Dalam wawancara dengan CNN Indonesia tahun lalu sejak ditunjuk sebagai Kepala BRIN, Handoko yang sejak 2018 ditunjuk sebagai Ketua LIPI menyatakan fokus kerjanya adalah menjadikan BRIN sebagai fasilitator riset nasional.
"Kita punya uang investasinya gede bikin kaya kita lakukan di LIPI beberapa tahun ini. Kita bangun besar-besaran, kita bangun laboratorium yang komplet, advanced, tapi kemudian kita buka fasilitas itu untuk dipakai orang lain. Sehingga ketika ada industri mau bikin produk baru, yang butuh riset, mereka bisa pinjam barang, pinjam orang, pinjam alat untuk riset. Tapi bahan riset bawa sendiri. Itu yang kita lakukan."
Di negara yang ekonominya sehat, menurut Handoko, swasta adalah pelaku utama riset dan bukan pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apakah menempatkan kewenangan superbody pada BRIN dengan sentralisasi akan menjadi landasan yang tepat untuk mewujudkan target ini?
Sosiolog sains Universitas Teknologi Nanyang (NTU) Singapura Sulfikar Amir dalam rangkaian cuitannya membandingkan desain BRIN dengan Japan Science and Technology Agency (JST) yang berada di bawah naungan MEXT (Kemendikbud Olahraga dan Ristek) Jepang. Perbandingan lain adalah dengan A*STAR (Agency for Science Technology and Research) Singapura yang menjadi koordinator berbagai badan riset dan teknologi di bawah Kementerian Perindustrian dan Perdagangan.
Bedanya tentu saja, kedua lembaga koordinasi riset ini berada di bawah kementerian sementara BRIN langsung bertanggung jawab pada presiden. Perbedaan lainnya terletak pada sifat otonom lembaga-lembaga riset di bawah A*STAR dan JST yang dibolehkan menyusun agenda riset dan merekrut stafnya sendiri.
"Saya justru khawatir bahwa BRIN akan mengulang apa yang dilakukan Pak Habibie: membangun a new bureaucratic empire yang ujungnya organisasi kegemukan, tidak efisien, koordinasi lamban, dsb. Pertanyaan yang lebih besar: sejauh mana BRIN akan mampu membangun jembatan antara inovasi dan industri?" tulis Sulfikar.
Problem lain dalam sebuah peleburan besar instansi negara adalah beban birokrasi Lembaga. Profesor Satryo Brodjonegoro memperkirakan peleburan BRIN akan makan waktu konsolidasi sedikitnya sembilan bulan, yang berarti akan terjadi kevakuman riset dalam jangka waktu tersebut.
Sementara menurut Yanuar Nugroho, konsekuensi administratifnya saja bisa makan waktu lebih dari setahun.
"Belajar dari pembentukan/penggabungan kementerian/lembaga baru selama ini akan butuh waktu untuk menata anggaran dan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK). Contohnya, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Restorasi Gambut, bahkan Kemenristek Dikti butuh lebih dari setahun sebelum bisa beroperasi sepenuhnya. Saya mengira nasib Kemendibkbud Ristek dan BRIN pun mungkin tak akan jauh berbeda," kata Yanuar.
Sejak ramai dipersoalkan tentang keputusan peleburan 39 lembaga riset, Ketua BRIN LT Handoko makin rajin berbicara kepada media. Dalam berbagai kesempatan tersebut Handoko menyatakan targetnya adalah memenuhi tenggat integrasi seluruh lembaga riset pada akhir Januari 2022. Handoko juga menjanjikan target-target besar BRIN sudah akan dapat dinikmati hasilnya dalam 5 tahun ke depan.
Di dunia maya, isu peleburan BRIN berlanjut dengan munculnya petisi yang meminta Presiden Joko Widodo membatalkan peleburan puluhan lembaga riset milik pemerintah dalam tubuh BRIN. Sejak dirilis 8 Januari, petisi telah diteken hamper 6000 orang pada Senin (10/01) siang.
(dsf/sur)