Jakarta, CNN Indonesia -- Di saat harga minyak dunia terkapar di kisaran US$ 50 per barel, PT Pertamina (Persero) justru meningkatkan target produksinya menjadi 329.440 barel per hari (BPH) sepanjang tahun ini, atau naik 26 persen dari realisasi produksi 2014 di angka 259.680 BPH.
Tidak hanya minyak, badan usaha milik negara di bidang minyak dan gas bumi (migas) tersebut juga meningkatkan target produksi gas menjadi 1.667,59 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau naik 7 persen ketimbang tahun lalu di kisaran 1.554,25 MMSCFD.
“Harga minyak dunia memang trennya sedang turun. Namun kami memiliki misi mengamankan cadangan minyak dalam rangka ketahanan energi,” ujar Dwi Soetjipto di Jakarta, Selasa (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dwi mengatakan, cara untuk menyiasati harga minyak mentah yang rendah adalah bukan dengan memangkas produksi tetapi melakukan efisiensi di internal perusahaan.
"Efisiensi ini mulai dari memperpendek rantai bisnis, sentralisasi
procurement hingga penurunan
losses," ujar Dwi.
Efisiensi biaya operasional perusahaan merupakan satu dari lima langkah yang disiapkan Dwi di tahun pertamanya memimpin Pertamina. Mantan Direktur Utama PT Semen Indonesia Tbk itu juga ingin Pertamina mengambil alih sejumlah blok migas yang masa kontraknya akan habis tahun ini.
Pertamina juga berencana membangun sejumlah infrastruktur untuk menampung lebih banyak lagi
Liquified Natural Gas (LNG), serta meningkatkan
kapasitas produksi lima kilang pengolahan minyak yang dioperasikannya.
"Sementara untuk strategi kelima, Kami juga akan menyelamatkan
cash flow perseroan dengan mengoptimalkan
cash management," tutur Dwi.
Laba Terpangkas 50 PersenSebelumnya
Arief Budiman, Direktur Keuangan Pertamina menyebut penurunan harga minyak dunia yang terjadi saat ini sebagai krisis.
“Penurunan harga minyak mentah itu luar biasa. Pada kuartal III 2014 lalu harganya masih di US$ 100 per barel, sekarang sekitar US$ 51 per barel. Maksudnya dari sisi potensi
profit, penurunan ini bisa 40 persen sampai 50 persen,” ujar Arief, dikutip dari situs resmi Pertamina.
Arief menyebut, satu-satunya yang diuntungkan dari penurunan harga minyak mentah dunia adalah masyarakat yang notabene pembeli dari produk bahan bakar minyak (BBM) di sektor hilir. Semakin dalam penurunan harga minyak, maka harga jual BBM jenis premium, solar, pertamax, dan BBM non-subsidi lainnya bisa semakin murah harganya.
“Bagi masyarakat umum atau konsumen tentunya hal ini bagus karena harga BBM jadinya bisa turun dan inflasi pun semestinya turun. Namun buat
energy company seperti Pertamina walaupun kita lebih besar di hilir, tetap saja
profit itu datang dari sektor hulu,” kata Arief.
Untuk menjaga tingkat profitabilitas tersebut, Arief mengatakan Pertamina mau tidak mau harus mengelola seluruh biaya-biaya operasional dan investasi dengan lebih ketat. Mantan bos PT McKinsey Indonesia tersebut meminta investasi apapun yang dikeluarkan perseroan harus membuahkan hasil.
“Kalau harga dan keuntungan lagi naik, kita lebih
loose-lah. Tetapi sekarang kita harus me-
review lagi proses-proses bisnis, melakukan pengendalian keuangan dan investasi, mulai dari yang besar sampai yang kecil-kecil. Jadi kalau nanti perusahaan lebih ketat dalam pengendalian biaya, bukannya berarti kita mau asal ketat. Tetapi memang tuntutan bahkan kewajiban agar perusahaan tetap sehat,” tegasnya.
(gen)