Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)mengaku belum menentukan insentif bagi kegiatan eksplorasi yang gagal selama skema kontrak bagi hasil produksi (
Production Sharing Contract/PSC)
gross split berlaku. Meski demikian, pemerintah menilai hal tersebut tak berpengaruh signifikan terhadap operasional Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Soalnya, hal yang sama juga berlaku pada PSC
cost recovery.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan, dengan skema PSC
cost recovery, seluruh beban operasional tidak akan diganti pemerintah kalau terjadi kegagalan eksplorasi. Seluruh komponen tersebut akan masuk menjadi komponen
sunk cost.
"Tidak (tidak ada insentif bagi eksplorasi gagal). Karena, kondisi tersebut sama saja dengan PSC
cost recovery kan?" ujarnya, Jumat (17/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati begitu, ia menilai bahwa PSC
gross split diminati oleh KKKS yang tengah melakukan eksplorasi. Ia mencontohkan, sebuah KKKS ingin mengubah skema PSC-nya dari
cost recovery menjadi
gross split karena dianggap lebih menarik.
Sayangnya, ia enggan menyebut nama perusahaan yang dimaksud. Di sisi lain, ia juga tidak merinci apakah perusahaan yang dimaksud termasuk di antara 20 KKKS yang produksinya berkontribusi besar terhadap produksi nasional.
"Saya sudah bilang kepada perusahaan tersebut kalau biaya eksplorasinya tetap tak bisa diganti, kalau tidak menemukan cadangan. Kemudian, perusahaan itu bilang tidak apa-apa, yang penting pindah ke
gross split dulu," jelas Arcandra.
Menurutnya, pemerintah malah berencana untuk memudahkan eksplorasi dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2004. Di dalam peraturan itu disebutkan bahwa barang eksplorasi impor harus menunjang efisiensi biaya KKKS. Jika tidak ekonomis, maka barang operasional tersebut harus diserahkan ke negara.
Ia berpendapat, aturan ini perlu diubah karena terkesan tidak adil terhadap KKKS. Pasalnya, pengembalian barang operasional oleh negara membutuhkan waktu yang lama, sehingga KKKS sulit untuk menggunakannya lagi demi mengeksplorasi Wilayah Kerja (WK) lain. Meskipun, barang-barang impor tersebut dibebaskan bea masuk impor oleh pemerintah.
Arcandra bilang, akan lebih adil jika barang-barang operasional hulu migas impor tetap bisa dimiliki oleh KKKS, dengan catatan perusahaan-perusahaan itu bersedia membayar bea masuk. Ini dimaksudkan agar KKKS bisa berpindah melakukan eksplorasi jika eksplorasi di lokasi sebelumnya terbilang gagal.
"Seharusnya, waktu eksplorasi gagal harusnya barangnya di miliki oleh KKKS, lalu baru dikenakan bea masuk. Ini baru adil. Tapi kenyataannya, sekarang kan sudah gagal eksplorasinya lalu barangnya mau di
balikin ke negara. Apalagi, prosedurnya panjang," imbuh Arcandra.
Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), saat ini terdapat 198 WK eksplorasi yang ada di Indonesia. Angka tersebut mengambil 69,96 persen dari total 283 WK migas yang terdapat di Indonesia.
Tahun lalu, investasi hulu migas untuk eksplorasi tercatat US$11,2 miliar atau menurun 26,79 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebesar US$15,3 miliar.