Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan pemerintah untuk memperpanjang pelonggaran ekspor mineral cukup mengernyitkan dahi. Tak ayal, seluruh perhatian langsung tertuju ke Gunung Grasberg di Papua, tempat di mana perusahaan tambang Amerika Serikat bernama PT Freeport Indonesia beroperasi selama 40 tahun lebih.
Pasalnya, Freeport dianggap sebagai perusahaan yang 'ngeyel' dengan peraturan pemerintah. Selama ini, belum ada itikad baik dari Freeport untuk melakukan pemurnian mineral di dalam negeri. Hanya sebagian kecil hasil produksi Freeport yang diserap untuk pemurnian dalam negeri, yaitu sebesar 40 persen untuk PT Smelting.
Padahal, ketentuan ihwal pemurnian dalam negeri jelas tertuang di dalam pasal 102, 103, dan 175 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Selama delapan tahun peraturan tersebut berjalan, tak terlihat realisasi serius dari Freeport dalam melakukan pemurnian di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Produksi konsentrat tembaga dari tambang Grasberg memang tak main-main. Pada tahun lalu, produksi konsentrat tembaga Freeport mencapai 482,16 ribu ton, di mana angka ini meningkat 41,35 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 341,1 ribu ton. Angka ini mengambil porsi cukup besar apabila dibanding produksi tembaga nasional, yang kira-kira mencapai 600 ribu hingga 800 ribu ton.
Apalagi, tembaga adalah logam yang paling banyak dipakai ketiga di dunia setelah besi dan aluminium. Maka dari itu, tak heran Freeport lebih memilih ekspor dibandingkan memurnikannya di dalam negeri. Sempat terlontar kata ingin membangun fasilitas pemurnian sendiri, namun Freeport berkilah dengan segudang jurusnya.
Pembangunan
smelter sempat mengemuka ketika pemerintah menyodorkan enam poin amandemen Kontrak Karya (KK) Freeport di tahun 2014 silam. Perusahaan mengiyakan untuk mendirikan
smelter, asal ada kejelasan mengenai perpanjangan operasinya di Indonesia mengingat status KK Freeport hanya berlaku hingga 2021. Jika tidak diperpanjang, Freeport meragukan tingkat pengembalian investasi
smelter yang belum pasti.
Disadari atau tidak, pemerintah nampaknya juga membuka jalan bagi Freeport untuk melenggang ke pasar ekspor. Manajer Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho menganggap, terdapat benang merah antara beleid yang dikeluarkan pemerintah dengan perpanjangan izin ekspor perusahaan.
Ia mencontohkan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 tahun 2014 yang terbit pada 11 Januari 2014 silam. Ia mensinyalir, beleid yang berisi penghentian ekspor mineral terhitung mulai tahun 2017 itu diterbitkan demi mengakomodasi keinginan Freeport. Pasalnya, Surat Persetujuan Ekspor (SPE) Freeport malah terbit sehari setelahnya.
Apalagi, keistimewaan Freeport makin dipertegas di dalam Permen ESDM Nomor 11 tahun 2014, di mana perusahaan boleh mengekspor konsentrat dengan memenuhi sejumlah prasyarat. Kalau pun pemerintah mengeluarkan peraturan sesudahnya, sudah dipastikan isinya memuluskan langkah Freeport untuk kembali ekspor.
"Karena masa berlaku relaksasi di Permen ESDM no 1 tahun 2014 hanya sampai Januari 2017, dan itu berbarengan dengan berakhirnya izin ekspor Freeport. Beleid yang baru pastinya berhubungan dengan kepentingan Freeport," jelas Aryanto.
Akhirnya, pada awal tahun ini, pemerintah membuka kembali keran ekspor mineral melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017. Bedanya, kali ini status izin pertambangan yang berbentuk KK harus berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kalau ingin melakukan ekspor.
Tak beberapa lama, Freeport pun mengajukan perubahan status dari KK. Terdengar cukup menarik, seolah-olah perusahaan tunduk pada aturan pemerintah.
Namun nyatanya, Freeport meminta kebijakan fiskal sama yang berlaku pada KK (
nail down) dan enggan mengubah ketentuan perpajakan seperti yang berlaku dalam KK saat ini yang dikenal dengan cara
prevailing.
Berkutat di masalah perizinan, Freeport akhirnya belum bisa melakukan ekspor sebulan terakhir. Hingga akhirnya, induk usaha Freeport Indonesia, Freeport-McMoran Inc mengancam akan mengurangi tenaga kerja, menahan investasi pertambangan bawah tanah, dan mengurangi produksi menjadi 40 persen dari kapasitas total agar sesuai dengan kapasitas yang dimiliki PT Smelting jika pemerintah tidak memberikan izin ekspor konsentrat lagi.
Di samping itu, Freeport menyatakan tak tertarik untuk melanjutkan pembangunan smelter jika pemerintah tak segera mengeluarkan izin tersebut. Untuk kesekian kalinya, Freeport menyinggung kembali masalah smelter.
Demi menanggulangi polemik ekspor, pemerintah sempat terbesit untuk menerbitkan IUPK sementara sebagai solusi. Pemerintah mengakui, pemberian IUPK sementara ini dilakukan agar Freeport bisa ekspor. Namun, pemerintah membantah ini dilakukan gara-gara ketar-ketir menghadapi ancaman Freeport.
Polemik ini memasuki babak baru pada pekan lalu, di mana pemerintah setuju mengubah status izin Freeport dari KK menjadi IUPK. Meski, pemberian izin ini masih mengundang tanda tanya besar. Pasalnya, belum ada kejelasan apakah Freeport menerima ketentuan fiskal berstatus prevailing atau tidak.
"Saya belum bilang Freeport setuju atau tidak, biar mereka beri tanggapan dulu. Setelah itu, akan ada insentif dan dilihat setelah prevailing kemudian," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono, akhir pekan lalu.
Dengan perubahan ini, ia berharap Freeport bisa segera melakukan ekspor. "Kami berharap, kedua perusahaan itu mengajukan izin ekspor agar kami bisa memproses. Tentu saja harus dilengkapi persyaratan yang dibutuhkan," jelasnya. Gara-gara masih merestui ekspor, banyak pihak menganggap pemerintah masih lunglai menghadapi Freeport. Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menyebut, pemerintah seolah-olah bisa dikendalikan oleh Freeport. Hal ini dianggap sebagai preseden buruk bagi pemerintah.
Apalagi, ia yakin perusahaan asal Amerika Serikat itu tak akan membangun smelter meski telah diganjar relaksasi ekspor dan perpanjangan izin usaha.
"Ada berbagai aturan yang sudah dilanggar, dan yang paling fatal adalah smelter dengan berbagai alasan. Nampaknya memang smelter belum dibangun karena belum ada kejelasan terkait perpanjangan KK. Tapi, ini menjadi sentimen buruk bagi pemerintah, karena publik menilai pemerintah bisa diatur oleh Freeport," tutur Melky.
Sementara itu, pengamat hukum sumber daya alam Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengatakan, pelaksanaan ekspor konsentrat, termasuk yang dilakukan Freeport, tentu saja bertentangan dengan UU Minerba. Untuk itu, terlepas dari bentuk badan usaha pertambangan, ekspor mineral mentah harus dilarang.
Di samping itu, ia menyoroti perubahan status dari KK menjadi IUPK yang tak melewati prosedur seharusnya. Seharusnya, rangkaian perubahan izin bermula dari status wilayah cadangan negara, di mana hal itu ditetapkan terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan selanjutnya diubah menjadi wilayah pertambangan khusus (WPK).
Bila telah berubah menjadi IUPK, maka seharusnya pemerintah menawarkannya terlebih dahulu kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kemudian ditawarkan kepada perusahaan swasta dalam tahapan lelang.
"Seolah-olah negara ini tidak konsisten dengan peraturan yang dibuatnya, dan ini jelas mengangkangi hukum," ujarnya.
Meski pemerintah membantah telah mengakomodasi kepentingan badan usaha, tetap saja perusahaan tambang bisa ekspor mineral mentah. Meski pemerintah enggan menyebut kondisi ini sebagai relaksasi, tetap saja perusahaan tambang bisa ekspor. Meski pemerintah menyebut syarat pemberian ekspor terbilang susah, tetap saja perusahaan tambang bisa ekspor.
Apapun alasannya, ekspor tetaplah ekspor. Tetapi, masih ada waktu untuk membuktikan pemerintah tak lemah dengan satu badan usaha saja. Memang, benar-benar repot mencari jalan keluar bagi polemik ekspor Freeport.