Siap-siap, Ditjen Pajak Bakal Rombak Skema PPh Properti

CNN Indonesia
Senin, 17 Apr 2017 10:12 WIB
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengkaji perubahan skema pemungutan pajak penghasilan (PPh) dari bersifat final menjadi tidak final.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengkaji perubahan skema pemungutan pajak penghasilan (PPh) dari bersifat final menjadi tidak final. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Belitung, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengkaji perubahan skema pemungutan pajak penghasilan (PPh) dari bersifat final menjadi tidak final.

Saat ini, skema pemungutan PPh Final di antaranya berlaku pada penghasilan Pengalihan/Jual Beli Tanah/Bangunan yaitu sebesar 2,5 persen dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan imbalan jasa konstruksi yang berkisar 2 hingga 6 persen.

Skema ini berlaku meskipun wajib pajak memiliki pembukuan. Konsekuensinya, pembayaran pajak tidak memperhatikan untung atau rugi perusahaan atas pengalihan/penjualan tersebut karena tidak memperhitungkan biaya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Properti kan bagus tetapi pajaknya tidak pernah bagus, turun terus," tutur Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi dalam acara Media Gathering Sinergi Demi Informasi di Tanjung Pandan, Belitung, Minggu (16/4).

Selain itu, lanjut Ken, pemungutan PPh Final juga dilakukan pada penghasilan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebesar 1 persen.

Ken mengungkapkan, skema PPh Final membuat DJP kehilangan informasi mengenai biaya-biaya yang terkait atas kegiatan usaha. Padahal, biaya pada suatu usaha merupakan penghasilan bagi usaha lain.

Jika tidak mengacu pada PPh Final, maka besaran tarif PPh bisa kembali ke tarif normal. Sedangkan jika wajib pajak pribadi, maka mengacu pada Pasal 17 Undang-undang (UU) PPh, tarif berlaku secara progresif di kisaran 5 hingga 30 persen.

Sementara, untuk badan, tarif PPh maksimal 25 persen. Ke depan, Ken akan menyampaikan usulan perubahan skema tarif tersebut kepada Jokowi.

Lebih lanjut, Ken mengatakan wewenang untuk merevisi ketentuan PPh Final berada di tangan Presiden Joko Widodo. Pasalnya, perubahan skema tarif tersebut harus dilakukan dengan menerbitkan aturan setingkat Peraturan Pemerintah.

Secara terpisah, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Yon Arsal mengungkapkan lalu penerimaan pajak di sektor properti mengalami penurunan.

Selain karena kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, turunnya penerimaan pajak di sektor properti juga disebabkan oleh turunnya tarif PPh final atas penghasilan penjualan tanah dan/atau bangunan dari 5 persen menjadi 2,5 persen.

Yon mencatat, perimaan pajak netto properti, termasuk konstruksi, sepanjang tahun 2016 hanya Rp76,79 triliun atau turun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp85,75 triliun.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER