Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk hasil tembakau atau rokok pada tahun ini, dari 8,4 persen menjadi 10 persen. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai kebijakan itu bersifat sepihak tanpa menyerap aspirasi pelaku industri hasil tembakau.
“Itu pasti akan menambah beban biaya. Kalau mau naik yang realistis, jangan seenaknya sendiri. Ajak kami bicara untuk ikut mengoptimalkan penerimaan negara tanpa harus membunuh pelaku industri,” ujar Ketua Gappri Ismanu Sumiran kepada CNN Indonesia, Jumat (20/3).
Menurut Ismanu, sebenarnya PPN atas rokok sejak 15 tahun lalu bersifat final, yang artinya tidak berlaku normal karena melekat pula cukai dalam setiap traksaksinya. Untuk menghindari pengenaan pajak ganda atas produk hasil tembakau itu, maka berlaku tarif PPN yang lebih rendah dari normal karena mempertimbangkan harga jual yang berjenjang di setiap lini distributor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Karena dari pabrik ke distributor, distributor ke pedagang besa, lalu ke agen, toko dan pengcer itu harganya berbeda-bed. Dari harga yang tercantum, dari pabrik itu dijual dengan harga yang lebih rendah untuk sampai ke konsumen dengan harga yang tertera,” katanya.
Apabila kebijakan ini jadi diterapkan, Ismanu memastikan akan banyak faktur pajak yang membebani pengusaha kretek. Kebijakan ini dikhawatirkan akan semakin mengacaukan struktur industri rokok.
“Kami keberatan kalau tarif PPN dinormalkan (jadi 10 persen),” katanya menegaskan.
Ismanu meminta Kementerian Keuangan lebih realistis dalam melihat industri rokok. Industri rokok kretek, kata Ismanu, sangat unik karena berbasis budaya masyarakat lokal sehingga harus diperlakukan secara khusus.
“Ibarat ayam bertelur emas. Keberadaannya jangan sampai tidak dipelihara. Harus dijaga dengan baik,” katanya.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan orientasi kebijakan ini tidak sepenuhnya karena mengejar target penerimaan negara, tetapi juga untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap rokok.
"Karena selama ini hanya PPN rokok yang tarifnya 8,4 persen, sedangkan barang lain kena 10 persenn. Jadi memang sudah waktunya disamakan,” ujarnya kepada CNN Indonesia, Jumat (20/3).
Kendatipun naik, Suahasil menilai kontribusi PPN rokok terhadap penerimaan negara yang naik tinggi pada tahun ini akan sangat kecil. Potensi penerimaan terbesar justru dari upaya menegakkan kepatuhan wajib pajak.
“Memang masih dalam kajian, tapi rencananya tahun ini (PPN rokok naik),” tuturnya.
(ded/ded)