Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa rencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dilatarbelakangi situasi fiskal yang rawan. “Secara fundamental perekonomian (sekarang) jauh berbeda dengan zaman pemerintahan SBY,” kata Hasto di Jakarta, Selasa (11/11).
Rawannya kondisi fiskal Indonesia tergambar dari berbagai persoalan yang membelit keuangan negara. “Target penerimaan pajak selama hampir empat tahun tidak pernah tercapai,” kata Hasto.
Malah sekarang, kata Hasto, terjadi
shortfall sekitar Rp 70 triliun. Padahal wajib pajak RI itu mencapai 120 juta dengan komposisi yang punya NPWP 60 juta orang, pelapor SPT sebanyak 25 juta, tapi yang aktif baru 8 juta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sehingga ada persoalan vital di situ,” kata Hasto. “Negara enggak punya kemampuan membiayai pengeluarannya.”
Di sisi lain, pendapatan dari sektor minyak dan gas, kata Hasto, juga terbilang negatif selama tiga tahun terakhir. Perhitungannya total penerimaan migas ditambah PPh dikurangi bagi hasil dan dikurangi subsidi.
Alhasil, net impact yang negatif membuat kegiatan migas tak memberikan manfaat bagi APBN.
Hasto memuji langkah Presiden Joko Widodo yang meluncurkan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Sejahtera, dan Kartu Indonesia Pintar, sebelum menaikkan harga BBM. Menurutnya itu upaya untuk mewujudkan keadilan sosial.
“Kami melihat pemerintah sudah di jalur yang tepat,” katanya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said memastikan, pemerintah akan mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi setelah Presiden Joko Widodo kembali ke Indonesia usai melakukan kunjungan kerja keluar negeri sampai Minggu (16/11).
Sambil menunggu pengumuman resmi dari pemerintah terkait harga BBM bersubsidi yang baru, Sudirman meminta masyarakat tidak menimbun BBM dengan melakukan pembelian dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) secara berlebihan. (Baca:
Harga BBM Naik Setelah 16 November 2014)