Jakarta, CNN Indonesia -- Proyek
refining development master plan (RDMP) atau peningkatan kapasitas produksi kilang PT Pertamina (Persero) yang diteken nota kesepahamannya pada 10 Desember 2014 lalu, terancam mengurangi porsi kepemilikan saham perseroan di kilang tersebut. Kebutuhan investasi yang mencapai US$ 25 miliar ditengah keterbatasan belanja modal perseroan, ditenggarai menjadi penyebab berkurangnya kepemilikan saham di kilang tersebut.
Sekadar mengingatkan, akhir tahun lalu
Direktur Pengolahan Pertamina Rachmad Hardadi telah meneken nota kesepahaman dengan tiga perusahaan yang dipercaya mengerjakan rekayasa pengembangan kapasitas produksi lima kilangnya.
Ketiganya adalah Saudi Aramco untuk kilang Dumai, Cilacap, dan Balongan; China Petroleum & Chemical Corporation (China Sinopec) untuk kilang Plaju; serta JX Nippon Oil & Energy Corporation untuk mengembangkan kilang Balikpapan. Proyek
upgrading yang ditargetkan bisa selesai pada 2020 tersebut diharapkan mampu meningkatkan kapasitas produksi yang saat ini 820 ribu barel per hari (BPH) menjadi 1,68 juta BPH.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman, Pertamina dan ketiga mitranya kemudian melakukan kajian terhadap
feasibility studies serta merumuskan permodalan dan struktur bisnis perwujudan kerjasama tersebut dalam waktu enam bulan. Namun, Hardadi menginginkan agar seluruh kajian dari Pertamina bisa selesai dalam tiga bulan ke depan.
“Kajian RDMP mengatakan sharing Pertamina dari hitung-hitungan detil yang saya coba lihat, ternyata
share kepemilikan Pertamina cuma 13,75 persen. Hal ini akan menjadi
wake up call bagi BOD yang baru, apakah ini yang mau kita jalankan?,” ujar Rachmad dikutip dari laman Pertamina, Selasa (17/2).
Menurut Rachmad, Direktorat Pengolahan yang dipimpinnya siap saja untuk menjalankan program RDMP yang disusun oleh jajaran direksi Pertamina terdahulu. Namun dari sisi pendanaan, Rachmad meminta sesama kolega direksi lainnya untuk mengkaji ulang besaran investasi jika hanya akan memangkas kepemilikan Pertamina di kilang tersebut.
“Dari segi
funding-nya akan kita tinjau kembali. Kalau nanti dalam bentuk
joint venture (JV), paling tidak Pertamina harus memegang kepemilikan saham minimal 51 persen atau sampai 55 persen. Baru Pertamina bisa disebut memegang kendali JV tersebut,” tegasnya.
Untuk dapat memegang kepemilikan 55 persen, Rachmad menyebut Pertamina harus menyediakan dana segar minimal Rp 17 triliun. Sementara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurutnya hanya mengizinkan Pertamina menahan Rp 8,5 triliun dividen 2014 dari total yang harus dibayarkan sekitar Rp 30 triliun.
“Direksi sudah meminta kepada pemerintah agar dividen 2014 nol rupiah, dan
feedback dari pemerintah hanya Rp 8,5 triliun dividen yang disisakan yang bisa kita gunakan sebagai opsi pendanaan,” kata mantan Presiden Direktur PT Badak NGL tersebut.
Untuk menutupi kekurangannya, Pertamina menurut Rachmad akan meneruskan
feasibility bankable study untuk bisa memperoleh pinjaman dari bank dengan jangka waktu peminjaman antara 10 sampai 12 tahun.
“Selain itu saya sampaikan kepada direksi lainnya bahwa dari penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pemerintah sebetulnya menghemat banyak. Mengapa kita tidak meminta subsidi yang dihemat itu, yang sebetulnya secara teknis itu menjadi jatah Pertamina dengan meminta boleh menyimpan dividen Rp 17 triliun itu,” katanya.
Tagih PiutangRachmad juga mengatakan bahwa piutang-piutang Pertamina yang tersebar di PT PLN (Persero), TNI dan Polri dan perusahaan BUMN bisa dibayarkan tahun ini maka perseroan bisa memperoleh alternatif pendanaan untuk melanjutkan program RDMP.
“Kalau tidak salah angkanya sekitar Rp 50 triliun, nah Rp 17 triliun untuk mendanai proyek-proyek di Pengolahan, maka ini sangat dimungkinkan bisa jalan,” tegasnya.
(gen)