Chevron Mangkir Dua Kali dari Mediasi Pekerja Panas Bumi

CNN Indonesia
Selasa, 20 Des 2016 12:30 WIB
Chevron sudah dua kali mangkir dari panggilan pemerintah untuk duduk dan berdiskusi opsi terbaik pemenuhan hak karyawan WKP Panas Bumi.
Chevron sudah dua kali mangkir dari panggilan pemerintah untuk duduk dan berdiskusi opsi terbaik pemenuhan hak karyawan WKP Panas Bumi. (CNN Indonesia/Gentur Putro Jati)
Jakarta, CNN Indonesia -- Upaya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencari mufakat antara Serikat Pekerja Nasional Chevron Indonesia (SPNCI) dengan Chevron Indonesia Business Unit (Chevron IBU), atas tuntutan pemenuhan hak para pekerja panas buminya jalan di tempat.

SPNCI mencatat perusahaan energi Amerika Serikat (AS) tersebut sudah dua kali mangkir dari panggilan pemerintah untuk duduk dan berdiskusi opsi terbaik pemenuhan hak karyawan, pasca Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Darajat dan Gunung Salak dijual ke perusahaan lain di akhir tahun ini.

Indra Kurniawan, Ketua Umum SPNCI mencatat Kemenaker telah menyampaikan undangan resmi mediasi pertama pada 8 Desember 2016. Proses mediasi tripartit diharapkan para pekerja bisa memberi jalan keluar atas kekisruhan pelunasan hak tenaga kerja sebagai bagian dari divestasi Chevron Geothermal Indonesia (CGI) dan Chevron Geothermal Salak (CGS).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kami hadir memenuhi undangan yang dijadwalkan pada 13 Desember itu. Namun Chevron mangkir dengan dalih mereka masih membutuhkan waktu untuk berkonsolidasi internal,” kata Indra, Selasa (20/12).

Direktorat Penyelesaian Hubungan Industrial (PHI) Kemenaker untuk kedua kalinya kembali mengundang SPNCI dan manajemen untuk melakukan mediasi pada 19 Desember 2016 lalu. Dalam surat undangannya, pemerintah meminta Chevron untuk mengutus pimpinan yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan sehubungan dengan tuntutan SPNCI.

Namun ternyata, Indra menyebut yang dikirim Chevron hanya seorang kuasa hukum yang baru ditunjuk dan belum memahami semua tuntutan dan latar belakang permasalahan yang akan dibahas.

“Hal ini tentu saja tidak memenuhi pra‐syarat yang ditentukan dalam undangan. Sehingga mediasi kedua diakhiri tanpa pembahasan,” kata Indra.

Hal tersebut menurut Indra sangat disayangkan, pasalnya proses divestasi WKP Darajat dan Gunung Salak sendiri sudah hampir memasuki tahap akhir dengan tinggal menyisakan beberapa perusahaan calon pembeli.

Sebelumnya Indra mengungkapkan, bahwa selama proses penjualan dua aset panas bumi itu berjalan, perusahaan malah memindahkan pekerja dari entitas bisnis lain yaitu Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan Chevron Indonesia Company (CICO) ke CGI dan CGS.

Ia khawatir hal ini bakal membuat jumlah pekerja CGI dan CGS menggelembung. Melebihi total jumlah pekerja di dua aset tersebut saat ini sebanyak 400 orang.

“Kalau jumlah pekerjanya berlebih, kami khawatir saat peralihan kepemilikan nanti justru akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efisiensi di kemudian hari,” kata Indra, Oktober 2016 lalu.

Pria yang sehari-hari bekerja sebagai operator Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Darajat sendiri mengaku para pekerja tidak mempermasalahkan, siapa perusahaan pemilik baru WKP Gunung Salak dan Darajat nantinya.

Pasalnya, pilihan Chevron untuk menjual aset panas buminya di Indonesia merupakan keputusan bisnis manajemen. Di mana pekerja tidak memiliki suara untuk mempengaruhinya.

Satu hal yang menjadi masalah bagi Indra adalah, Chevron akan memberikan pesangon melalui program ‘Reset To Zero’ atau menihilkan masa kerja terhadap pekerja dari CPI dan CICO yang dipindahkan ke entitas CGI dan CGS.

“Sementara pekerja yang dari awal bekerja di CGI/CGS, yang jumlahnya mayoritas tidak akan diberikan pesangon,” keluhnya.

Indra berpendapat, perbedaan perlakuan yang jauh dari rasa keadilan dan kesetaraan ini sangat jelas dampaknya akan menimbulkan ketidakharmonisan hubungan sesama pekerja.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER