indosat cuma punya layanan 001 internasional, sekarang berubah menjadi
full network service provider. Sementara Telkom dulu fokus di domestik lewat jaringan telepon, interkoneksi, satelit Pala yang kemudian dipindahkan ke Indosat, kabel laut, dan bisnis lainnya," jelasnya.
Di bawah kepemimpinannya di Indosat, ia merangsek lewat produk IM3 yang menyasar segmen anak muda. Garuda menyebut kemunculan IM3 membuat Telkom gelagapan. Ia pun menyebut Satelindo, kini Indosat, menjadi operator pertama yang berpikir internet multimedia
(broadband).
"IM3 namanya ngetren banget karena segmennya anak muda. Cuma sayangnya, Dirut berikutnya mengganti IM3 dengan Matrix sebagai ikon dan dalam perjalanannya justru stagnan," ungkapnya.
Memasuki tahun 2002 hingga 2004, penyuka paralayan gini ditarik kembali ke PT Telkom sebagai Direktur Bisnis Jasa untuk menangani proyek telepon bergerak TelkomFlexi. Sistem CDMA yang baru tumbuh kemudian dikemasnya lewat Flexi yang disebut sebagai komplementari telepon murah.
Sebaliknya, kelahiran Flexi membuat kompetitornya yakni operator seluler GSM gelagapan. Citra telepon rumah yang ramah dan murah berbanding terbalik dengan banderol layanan GSM yang relatif mahal saat itu.
Pada tahun 2005 hingga 2007, ia ditugaskan menjadi direktur utama PT Telkom. Di tengah rangkaian prestasi yang berhasil diukir, pecinta motor gede ini memutuskan pensiun dini saat usianya belum genap 60 tahun.
Seiring dengan pertumbuhan layanan pita lebar, ia mengatakan kini industri telekomunikasi telah banyak berubah. Jika dulu masyarakat antre untuk menggunakan telepon umum, kini semua bisa dilakukan lewat ponsel. Di era '90-an saat sistem pager sangat marak dan digantikan dengan kemunculan warung internet (warnet). Namun kini kemunculan layanan seluler digital sekaligus mematikan eksistensi telepon umum, pager, dan warnet sekaligus.
"Layanan seluler digital menjadi predator yang membunuh jasa telekomunikasi yang lahir sebelumnya. Begitulah siklus teknologi," pungkas pria yang kini menjadi anggota Dewan Pelaksana TIK Nasional (Wantiknas).
Lebih jauh, ia mengatakan masih banyak hal yang disoroti di industri telekomunikasi Indonesia. Mulai dari komitmen operator seluler, kesemrawutan tiang dan kabel internet, transfer kemampuan dan pengetahuan dari tenaga asing, hingga regulasi telekomunikasi yang menurutnya terlalu kuno.
"Masih banyak PR yang harus dibenahi, pertelekomunikasian Indonesia perlu kecepatan dan ketepatan untuk membangun pemerataan aksesibilitas internet pita lebar. Cara ini bisa membuat masyarakat yang ditunjang sektor telekomunikasi yang berkedaulatan bisa terwujud," imbuhnya.