Jakarta, CNN Indonesia --
Aksi mahasiswa punya peran sentral untuk menyuarakan penolakan atas sejumlah RUU yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Pada peristiwa awal pekan ini, mereka berhasil menggulung gelombang gerakan di
media sosial untuk menyulut kesadaran masyarakat, hingga aksi turun ke jalan untuk mengganyang perhatian pemerintah.
"Tren percakapan di semua kanal, awalnya landai. Selama ini memang publik belum paham bahaya RUU KUHP. Namun, sejak 19 September situasi berubah. Naik pesat. Didorong oleh gerakan #MahasiswaBergerak," jelas Ismail Fahmi pengamat media sosial di Drone Emprit dalam cuitannya akhir pekan lalu, seperti dikonfirmasi
CNNIndonesia.com, Rabu (25/9).
Tagar #MahasiswaBergerak menurut Ismail membantu memviralkan isu RKUHP yang sebelumnya tersebar dalam berbagai tagar. Platform media sosial yang dijadikan ujung tombak bergulirnya isu ini adalah Twitter dan disusul dengan media
online.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Tren tagar #MahasiswaBergerak periode 13-20 September 2019 (Screenshot via situs Drone Emprit) |
Dari grafik tampak pergerakan meningkatnya cuitan mengenai isu RKUHP dekat beririsan dengan meningkatnya tagar #MahasiswaBergerak.
"Dari perbandingan tren tagar #MahasiswaBergerak dengan RUU KUHP, terlihat jelas bahwa tanpa adanya gerakan mahasiswa, RUU KUHP akan tetap landai dan tak terdengar oleh publik," lanjutnya.
Isu RKUHP terangkat oleh mahasiswa lantaran ada lonjakan isu RKUHP setelah tagar Mahasiswa Bergerak muncul. Terkereknya pembicaraan RKUHP menurutnya lantaran #MahasiswaBergerak ikut menyuarakan soal RKUHP.
Tagar Mahasiswa Bergerak sendiri mencapai puncak pada Sabtu (20/9) dengan 223 ribu mention. Lantas muncul tagar #GejayanMemanggil. Menurut Ismail, kedua tagar ini memiliki hubungan. Namun, dari segi volume, tagar #GejayanMemanggil sebenarnya jauh lebih kecil dari Mahasiswa Bergerak.
Ketika dihubungi terpisah, peneliti Drone Emprit Hari Ambari menyebut gema #GejayanMemanggil dan #MahasiswaBergerak berasal dari dua kelompok berbeda. Sebab, dari hasil analisis Drone Emprit, dua tagar ini digaungkan oleh cluster berbeda.
"(Terlihat dari) cluster yang terbentuknya, kalau sangat rapat berarti orangnya itu-itu saja," jelas Hari lewat sambungan telepon, Kamis (27/9).
Sementara pada gambar cluster Drone Emprit tampak dua kelompok itu terpisah. Hal ini ditandai dengan cluster yang membicarakan #GejayanBergerak pada titik-titik berwarna oranye. Mereka terpisah dari pembawa isu #MahasiswaBergerak yang ditandai dengan titik biru. Ramainya dua tagar ini lantas mengundang banyak aksi mahasiswa yang memprotes RKUHP dan sejumlah perundangan lainnya.
 Pada gambar, cluster berwarna oranye adalah pendukung tagar #GejayanMemanggil, sementara cluster berwarna biru adalah pendukung #MahasiswaBergerak (screenshot via Drone Emprit) |
Media Sosial untuk Gerakan MassaMelihat fenomena ini, tak dapat dipungkiri peran media sosial dalam mengangkat isu tertentu, mobilisasi, hingga membuat perubahan sosial. Mengutip jurnal Mengukur Gerakan Sosial Lewat Media Sosial, Carney N. menyebut media sosial bisa membantu pembentukan diskusi pada isu politik tertentu.
Hari menyebut media sosial memang kerap digunakan untuk memobilisasi massa. Terdapat dua aksi yang bermula dari media sosial yang cukup menonjol. Pertama aksi mahasiswa kemarin dan aksi 212 pada akhir tahun lalu. Ketika ditanyakan, Hari menyebut ada sedikit perbedaan pola di media sosial antara kedua aksi ini.
(Bersambung ke halaman berikutnya, Beda aksi 212 dan aksi mahasiswa di media sosial)[Gambas:Video CNN]
Menurut pengamatan Hari, saat gerakan 212, aktivitas media sosial sempat turun menjelang aksi.
"Besar volume sebenarnya pada H-2, satu hari sebelum jadi. pas 212 sempat turun dulu. Kita membacanya ketika sedang turun, kegiatannya tidak di-
woro-woro di medsos, tapi konsolidasi di kanal lain yang lebih bisa digunakan untuk mobilisasi, misal di Whatsapp," tuturnya.
Sementara pada pergerakan mahasiswa kemarin, meski ada aksi di lapangan, namun pergerakan di media sosial tetap besar.
"(Aksi mahasiswa) di medsos tidak terpengaruh dengan konsolidasi di lapangan, jadi tetep naik," lanjut Hari. "(Sebab) di medsos
gathering pembacanya jadi terus-terusan keluar dari cluster yang sebelumnya,
woro-woro cenderung meluas, (sehingga)
virality-nya terus ter-
maintain (jaga)."
Artinya, makin banyak akun-akun netizen yang sebelumnya tidak tergabung dalam gaung yang disuarakan mahasiswa. Mereka yang ada diluar kelompok itu ikut menyumbang suara, sehingga gema isu protes mahasiswa itu terus terjaga.
Menurut Hari, tagar #GejayanMemanggil dan #MahasiswaBergerak, sama-sama menjadi pemicu mahasiswa turun ke jalan.
"Dua-duanya berpengaruh untuk ngajak turun ke jalan. Sebab, untuk bergerak memang butuh pesan disampaikan secara repetitif," jelasnya. "Bukan berarti yang satu lebih berpengaruh dari yang lain, tapi repetisi dari beberapa tagar berpengaruh."Melihat besarnya euforia dukungan atas protes mahasiswa ini, Ismail pun sempat khawatir aksi protes di media sosial itu akan membuahkan aksi di jalanan.
"Melihat tren dan opini publik yang bersatu ini, kiranya DPR dan Presiden Jokowi harus mempertimbangkan baik-baik jika akan mengesahkan dan menyetujui RUU KUHP. Bisa jadi gerakan seperti Protes Hong Kong akan terjadi di Indonesia, dimotori mahasiswa, jika RUU ini disahkan," tulisnya saat itu (20/9).
Sebuah kekhawatiran yang terbukti di kemudian hari. Pada Senin (23/9) mahasiswa memang turun aksi ke jalanan.
 Aksi para mahasiswa di media sosial berujung menjadi aksi demonstrasi turun ke jalan yang didukung oleh massa yang besar (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) |
Media sosial dan aksi jalananMedia sosial dan aksi demonstrasi di jalan punya hubungan dekat. Tak cuma di Indonesia, aksi protes serupa juga terjadi disejumlah negara.
Misalnya, revolusi yang terjadi di Mesir pada 2011. Tagar #Jan25 Dalam aksi revolusi tersebut. Gerakan ini bermula dari cuitan yang terus mendapat dukungan di Twitter. Gerakan di media sosial itu lantas berbuah aksi turun ke jalan dan mendesak Presiden Hosni Mubarak mundur dari jabatannya.
Kasus teranyar adalah protes Hong Kong. Aksi ini menggunakan media sosial untuk menggalang dukungan, mengorganisasikan isu, dan mengumpulkan massa untuk melakukan aksi, seperti dikutip
CNBC.
Aksi organikAnalisis Drone Emprit juga mengungkap bahwa gerakan mahasiswa yang digaungkan di media sosial itu merupakan aksi yang organik. Hal ini ditandai dengan tingkat tingkat interaksi yang tinggi dalam tiap cuitan yang dilontarkan. Tingginya tingkat interaksi ini menjadi tanda interaksi yang terjadi bersifat alami.
"Dari satu
tweet, ada 7.63 interaksi (berupa
retweet dan
reply) yang didapat. Ini menandakan percakapan tentang RUU KUHP cenderung natural," tulis Ismail.
Hasil analisa serupa diungkap oleh Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator. Berdasarkan laporan yang diterima
CNNIndonesia.com, cuitan dari akun manusia lebih besar dari akun robot.
"Akun manusia sebesar 142.377 (95,7%) dan akun robot 6.367 (4,3%)," tulis Rustika, Kamis (27/9).
Percakapan mengenai penolakan atas RKUHP pada ini juga berdasarkan hasil pengamatan berasal dari berbagai kota di Indonesia kecuali Papua. Perbincangan tertinggi ada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya. Ini tangkapan pada perbincangan pada 13-20 September.
Sementara berdasarkan pantauan Indonesia Indicator, warga Papua juga ikut mendukung protes mahasiswa ketika sudah mulai turun aksi ke jalan pada 24-25 September 2019.
[Gambas:Video CNN]