Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah pengamat menilai pemerintah tak konsisten dalam melaksanaan program hilirisasi tambang akibat munculnya wacana relaksasi kebijakan ekspor biji mineral atau
ore yang tengah diramu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Wacana tersebut mengemuka untuk menggairahkan investasi pertambangan di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Caranya adalah dengan membuka keran ekspor untuk beberapa komoditas seperti bauksit, pasir besi, nikel dan lain-lain sebagai salah satu bagian dari insentif.
Padahal, di dalam sejumlah beleid termasuk Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) jelas mengisyaratkan bahwa pelaku industri pertambangan baik itu pemegang Kontrak Karya (KK) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) diwajibakan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum mengekspor komoditas mineral yang mereka tambang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alhasil, munculnya wacana untuk memberi pelonggaran ekspor
ore dinilai tidak tepat.
“Sebenarnya kebijakan itu (relaksasi) bagus tapi pemerintah bodoh. Kenapa saya bilang bodoh? Karena mereka tidak paham esensi dan alasan (dibalik) pembuatan UU Minerba,” ujar Mantan Direktur Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Simon Sembiring, Senin (7/9).
Simon bilang, diterbitkannya UU Minerba pada 2009 silam dimaksudkan untuk memaksa perusahaan-perusahaan raksasa pemegang KK seperti PT Freeport Indonesia (PTFI), PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan PT Vale Indonesia (Vale) untuk mau membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau
smelter dalam jangka waktu lima tahun sejak beleid tersebut resmi diberlakukan.
Jika wacana tersebut diloloskan, Simon khawatir tak ada lagi larangan bagi perusahaan pemegang IUP untuk mengekspor komoditas mineral mentahnya ke luar negeri.
Sengkarut AturanImpelementasi kebijakan hilirisasi tambang semakin runyam pasalnya pemerintah memberlakukan sejumlah peraturan turunan yang tak sinkron dengan UU Minerba seperti Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Pengolahan dan Pemurnian Mineral yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2012 menyusul penolakan dari pemegang IUP.
Polemik pun kian menjadi ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
Berangkat dari hal tersebut, ia mensinyalir terdapat kongkalikong antara pemerintah dan perusahaan pemegang KK menyusul diterbitkan beberap beleid tadi berikut wacana relaksasi yang kini kembali digulirkan.
“IUP itu kebanyakan perusahaan kecil yang cadangannya tidak banyak. Jadi kenapa mereka dipaksakan harus membuat
smelter dalam lima tahun dan dilarang (ekspor) melalui aturan-aturan yang dibuat? Sementara Freeport dan Newmont boleh (ekspor),” tegasnya lantang.
Terkait wacana relaksasi yang bergulir, Simon menyimpulkan pemerintah juga dinilai tak serius menerapkan program hilirasi.
“Apalagi saat ini sudah ada beberapa perusahaan IUP yang bangun smelter. Apa jadinya kalau dibuka? Pemerintah seperti menjilat ludahnya sendiri,” katanya..
Dari informasi yang diperoleh CNN Indonesia, saat ini pemerintah tengah menggodok sejumlah kriteria yang harus dimiliki pengusaha agar perusahaannya dapat kembali mengekspor ore maupun konsentrat.
Diantaranya, perusahaan tadi harus sudah merealisasikan rencana pembangunan smelter hingga 30 pesen, hingga memenuhi kewajiban penggunaan
letter of credit (L/C) di dalam transaksi pembayaran komoditas ekspor.
Disamping itu, perusahan juga diwajibkan membuat akun bank tersendiri untuk menyimpan uang dari hasil penjualan ore dan membayar bea keluar (BK) untuk setiap kegiatan ekspor.
Saat dimintai konfirmasi, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono seakan tak menampik adanya beberapa kriteria tersebut.
“Ya tapi belum ada putusan. Kriterianya juga belum diputuskan. Itu kan baru seandainya,” kata Bambang.
Di kesempatan berbeda Budi Santoso, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) mendesak pemerintah memperjelas kriteria-kriteria tadi jika pada akhirnya membelakukan relaksasi terhadap ekspor ore.
Satu diantaranya ihwal pemberian kriteria minimum sebesar 30 persen terkait kemajuan pembangunan smelter.
“Angka 30 persen itu (hanya) konstruksi, atau karena sudah pegang izin dan menyerahkan uang jaminan smelter sudah dianggap 30 persen? Karena kalau pegang izin sudah dihitung, tidak adil itu untuk yang sudah bangun (
smelter),” tutur Budi.
Selain kriteria laporan kemajuan pembangunan smelter, Budi bilang, pemerintah juga harus mewajibkan perusahaan tambang untuk menyerahkan estimasi cadangan mineral yang terkadung di wilayah kerja yang dikelola. Di mana estimasi tersebut berupa dimilikinya (Kode Cadangan Mineral Indonesia) atau JORCC (
Joint Ore Reserves Committee Code).
“Karena kalau tidak punya KCMI, JORCC, atau yang lain proyeksi bisnis dan smelter mereka jelas tidak real. Kepemilikan KCMI atau JORCC itu penting karena selain membutuhkan biaya yang mahal untuk melakukan eksplorasi dan dapat itu kode, dengan memiliki KCMI atau JORCC kita juga bisa melihat apakah proyek smelternya bankable atau dipercaya jika proyek ini ingin membutuhkan pinjaman dana dari bank,” tandasnya.
(gen)