Menurut pengamatan Hari, saat gerakan 212, aktivitas media sosial sempat turun menjelang aksi.
"Besar volume sebenarnya pada H-2, satu hari sebelum jadi. pas 212 sempat turun dulu. Kita membacanya ketika sedang turun, kegiatannya tidak di-
woro-woro di medsos, tapi konsolidasi di kanal lain yang lebih bisa digunakan untuk mobilisasi, misal di Whatsapp," tuturnya.
Sementara pada pergerakan mahasiswa kemarin, meski ada aksi di lapangan, namun pergerakan di media sosial tetap besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Aksi mahasiswa) di medsos tidak terpengaruh dengan konsolidasi di lapangan, jadi tetep naik," lanjut Hari. "(Sebab) di medsos
gathering pembacanya jadi terus-terusan keluar dari cluster yang sebelumnya,
woro-woro cenderung meluas, (sehingga)
virality-nya terus ter-
maintain (jaga)."
Artinya, makin banyak akun-akun netizen yang sebelumnya tidak tergabung dalam gaung yang disuarakan mahasiswa. Mereka yang ada diluar kelompok itu ikut menyumbang suara, sehingga gema isu protes mahasiswa itu terus terjaga.
Menurut Hari, tagar #GejayanMemanggil dan #MahasiswaBergerak, sama-sama menjadi pemicu mahasiswa turun ke jalan.
"Dua-duanya berpengaruh untuk ngajak turun ke jalan. Sebab, untuk bergerak memang butuh pesan disampaikan secara repetitif," jelasnya. "Bukan berarti yang satu lebih berpengaruh dari yang lain, tapi repetisi dari beberapa tagar berpengaruh."Melihat besarnya euforia dukungan atas protes mahasiswa ini, Ismail pun sempat khawatir aksi protes di media sosial itu akan membuahkan aksi di jalanan.
"Melihat tren dan opini publik yang bersatu ini, kiranya DPR dan Presiden Jokowi harus mempertimbangkan baik-baik jika akan mengesahkan dan menyetujui RUU KUHP. Bisa jadi gerakan seperti Protes Hong Kong akan terjadi di Indonesia, dimotori mahasiswa, jika RUU ini disahkan," tulisnya saat itu (20/9).
Sebuah kekhawatiran yang terbukti di kemudian hari. Pada Senin (23/9) mahasiswa memang turun aksi ke jalanan.
 Aksi para mahasiswa di media sosial berujung menjadi aksi demonstrasi turun ke jalan yang didukung oleh massa yang besar (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) |
Media sosial dan aksi jalananMedia sosial dan aksi demonstrasi di jalan punya hubungan dekat. Tak cuma di Indonesia, aksi protes serupa juga terjadi disejumlah negara.
Misalnya, revolusi yang terjadi di Mesir pada 2011. Tagar #Jan25 Dalam aksi revolusi tersebut. Gerakan ini bermula dari cuitan yang terus mendapat dukungan di Twitter. Gerakan di media sosial itu lantas berbuah aksi turun ke jalan dan mendesak Presiden Hosni Mubarak mundur dari jabatannya.
Kasus teranyar adalah protes Hong Kong. Aksi ini menggunakan media sosial untuk menggalang dukungan, mengorganisasikan isu, dan mengumpulkan massa untuk melakukan aksi, seperti dikutip
CNBC.
Aksi organikAnalisis Drone Emprit juga mengungkap bahwa gerakan mahasiswa yang digaungkan di media sosial itu merupakan aksi yang organik. Hal ini ditandai dengan tingkat tingkat interaksi yang tinggi dalam tiap cuitan yang dilontarkan. Tingginya tingkat interaksi ini menjadi tanda interaksi yang terjadi bersifat alami.
"Dari satu
tweet, ada 7.63 interaksi (berupa
retweet dan
reply) yang didapat. Ini menandakan percakapan tentang RUU KUHP cenderung natural," tulis Ismail.
Hasil analisa serupa diungkap oleh Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator. Berdasarkan laporan yang diterima
CNNIndonesia.com, cuitan dari akun manusia lebih besar dari akun robot.
"Akun manusia sebesar 142.377 (95,7%) dan akun robot 6.367 (4,3%)," tulis Rustika, Kamis (27/9).
Percakapan mengenai penolakan atas RKUHP pada ini juga berdasarkan hasil pengamatan berasal dari berbagai kota di Indonesia kecuali Papua. Perbincangan tertinggi ada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya. Ini tangkapan pada perbincangan pada 13-20 September.
Sementara berdasarkan pantauan Indonesia Indicator, warga Papua juga ikut mendukung protes mahasiswa ketika sudah mulai turun aksi ke jalan pada 24-25 September 2019.
(eks)