Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah pengamat energi meminta pemerintah segera merealisasikan rencana pengadaan cadangan strategis minyak atau penyangga (
buffer stock) yang telah dicanangkan sejak awal 2015. Momentum lemahnya harga minyak dunia yang dalam beberapa waktu terakhir hanya bergerak di level US$ 50 per barel, atau anjlok 50 persen dibandingkan posisinya tahun lalu merupakan saat yang tepat untuk mewujudkan rencana tersebut.
"Pemerintah harus bisa memanfaatkan momentum ini (pelemahan harga) meskipun mengalami kesulitan pendanaan akibat terbatasnya ruang fiskal. Kalau tidak, kita akan selalu lupa dan mengesampingkan hal yang sebenarnya sangat penting," ujar pengamat energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (27/7).
Komaidi berpendapat, desakan untuk merealisasikan cadangan strategis minyak tak lepas dari tingginya angka kebutuhan minyak impor dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Dalam hitungannya tak kurang dari 900 ribu barel per hari (bph) minyak harus diimpor Indonesia untuk menutup angka kebutuhan BBM yang mencapai 1,6 juta bph.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu ia meminta pemerintah mengalokasikan dana penghematan yang diperoleh dari kebijakan pencabutan subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 untuk membangun infrastuktur dan mengadakan cadangan strategis.
"Harusnya uang penghematan yang konon mencapai Rp 150 triliun itu, jangan hanya dialokasikan pada sektor infrastruktur maupun pendidikan saja. Melainkan kita juga harus sadar kalau
buffer stock kita hanya bergantung pada cadangan operasional milik Pertamina. Jadi rencana tadi (
buffer stock) jangan hanya terus jadi wacana," tegas Komaidi.
Sementara anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Inas Nasrullah juga meminta pemerintah konsisten dalam menyediakan cadangan minyak penyangga. Tujuannya agar Indonesia mampu mengamankan pasokan minyak (security of supply) jika terjadi force majeure seperti bencana dan peperangan yang mengganggu pasokan minyak.
"Tapi tidak tepat kalau dana untuk pengadaan cadangan penyangga diambil dari keuntungan penjualan BBM agar tak membebankan masyarakat. Idealnya dana diambil dari alokasi penghapusan subsidi BBM," katanya.
Berlangsung LamaDi tengah fenomena turunnya jumlah permintaan minyak menyusul perlambatan ekonomi di beberapa negara konsumen seperti China dan India, Komaidi memprediksi harga emas hitam tersebut akan tetap rendah di bawah level US$ 100 per barel hingga tiga tahun ke depan. Hal tersebut lantaran negara-negara anggota pengekspor minyak, yakni OPEC menyatakan tak bakal menurunkan angka produksi meski harga minyak kian rendah.
Sementara di Amerika Serikat sendiri, menurutnya juga sedang terjadi peningkatan penggunaan fasilitas pengeboran (
rig) yang menandakan adanya peningkatan aktivitas eksplorasi dan produksi di negara Paman Sam. Akibat adanya katalis ini, Komaidi juga berharap pemerintah Indonesia bisa menghitung ulang dan merinci setiap kebijakan energinya.
"Ini karena penerimaan negara juga masih bergantung banyak dari produksi minyak domestik. Saya kira tinggal kemauan dan ketepatan pemerintah saja untuk menentukan kapan merealisasikan cadangan strategis, hingga menggenjot kegiatan eksplorasi dan produksi," cetusnya.
"Memang pelemahan harga minyak menjadi simalakama bagi negara seperti Indonesia," kata Komaidi.
(gen)