Jakarta, CNN Indonesia --
Laksana Tri Handoko harus mengemas barang-barang pribadinya di ruang kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Pada reshuffle kabinet Indonesia Maju April lalu, ia dilantik menjadi kepala Badan Riset dan Inovasi (BRIN) oleh presiden Joko Widodo.
Mengawali karir sebagai periset di LIPI, pria kelahiran 7 Mei 1968 itu mengaku sudah memperlihatkan rasa penasaran di dunia penelitian sejak ia duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA).
Ia sempat menjadi finalis pada Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI tingkat nasional, yang membawanya bertemu langsung dengan Menteri Riset dan Teknologi kala itu, BJ Habibie.
"Jadi saya pas SMA itu ikut lomba karya ilmiah remaja LIPI. Kebetulan saya masuk jadi finalis ke Jakarta. Pada jaman itu finalis di bawa audiensi ke Menristek pak Habibie, ke Mendikbud kala itu Fuad Hasan, hingga kemudian ikut upacara bendera di Istana Negara ketika 17 Agustus," ujar Laksana saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Pria yang menghabiskan masa kecilnya di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur itu mengaku berasal dari keluarga yang biasa saja.
Meskipun ayahnya berprofesi sebagai pengajar di program studi fisika, Universitas Gajah Mada (UGM), ia tidak dikenalkan sedikitpun dunia penelitian. Bahkan ia dibesarkan dengan sekelumit kegiatan peternakan ayam, yang merupakan usaha sampingan keluarganya.
"Keluarga kami saat saya besar itu keluarga peternak ayam. Secara khusus saya tidak dikenalkan dunia penelitian. Tidak ada yang secara spesifik mengenalkan penelitian," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan sejak kecil dirinya sudah ditanamkan mental kerja keras. Di pagi hari sebelum beranjak ke sekolah, ia harus ikut membantu orangtua membersihkan kandang ayam, dan memindahkan hasil telur untuk kemudian di dijual ke pengepul.
Perjalanan menempuh studi ke Jepang
Pria yang akrab dipanggil LTH itu punya pengalaman panjang dalam menempuh studi, usai dirinya lulus SMA pada tahun 1987. Ia menuturkan sempat merasakan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), meski hanya beberapa bulan saja.
Singkatnya studi di ITB itu disebutnya sambil menunggu kepastian beasiswa dari Overseas Fellowship Program (OFP) Kemenristek.
"Karena proses tes [seleksi beasiswa] lama, dimulai sejak sebelum lulus SMA, prosesnya panjang. Jadi karena sudah diterima PMDK akhirnya saya sempat kuliah di ITB. Itu tidak lama, sekitar 3 bulanan," tuturnya.
Usai beberapa bulan menunggu kepastian beasiswa itu, akhirnya ia mendapat kabar diterima di Universitas Kumamoto, Jepang dengan program studi yang diinginkanya, yakni fisika.
Ia menuturkan, Jepang bukan menjadi negara pilihan untuk melanjutkan studi. Tetapi pada program itu, seluruh peserta beasiswa disebar di beberapa negara maju seperti Perancis, Amerika Serikat, Jerman dan Jepang. Masa studi yang ditempuhnya hingga mendapat gelar Doktor, terbilang unik dan penuh tantangan.
Selama studi kurang lebih 10 tahun di negeri sakura itu, ia mengaku belum pernah pulang ke kampung halamanya pada musim libur atau pada momen hari besar seperti lebaran. Ia mengaku biasa menghabiskan waktu liburnya untuk backpackers ke beberapa negara maju, untuk menambah relasi dan pengalaman di negara lain.
"Saya selama 10 tahun itu enggak pernah pulang, jadi saya kalau libur saya minta izin ke orangtua saya untuk backpaker ke berbagai negara. Karena saya mau cari wawasan, bagaimana kehidupan di negara lain," katanya.
Walaupun asik menempuh studi di Jepang, Laksana sempat terombang-ambing dalam ketidakjelasan melanjutkan studi. Usai ia lulus S1 di program studi fisika, ia belum mendapatkan kepastian dari pemerintah Indonesia apakah dirinya mendapatkan beasiswa untuk lanjut S2 hingga S3.
Sampai akhirnya ia harus bekerja paruh waktu di perusahaan kayu, hingga sempat menjadi petugas di pengisian bahan bakar minyak (BBM) kendaraan atau yang dikenal SPBU di Jepang untuk menyambung hidup dan juga disisihkan untuk biaya kuliah S2.
Sampai akhirnya ia resmi mendapat beasiswa dari pemerintah Jepang, untuk menempuh studi hingga mendapat gelar Doktor.
"Ya saya akhirnya bekerja di sana. Itu hal biasa lah bagi mahasiswa yang merantau di negeri orang untuk nambah uang saku sembari liburan. Makanya saya cari duit dulu paling enggak buat bayar semesteran kuliah," ujarnya.
Terinspirasi BJ Habibie
Laksana menjelaskan, sosok yang membawanya menjadi peneliti hingga akhirnya menduduki jabatan tertinggi di lembaga penelitian, ialah almarhum BJ Habibie.
Ia melihat sosok BJ Habibie meruypakan tokoh periset yang mumpuni. Jadi, tak ayal sosok presiden ke-7 RI itu juga menjadi inspirasi di kalangan remaja saat itu, termasuk Laksana.
"Kalau anak zaman saya itu banyak terinspirasi oleh pak Habibie. Jadi pda saat itu banyak yang terinspirasi, termasuk saya juga," pungkasnya.
Ia menuturkan, ispirasi kepada BJ Habibi itu membuat ia termotivasi untuk kepo terhadap dunia penelitian. Hingga akhirnya ia memilih untuk daftar beasiswa yang programnya diusung oleh Menristek kala itu.
Karir setelah menyelesaikan studi
Usai menyelesaikan pendidikan tingginya, LTH melanjutkan karier sebagai peneliti di pusat lembaga-lembaga penelitian negara Eropa seperti di Italia dan Jerman sebagai peneliti di bidang fisika teori. Ia menuturkan, fokus penelitiannya yakni pada fenomena-fenomena di fisika energi tinggi.
Ia menambahkan fisika energi tinggi itu merupakan ilmu yang berupaya memahami materi pembentuk berbagai material yang ada di dunia ini, seperti melihat interaksi antara partikel elektron dengan partikel yang lain hingga melakukan kajian teoritis terkait hal-hal tersebut.
Modal bekerja di beberapa negara itulah yang menjadi modal baginya dalam merombak manajemen yang ada di LIPI sejak tahun 2018 hingga 2021. Karena, kata dia, untuk memaksimalkan penelitian di suatu negara penting untuk memerhatikan tiga aspek yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) unggul, infrastuktur dan anggaran.
Hal itulah yang dinilai dapat membenahi sekelumit problem yang kerap terjadi di lembaga riset di Indonesia.
"Komplenya [peneliti] itu masalah infrastruktur, gaji kecil. Tapi kalau sekarang di LIPI gaji kecil sudah tidak menjadi isu. Infrastruktur kita perbaikin total, kemudian mekanisme manajemen riset juga kita ubah total. Pola itu yang saya extend ke BRIN," pungkasnya.
Menurut LTH, problem riset di LIPI itu merupakan miniatur problem penelitian di indonesia. Jadi dalam konteks itu, ia memiliki memiliki nyata tentang bagaimana dan apa yang harus saya lakukan di BRIN.
Di samping itu ia berharapgenerasi muda banyak yang ingin jadi peneliti. Karena dunia penelitian itu dinilai merupakan hal yang menarik.
Laksana mengatakan, banyak hal yang dapat dilakukan, yakni menelaah dan melakukan kanian yang mungkin orang lain belum tahu dan belum menemukan.
"Itu sebuah achievements yang ketika terjadi penemuan itu kita puas," tuturnya.
Hal itu diibaratkan olehnya sebagai seniman yang biasanya puas setelah menyelesaikan karya seni. Itu merupakan sebagai kepuasan yang sulit diungkapkan dengan perkataan.
Mengejar ketertinggalan ekosistem penelitian di Indonesia, yang dinilai masih tertinggal dengan negara lain adalah hal yang wajib dipercepat. Ia menuturkan, kondisi ekosistem riset di Indonesia harus dilakukan re-focusing, untuk menentukan arah penelitian di Indonesia.
Jika itu berhasil, Indonesia tidak hanya mengejar ketertinggalan, melainkan bisa memimpin penelitian namun dalam bidang yang kita ungguli.
"Dari beberapa faktor memang tertinggal, dan jelas kita harus mengejar ketertinggalan ini. Dan melihat semua masalah kita itu secara jernih dan mencari solusinya," tuturnya.
Selain itu, menurutnya penting juga untuk meningkatkan literasi ilmu pengetahuan di lini masyarakat meski terkadang literasi penelitian dianggap membosankan.
Di samping itu ia juga hendak memboyong kembali para peneliti atau diaspora yang kini bekerja sebagai peneliti di beberapa negara mau, untuk bisa kembali lagi ke Indonesia. Hal ini menurutnya menjadi salah satu cara untuk menciptakan ekosistem penelitian yang bisa memajukan iklim riset di Indonesia.
Namun begitu, perlu dibangung infrastruktur yang baik untuk para peneliti tanah air itu memiliki arena penelitian. Karena menurutnya, sangat disayangkan jika para diaspora kembali ke Indonesia tetapi tidak memiliki laboratorium yang mumpuni untuk melakukan riset.
"Kita berupaya menarik para talenta diaspora yg ada di luar negeri. Karena itu [diaspora] aset yang sebagian kita biayai baik lewat LPDP atau jalur lain," tuturnya.