Jakarta, CNN Indonesia --
Penggunaan uang elektronik atau e-money kian digandrungi masyarakat di era digitalisasi saat ini. Embel-embel kemudahan dan banyaknya promo pada transaksi e-pay menjadi daya jual para penyedia transaksi elektronik untuk menggaet calon nasabah.
Pesatnya penggunaan uang digital menjadi celah baru bagi para perusahaan rintisan atau startup, untuk mengembangkan usaha hingga mencaplok bank konvensional. Fenomena ini disebut sebagai Neo Perbankan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira.
"Akuisisi bank konvensional oleh startup itu bisa disebut arah neo perbankan, yang banyak memberikan pemangkasan operasional dengan tidak mendirikan kantor cabang dan membayar karyawan yang mahal," tuturnya pada CNNIndonesia.com, Kamis (21/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena neo perbankan ini sudah berjalan di Eropa dan Amerika pada tahun 2002 hingga 2006. Dalam sistem neo perbankan, bank tidak perlu menyediakan kantor cabang di berbagai daerah seperti sekarang ini, karena para nasabah sudah dapat mengakses melalui gawai dengan menggunakan internet.
Bhima menilai, cara ini dinilai efektif dan efisien untuk meraup banyak keuntungan, serta berdampak pada turunnya suku bunga yang diberikan kepada nasabah peminjam uang atau kredit kendaraan.
Ia mengatakan, cara ini sudah diprediksi oleh berbagai perusahaan rintisan seperti Go-Jek yang belum lama ini mengakuisisi Bank Jago, serta Akulaku yang kini sudah mengakuisisi Bank Yudha Bhakti belakangan ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan, saat ini para pebisnis startup seperti Gojek sudah memiliki pendapatan yang relatif menurun dari jasa transportasi. Oleh karena itu, pihaknya mulai mengepakkan sayap untuk merambah ke unit bisnis lain, salah satunya perbankan.
Ia menjelaskan, startup saat ini memiliki keterbatasan regulasi untuk mendulang rupiah melalui bisnis model peminjaman uang. Maka dari itu, strategi jitu yang bisa dimainkan adalah mengakuisisi perbankan yang butuh pengembangan digital.
Keterbatasan penanam modal di perusahaan digital akibat pandemi Covid-19 juga dianggap menjadi faktor mengapa perusahaan teknologi mengakuisisi perbankan.
"Start up ini kan butuh modal yang cukup besar, nah situasi ini dapat uang data investor itu tidak mudah. maka mereka menggunakan sarana bank itu untuk menghimpun dana publik dalam bentuk simpanan," tuturnya.
Namun demikian Bhima mengkhawatirkan adanya barter data pengguna, antara start-up dan pihak bank konvensional. Ini menjadi potensi besar pihak pebisnis untuk mengolah data pengguna agar melancarkan roda bisnisnya.
"Data pengguna menjadi ancaman paling nyata dari adanya akuisisi ini. Semoga tidak diperuntukkan untuk hal-hal di luar bisnis sampai nanti UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) disahkan," pungkasnya.
Sementara itu, peneliti INDEF, Nailul Huda menilai maraknya akuisisi bank konvensional oleh startup adalah sebuah tingkatan baru bagi dunia perbankan.
Menurutnya, berubahnya poros perbankan ke arah digital menjadi tantangan baru bagi bank-bank kecil. Namun hal ini tidak berarti bagi bank yang sudah memiliki visi digital sejak lama, seperti BTPN dengan Jenius dan dan DBS yang punya Digibank.
"Kalau di Indonesia kan sudah ada pendahulu bank digital seperti Jenius dan Digibank. Bank besar lainnya saya lihat akan menyusul seperti BCA dan Mandiri. Tetapi bank yang di bawah itu perlu ditopang juga pebisnis berbasis teknologi," tuturnya pada CNNIndonesia.com, Kamis (21/1).
Ia juga menjelaskan, akuisisi startup terhadap bank konvensional merupakan fenomena yang lumrah disaat semua lini sektor bisnis sudah menerapkan digitalisasi, karena dituntut untuk minim interaksi akibat pandemi Covid-19.
Huda juga menjelaskan bahwa pandemi mengakibatkan tingginya tren penggunaan uang digital. Ini membuat Gopay, Ovo dan berbagai uang elektronik lainnya naik pesat.
Beberapa faktor juga mendorong laju percepatan perbankan digital, seperti pengguna internet yang meningkat, tingginya pengguna di kaum millenial, dan tumbuhnya kelompok pendapatan menengah.
Disinggung adanya monopoli perbankan yang diprediksi terjadi ketika adanya fenomena ini, dirinya justru tidak melihat potensi monopoli terhadap beberapa bank dan perusahaan rintisan itu.
Ia justru menilai, kedepannya, stimulus program akan banyak dilakukan pada perusahaan rintisan untuk menggaet banyak nasabah. Seperti embel-embel biaya nol administrasi saat top up dan masih banyak lagi.
"Saya melihat tidak ada monopoli. Justru bisa jadi nanti isi ulang gopay lewat bank jago bisa nol biaya administrasinya. Tapi kalau lewat bank lain bisa juga ditambah biaya administrasinya," ujar Huda.
Lebih lanjut ia mengkritisi perusahaan keuangan digital milik BUMN, LinkAja. Huda menilai, seharusnya Jasa Marga memberikan akses kepada perusahaan uang digital lain, agar dapat digunakan juga sebagai transaksi di jalan tol.
"Seharusnya uang elektronik lainnya untuk bisa digunakan pembayaran tol jadi pasarnya tidak dikuasai LinkAja. Kalau semua dibuka itu bagus banget, agar tidak berpotensi melanggar persaingan usaha tidak sehat," kritiknya.
LinkAja merupakan perusahaan keuangan berbasis teknologi, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara. Perusahaan tersebut memberikan berbagai fasilitas unggulan, di antaranya pembayaran tol serta penggunaan pembelian Bahan Bakar Minyak Minyak di Pertamina.
OJK Harus Pelototi Akuisisi Bank oleh Startup
Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal memiliki sorotan khusus yang harus dilakukan oleh regulator keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperkuat aturan para pelaku bisnis perbankan digital, agar tidak terlalu liar.
"Fenomena ini uniknya yang bermain bukan berasal dari lini perbankan. Tetapi dari perusahaan berbasis Teknologi. Tentunya ini harus menjadi kewaspadaan bagi OJK dalam membuat regulasi," Tuturnya pada CNNIndonesia.com, Kamis (21/1).
Lebih lanjut Fithra menjelaskan, era digitalisasi perbankan saat ini sama halnya di bisnis lain yang dituntut oleh perkembangan zaman. Seperti perseteruan yang terjadi di San Fransisco antara Uber dengan pihak penyedia jasa transportasi konvensional.
Seiring berjalannya waktu, akan terjadi Uberification, yang mana pihak konvensional akan menyatu dengan digital. Hal ini sudah diterjemahkan secara dewasa di Indonesia, dengan adanya merger dan atau akuisisi bank konvensional oleh perusahaan rintisan.
Fithra mengatakan fenomena ini merupakan sebuah kompetisi perusahaan digital untuk menyediakan layanan Super Apps atau aplikasi yang dapat melayani layanan multiguna.
"Mereka sama-sama ingin bersaing menjadi superapps. Gopay ini bisa jadi ingin memperluas bisnisnya lewat perbankan," ucapnya.
Ia memprediksi, akuisisi yang dilakukan ini berujung pada optimalisasi dan keleluasaan startup untuk mengembangkan fintech.
"Mereka melihat potensi keuntungan di sektor fintech. Meskipun pelayanannya adalah non fintech. ujung-ujungnya akan jadi fintech juga," tuturnya.
Dalam kasus ini, ia menyoroti kegetolan pihak Gojek dalam mencari investor karena berhasil menggaet perusahaan teknologi asal China Tencent sebagai investornya.
Ia juga menjelaskan, alat pembayaran elektronik juga sudah lama diberlakukan di China oleh perusahaan Alibaba yaitu Alipay. Namun ia menilai uang digital di China terlalu didominasi oleh satu perusahaan saja, hal tersebut berpotensi besar adanya monopoli.