ANALISIS

Beban Perlindungan Data dari Jokowi untuk Johnny Plate

CNN Indonesia
Jumat, 25 Okt 2019 19:26 WIB
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate diminta untuk mengurus perlindungan data pribadi karena dianggap 'minyak' baru oleh Presiden Jokowi.
Ilustrasi. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo berulang kali menyinggung sektor teknologi informasi komunikasi (TIK). Ia mengatakan di era digital, Indonesia tak boleh takut terhadap keterbukaan untuk menghadapi persaingan digital yang berkaitan dengan inovasi, kreativitas, dan kecepatan.

Data Free Flow with Trust (DFFT) atau pertukaran data digital dibutuhkan untuk menjamin ekonomi digital bisa berkembang di Indonesia. Pertukaran data digital ini erat kaitannya dengan Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Secara gamblang, Jokowi juga meminta PDP harus memiliki aturan mengingat data telah menjadi komoditas yang lebih berharga dari minyak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak. Regulasinya harus segera disiapkan. Tidak boleh ada kompromi," kata Jokowi.

Saat ini Indonesia memang belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, padahal Rancangan UU PDP telah disusun sejak 2019. RUU PDP akan mengharmonisasi 32 regulasi data pribadi yang tercecer ke sejumlah aturan Kementerian dan Kelembagaan (K/L).


Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate harus mengemban tugas untuk menuntaskan pengesahan UU PDP yang telah mandek selama empat tahun.

Deputi Direktur Riset ELSAM mengatakan PDP tak kunjung dibahas karena adanya kendala internal di pemerintah sendiri terkait harmonisasi aturan sehingga draf PDP tak kunjung dikirimkan.

Hal ini cukup ironis karena Jokowi telah meminta secara khusus terkait keberadaan aturan Perlindungan Data Pribadi. Kemudian, Perlindungan Data Pribadi juga telah masuk prioritas dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Teknokrat 2020-2024.

"Tahun di pemerintah itu tidak cukup. Ada kendala tantangan di pemerintah sendiri sampai dengan DPR 2014-2019 mereka belum bisa melakukan proses pembahasan karena belum mengirimkan rancangan ke DPR," kata Wahyudi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (24/10).


Soal PDP dalam pidato Jokowi dan RPJMN seharusnya membuat Johnny langsung bergerak cepat begitu periode pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 dimulai. Wahyudi berharap agar Menkominfo tak mengulur-ulur waktu mengirimkan draf PDP ke DPR agar segera masuk Prolegnas.

"Tantangan Menkominfo baru untuk memastikan pemerintah solid dengan naskah yang ada dan di awal periode ini bisa dorong dan pastikan masuknya PDP sebagai Prolegnas 2020 pada periode pertama," kata Wahyudi.

Menkoinfo Jhonny Plate.(Foto: CNN Indonesia/Daniela Dinda


Berlatar belakang sebagai politikus, Johnny diyakini banyak pihak bisa memuluskan berbagai aturan ICT yang mandek dalam proses legislasi. Johnny pun berkali-kali mengatakan PDP menjadi prioritas utama.

Sebagai informasi, Johnny menjabat sebagai Sekjen Partai NasDem dan sempat menjabat sebagai Anggota Komisi XI di DPR RI.

"Kita harus selesaikan cepat, payung hukum terkait perlindungan data. Prioritas yang pertama pasti yang tinggal diselesaikan (RUU PDP), ibaratnya tendangan Pinalti, saya ingin tendang dan buat gol," kata Johnny usai acara serah terima jabatan (Sertijab) pada Rabu (23/10) lalu.

Wahyudi yakin dengan kekuatan Johnny di DPR, proses legislasi RUU PDP bisa semakin cepat. Kekuatan negosiasi atau lobi Johnny dengan para anggota DPR RI, dalam hal ini Komisi I, bisa memuluskan pengesahan RUU PDP.

"Menkominfo adalah bagian parpol politik. Tentu dia ada kedekatan hubungan dengan fraksi-fraksi di DPR sehingga seharusnya bisa lebih luas dan terbuka dalam proses lobi untuk mempercepat proses RUU PDP," ujarnya.


Wahyudi mengingatkan Indonesia sangat tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara terkait keberadaan aturan PDP yang komprehensif. Negara-negara di Asia Tenggara telah memberlakukan RUU PDP.

"Katakanlah Malaysia, Singapura, Filipina, Laos dan Thailand terakhir sudah mengesahkan dan akan berlaku pada awal 2020. Artinya mereka sudah ada panduan rujukan hukum memadai ketika terjadi kasus kasus dugaan kebocoran data pribadi," kata Wahyudi.

Kekosongan ini berakibat pada lemahnya perlindungan hak atas privasi di Indonesia, yang terekam dalam sejumlah kasus yang terjadi. Misalnya pada kasus konsumen perusahaan teknologi finansial berbasis peer-to-peer lending (P2P).

Kekosongan ini membuat pemerintah Indonesia tak dapat melakukan apa-apa untuk menegakkan dugaan kebocoran data tersebut. Di sisi lain, Malaysia bisa melakukan investigasi dengan adanya Komisioner Proteksi Data.

"Sementara kalau kita kemudian tidak mempunyai rujukan dan langkah yang jelas bagaimana respons situasi yang demikian karena ketiadaan UU PDP," tutur Wahyudi.

Ilustrasi. (Foto: Alastair Pike / AFP)



Di Level Undang-undang


Wahyudi juga turut mengomentari pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 soal Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik telah disahkan pada 10 Oktober 2019, menggantikan PP PSTE Nomor 82 Tahun 2012.

Menurutnya PSTE memang telah dimasukkan prinsip-prinsip RUU PDP. Akan tetapi, ia mengatakan level aturan yang 'hanya' berupa PP diragukan Wahyudi akan kuat untuk mengatur penyelenggara sistem transaksi elektronik.

"Levelnya peraturan pemerintah, yang sebenarnya dalam implementasi atau penegakan sering kali kemudian tidak kuat," ujarnya.

Lebih lanjut, Wahyudi juga mengatakan mengatakan sanksi dalam PP PSTE adalah hanya merupakan sanksi administratif berupa pengumuman di media massa dan pemblokiran sementara.

Sanksi administratif yang dimaksud pada PP PSTE berupa, teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, pemutusan akses dan/atau dikeluarkan dari daftar penyelenggara sistem elektronik. Penyelenggara sistem elektronik wajib melindungi aset data.

Oleh karena itu agar penegakan aturan PDP lebih kuat, ia menyarankan aturan PDP bisa ke level Undang-Undang.

"PSTE itu saya menempatkan peraturan yang sifatnya transisional saja, untuk bisa lebih kuat impelementasinya harus di level UU. Agar ada hukum UU PDP yang lebih komprehensif," ujarnya.


Wahyudi menjelaskan belum dipenuhinya prinsip-prinsip PDP yang komprehensif membuat Indonesia sulit menyesuaikan diri dengan aturan PDP terkait transaksi data, khususnya di Asia Tenggara. Filipina dan Singapura berinisiatif untuk mendorong standar umum PDP di Asia Tenggara.

"Ketika inisiatif menguat sementara Indonesia tidak memiliki UU PDP, tentu kita sulit kompetitif untuk dinyatakan setara dengan negara-negara tersebut," katanya.


Langkah Konkret Menkoinfo

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER