Jakarta, CNN Indonesia -- Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai pentingnya pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berasal dari praktisi. Pasalnya, mayoritas calon Dewan Komisioner (DK) yang ada saat ini berasal dari Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Kalau luar negeri itu berasal dari praktisi, dan itu wajar karena yang setiap hari berinteraksi dengan pasar adalah OJK," ungkap Direktur Utama BEI Tito Sulistio dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI, Senin (29/5).
Khusus pasar modal sendiri, Tito mencontohkan beberapa negara yang menempatkan praktisi pasar modal dalam kerangka pimpinan OJK di negara tersebut, seperti Inggris, Australia, Belanda, Jerman, Swiss, dan Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah negara-negara lain juga tidak lelang tapi diusulkan lalu dipilih. Korea Selatan misalnya dinominasikan lalu dipilih," terang Tito.
Menurutnya, peran OJK tidak sembarangan karena jumlah dana yang diawasi pun terbilang jumbo. Contohnya, berbagai industri keuangan yang dibawahi OJK setidaknya tumbuh dua persen setiap tahun.
"BEI, bank, reksa dana negara bisa dilihat, dana yang diawasi, diatur bisa mencapai Rp17 ribu triliun," ungkap Tito.
Artinya, keuangan atau sumber finansial OJK terdapat dalam beberapa industri keuangan tersebut. Tito membandingkan, jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) jauh lebih rendah yakni hanya sekitar Rp2 ribu triliun.
Sementara itu, Anggota Komisi XI Misbakhun menyatakan, Undang-Undang (UU) OJK perlu diamandemen. Hal ini disebabkan, OJK perlu mencari bentuk idealnya.
"OJK ini masih butuh ditopang APBN. APBN jangan ditutup pintunya untuk OJK. Harus mau mengeluarkan untuk pertumbuhan ekonomi," pungkas Misbakhun.
Pasalnya, pungutan untuk emiten dari OJK dinilai memberatkan. Padahal, sebagai regulator seharusnya OJK tidak memberatkan industri tetapi lebih menghidupkan industri tersebut.