Permintaan Hunian Mewah Turun 40 Persen Jika Pajak Diperluas

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 15 Apr 2015 16:12 WIB
Diturunkannya harga acuan hunian mewah kena pajak dari Rp 10 miliar menjadi Rp 2 miliar, diyakini akan menurunkan permintaan.
Pengunjung melakukan transaksi dalam pameran properti yang diselenggarakan Real estate Indonesia (REI) di Balai Sidang Jakarta, Sabtu 15 November 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menurunkan harga jual acuan hunian mewah yang kena Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) bisa menurunkan permintaan 30 hingga 40 persen. Hal tersebut diungkapkan perusahaan konsultan properti ternama Jones Lang LaSalle (JLL) di Jakarta, hari ini Rabu (15/4).

Head of Advisory JLL Indonesia Vivin Harsanto menjelaskan sebelumnya harga acuan atau treshold untuk apartemen atau kondominium yang kena PPnBM sesuai Pasal 22 Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) adalah Rp 10 miliar. Saat ini, pemerintah telah mengungkapkan wacana untuk menurunkan treshold menjadi Rp 2 miliar.

Impact-nya itu memang akan cukup besar pada permintaan, karena sebetulnya pasar yang besar adalah untuk properti di harga Rp 2 miliar itu,” kata Vivin di kantornya, Jakarta, Rabu (15/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Vivin menjelaskan, saat ini hunian yang dijual dengan harga di atas Rp 10 miliar dikenakan pajak sekitar 35 persen. Angka tersebut terdiri dari 5 persen pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), 10 persen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan 20 persen PPnBM.

Turunnya permintaan akibat diturunkannya threshold tersebut menurutnya akan direspons pengembang dengan menyediakan hunian yang luasnya lebih kecil. “Hal tersebut mengakibatkan turunnya harga jual dan berpengaruh pada kualitas hidup penghuni,” kata Vivin.

Apabila pemerintah tetap ingin menurunkan threshold, Vivin menyarankan agar mengacu pada harga jual huniah mewah di kota-kota besar yang merupakan pasar tempat harga tertinggi. Menurutnya sebenarnya threshold sebesar Rp 10 miliar sudah baik sehingga kalaupun akan diturunkan sebaiknya pada harga jual Rp 7 miliar, suatu level harga yang disebut Vivin daya beli para peminatnya tidak akan goyah akibat tarif pajak yang tinggi.

“Karena kalau kita bicara Rp 2 miliar, mungkin di Jakarta sudah tidak termasuk hunian mewah. Kalau kita bicara di Sidoarjo atau Tegal, di sana mungkin disebut mewah, tapi kalau di Jakarta itu sudah masuk konsumsi kelas menengah,” ujarnya.

Alternatif Kebijakan

Vivin berpendapat, selain pengenaan pajak hunian mewah berdasarkan harga jual, masih ada alternatif kebijakan lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencapai target pajak.

Pertama, pengenaan pajak progresif berdasarkan kepemilikan rumah. Misalnya, rumah pertama dikenakan pajak penjualan lebih rendah dibandingkan rumah kedua.

Kedua, pengenaan pajak progresif berdasarkan waktu jual properti. Sebagai contoh, rumah yang dijual satu tahun sejak kepemilikan dikenakan pajak penjualan lebih tinggi dibandingkan rumah yang dijual empat tahun sejak kepemilikan.

“Ada banyak hal sih sebetulnya. Kita juga bisa mencontoh Singapura yang memiliki aturan pajak yang sudah maju,” katanya.

Berdasarkan data JLL, penyerapan pasar hunian kondominium di Jakarta tahun lalu mencapai hampir 17 ribu unit. Untuk kuartal I tahun ini penjualannya mencapai 4.600 unit, lebih tinggi dari total serapan hunian kondominium kuartal I 2014 yang mencapai 3.900 unit. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER