Jakarta, CNN Indonesia -- Program amnesti pajak resmi berakhir pada Jumat (31/3) pukul 24.00 WIB akhir pekan lalu.
Dashboard amnesti pajak mencatat, program yang telah dijalankan selama tiga periode sejak 1 Juli 2016 membuat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) berhasil mengumpulkan uang tebusan Rp114,27 triliun. Lumayan jauh dari target yang dibidik pemerintah sebesar Rp165 triliun.
Target lain yang luput lebih jauh adalah jumlah harta di luar negeri yang ditarik kembali ke Indonesia oleh Wajib Pajak (WP) pemiliknya alias repatriasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dashboard amnesti pajak mencatat selama sembilan bulan, jumlahnya hanya mencapai Rp147,13 triliun. Sementara target pemerintah sangat bombastis, mencapai Rp1.000 triliun.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai, target dana repatriasi yang dipasang sangat ambisius tersebut dibuat berdasarkan perkiraan dana milik Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri versi Kementerian Keuangan minimal sekitar Rp11 ribu triliun. Angka tersebut menurut Faisal mirip dengan versi Credit Suisse.
“Sedangkan menurut Bank Indonesia jumlahnya hanya Rp3 ribu triliun, hampir sama dengan versi McKinsey & Company. Perbedaan tersebut amatlah besar,” kata Faisal, dikutip Senin (3/4).
Ia menduga, harta WNI yang legal dan disimpan di luar negeri atau harta ilegal yang disembunyikan di luar negeri bersumber dari beragam motif dan modus operandi.
“Bisa jadi uang korupsi, penggelapan pajak,
under-invoicing exports,
over-invoicing imports, dan pelarian modal (
capital flights) yang diestimasi dari pos
net errors and omissions dalam neraca pembayaran,” katanya.
Mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi menyebut, seretnya jumlah aset yang direpatriasi karena di lapangan program amnesti pajak sudah mencapai puncak pada periode pertama yang selesai 30 September 2016.
“Hal ini bisa dimaklumi karena tarif tebusan pada periode pertama sangat rendah dan paling rendah,” ujar Faisal.
Tarif untuk repatriasi dan deklarasi harta dalam negeri pada periode I adalah 2 persen, periode II 3 persen, dan periode III 5 persen. Untuk deklarasi harta luar negeri masing-masing 4 persen, 6 persen, dan 10 persen.
“Terbukti, tak sampai tiga bulan sejak diberlakukan, dana repatriasi mencapai Rp137 triliun. Enam bulan selanjutnya sampai akhir program, dana repatriasi hanya bertambah Rp10 triliun,” kata Faisal.
Oleh karena itu, Faisal sampai pada kesimpulan program amnesti pajak tidak mampu menambah kekurangan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.
Ia mencatat, meskipun sudah ditambah dengan jumlah uang tebusan yang disetorkan peserta amnesti, penerimaan pajak sepanjang 2016 hanya mencapai Rp1.284 triliun atau 83,4 persen dari target APBNP 2016 sebesar Rp1.539 triliun.
“Tahun ini target penerimaan pajak Rp1,435 triliun, naik 16,7 persen dibanding realisasi 2016. Berat karena pertumbuhan penerimaan pajak lima tahun rata-rata hanya 8 persen, tidak sampai separuh dari target,” jelasnya.
Hal tersebut semakin memperburuk kondisi nisbah pajak (
tax ratio) yang selama empat tahun terakhir mengalami penurunan terus menerus. Padahal, nisbah pajak Indonesia tergolong masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga, dengan Kamboja sekalipun.
“Menaikkan nisbah pajak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, dengan partisipasi yang cukup tinggi dalam program amnesti pajak, ada secercah harapan untuk jangka menengah,” ujar Faisal.
Ia menyarankan agar pemerintah memanfaatkan dengan optimal 2017 sebagai tahun konsolidasi perpajakan. Caranya adalah dengan mempercepat pembahasan dan pengesahan Undang-Undang perpajakan yang baru. Sehingga di awal 2018, bisa dirasakan peningkatan penerimaan pajak yang melebihi potensi alamiahnya.
“Hampir tidak ada pilihan untuk tahun ini kecuali memangkas belanja modal, termasuk untuk pembangunan infrastruktur. Itulah syarat cukup agar konsolidasi fiskal berlangsung mulus,” tegasnya.