Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo mulai mewanti-wanti. Baru-baru ini, ia 'menyentil' ulah pembantunya yang suka membuat Peraturan Menteri, namun malah dianggap menghambat investasi.
Tak tanggung-tanggung, ia pun menyebut produk hukum dari dua instansi yang dianggapnya bikin pelaku usaha geleng-geleng kepala. Disebutnya, dua kementerian itu adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Permen (Peraturan Menteri) baik di kehutanan dan ESDM misalnya, saya lihat satu dan dua bulan ini direspons tidak baik karena dianggap menghambat investasi," ujar Jokowi awal pekan ini.
Sontak, pernyataan ini cukup mencengangkan. Apalagi untuk Kementerian ESDM. Pasalnya, tahun 2017 merupakan tahun yang produktif dalam menyusun Peraturan Menteri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga akhir Juli, setidaknya sudah ada 44 Permen yang diterbitkan. Angka ini tercatat dua kali lipat lebih besar dibanding tahun lalu, di mana hanya terdapat 19 Permen yang diterbitkan.
Selain itu, bisa dibilang Permen ini dibuat dengan tujuan yang baik. Permen ESDM Nomor 11, 12, dan 24 misalnya, disusun agar tarif listrik lebih efisien. Ada pula Permen ESDM Nomor 10 yang meminta pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dikenakan denda tertentu yang disebut
delivery or pay jika tidak mampu memenuhi kewajiban yang tertuang di dalam kontrak jual beli listrik (
Power Purchase Agreement/PPA).
Namun, yang namanya kebijakan, tentu saja tidak bisa diterima baik oleh semua kalangan.
Pelaku usaha migas, contohnya, belakangan mempertanyakan efektivitas bagi hasil
Gross Split sebagai pengganti kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) cost recovery yang termuat di dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017. Menurut mereka, belum ada jaminan bahwa bagi hasil ini bisa mendongkrak keekonomian lapangan migas dibanding rezim PSC cost recovery.
"Mungkin perlu dilakukan kajian komprehensif mengenai tingkat keekonomiannya. Sekarang, biaya eksplorasi yang berbentuk sunk cost tidak akan diganti pemerintah jika produksi berhasil ditemukan. Bagaimana caranya menjamin tingkat keekonomian ketika KKKS menggendong sendiri sunk cost ini," terang Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong.
 Menteri ESDM Ignasius Jonan. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Melengkapi ucapan Marjolijn, Direktur IPA Ronald Gunawan mengatakan, implementasi Gross Split mungkin bisa berlaku jika pengembangan lapangan migas tidak membutuhkan biaya investasi yang besar.
Alasannya, skema Gross Split tidak mengenal pemulihan biaya, sehingga perusahaan migas harus efisiensi maksimal agar tingkat keekonomiannya bisa mumpuni.
Sebagai percobaan, skema PSC Gross Split baru diberlakukan di blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Meski tandatangan kontrak sudah dilakukan 19 Januari 2017 silam, namun hingga saat ini PHE masih memperjuangkan tingkat keekonomian seperti masa PSC cost recovery.
Di dalam kontrak baru tersebut, PHE mendapatkan bagi hasil dasar (base split) minyak sebesar 57,5 persen dan gas sebesar 62,5 persen.
Sayang, bagi hasil ini dirasa kurang karena masih ada variabel yang dihitung, yaitu biaya operasi yang belum dikembalikan pemerintah (
unrecovered cost) sebesar US$453 juta, munculnya kewajiban hak partisipasi (
Participating Interest/PI) bagi Pemerintah Daerah (Pemda) sebesar 10 persen, dan munculnya kembali beban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pasca perubahan rezim PSC menjadi
Gross Split.
"Implementasi
Gross Split di blok ONWJ baik-baik saja asal keekonomiannya sama seperti PSC sebelumnya. Kami akan hitung kembali, berapa hitungan split tambahan yang bisa kami dapatkan yang setara dengan tingkat keekonomian yang kami rasakan dalam 20 tahun terakhir," jelas Gunung Sardjono Hadi, Presiden Direktur PHE
Tak berhenti keluhan pelaku usaha migas, muncul keluhan lain di sektor mineral dan batu bara. Adalah Permen Nomor 6 Tahun 2017 yang disebut menjadi biang mandegnya investasi fasilitas pemurnian (smelter) di Indonesia.
Di dalam aturan itu, pemerintah melonggarkan ekspor bagi nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen dan ore bauksit yang telah dicuci dengan kadar lebih dari 42 persen.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo mengemukakan, sudah terdapat 11 smelter yang tutup dan 12 smelter yang terancam gulung tikar setelah aturan tersebut diimplementasikan.
Ia mengeluhkan anjloknya harga nikel setelah Permen ESDM Nomor 5 dan 6 Tahun 2017 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 2017. Harga nikel yang ambruk ditambah biaya produksi yang meningkat tentu membuat keuntungan ikut tergerus.
Adapun, Harga Pokok Produksi (HPP) nikel yang telah dimurnikan tercatat US$9.600 per ton untuk smelter dengan teknologi blast furnace. Selain itu, HPP untuk nikel yang dimurnikan dengan smelter listrik tercatat US$9.900 per ton. Sayang, harga nikel di pasaran kemarin sempat menyentuh US$8.600 per ton, yang artinya pengusaha mau tak mau menelan kerugian.
"Sekarang juga sudah menyentuh US$9.700 per ton, tapi tetap saja di bawah HPP. Ini baru bahan baku dan pendukung saja, belum dimasukkan ongkos lain seperti bunga bank, depresiasi. Padahal, sebelum relaksasi diumumkan, harga nikel masih berada di kisaran US$12 ribu per ton," ungkap Jonatan.
Untuk memperbaiki investasi smelter, ia bilang tak ada cara lain selain mencabut tiga aturan itu. Bahkan, ia beserta koalisi yang dibentuknya kini tengah menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Agung (MA) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
"Obatnya hanya satu, cabut Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017. Malahan ada yang lebih sakit, ada investasi baru tapi pas mau beroperasi harganya masih belum membaik," katanya.
Tak hanya itu, keluhan juga timbul dari sisi ketenagalistrikan. Kali ini, pelaku usaha meributkan Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2017.
Chairman of Legal, Policy Advocacy and Regulation Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar mempertanyakan pasal 8 beleid tersebut.
Ketentuan itu menyebut bahwa risiko kondisi kahar yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah (government force majeure) juga ikut ditanggung oleh pengembang. Adapun, klausul itu harus dimasukkan ke dalam kontrak jual beli listrik.
Menurutnya, aturan itu sangat menggelikan. Sebab,
government force majeure bukanlah kesalahan investor. Namun, klausul itu dampaknya sangat besar, karena lembaga pembiayaan tidak mau mendanai proyek pembangkit listrik karena risikonya begitu tinggi.
"Di dalamnya ada klausul yang sangat tidak bankable buat perbankan, yaitu risiko force majeure karena kebijakan pemerintah. Bagaimana bisa, pengembang menanggung risiko dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah?" jelas Paul.
Dihujani banyak keluhan investor, ESDM pun tak tinggal diam. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar bilang, instansinya akan segera meninjau beberapa peraturan yang sekiranya mempersempit ruang gerak penanam modal.
"Kami berharap pelaku industri melihatnya dengan perspektif lebih luas," tuturnya. Ia pun berjanji akan bergerak cepat dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan setelah melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat.
Arcandra juga bilang bahwa Peraturan Menteri seharusnya memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang terkait secara langsung. Sehingga, peraturam memang seharusnya ditinjau ulang untuk melihat dampak langsungnya.
"Aturan itu harus memberikan
added value kepada dunia usaha. Kami dengarkan, untuk investasi masuk maunya seperti apa," pungkasnya.