ANALISIS

Ketika Industri Nyeri Gara-gara Peraturan Menteri

CNN Indonesia
Jumat, 28 Jul 2017 12:18 WIB
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo 'menyentil' Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang dinilai membuat peraturan penghambat investasi.
Sudah terdapat 11 smelter yang tutup dan 12 smelter yang terancam gulung tikar setelah aturan tersebut diimplementasikan. (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari)
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo mengemukakan, sudah terdapat 11 smelter yang tutup dan 12 smelter yang terancam gulung tikar setelah aturan tersebut diimplementasikan.

Ia mengeluhkan anjloknya harga nikel setelah Permen ESDM Nomor 5 dan 6 Tahun 2017 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 2017. Harga nikel yang ambruk ditambah biaya produksi yang meningkat tentu membuat keuntungan ikut tergerus.

Adapun, Harga Pokok Produksi (HPP) nikel yang telah dimurnikan tercatat US$9.600 per ton untuk smelter dengan teknologi blast furnace. Selain itu, HPP untuk nikel yang dimurnikan dengan smelter listrik tercatat US$9.900 per ton. Sayang, harga nikel di pasaran kemarin sempat menyentuh US$8.600 per ton, yang artinya pengusaha mau tak mau menelan kerugian.

"Sekarang juga sudah menyentuh US$9.700 per ton, tapi tetap saja di bawah HPP. Ini baru bahan baku dan pendukung saja, belum dimasukkan ongkos lain seperti bunga bank, depresiasi. Padahal, sebelum relaksasi diumumkan, harga nikel masih berada di kisaran US$12 ribu per ton," ungkap Jonatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk memperbaiki investasi smelter, ia bilang tak ada cara lain selain mencabut tiga aturan itu. Bahkan, ia beserta koalisi yang dibentuknya kini tengah menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Agung (MA) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

"Obatnya hanya satu, cabut Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017. Malahan ada yang lebih sakit, ada investasi baru tapi pas mau beroperasi harganya masih belum membaik," katanya.

Tak hanya itu, keluhan juga timbul dari sisi ketenagalistrikan. Kali ini, pelaku usaha meributkan Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2017.

Chairman of Legal, Policy Advocacy and Regulation Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar mempertanyakan pasal 8 beleid tersebut.
Ketentuan itu menyebut bahwa risiko kondisi kahar yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah (government force majeure) juga ikut ditanggung oleh pengembang. Adapun, klausul itu harus dimasukkan ke dalam kontrak jual beli listrik.

Menurutnya, aturan itu sangat menggelikan. Sebab, government force majeure bukanlah kesalahan investor. Namun, klausul itu dampaknya sangat besar, karena lembaga pembiayaan tidak mau mendanai proyek pembangkit listrik karena risikonya begitu tinggi.

"Di dalamnya ada klausul yang sangat tidak bankable buat perbankan, yaitu risiko force majeure karena kebijakan pemerintah. Bagaimana bisa, pengembang menanggung risiko dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah?" jelas Paul.

Dihujani banyak keluhan investor, ESDM pun tak tinggal diam. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar bilang, instansinya akan segera meninjau beberapa peraturan yang sekiranya mempersempit ruang gerak penanam modal.

"Kami berharap pelaku industri melihatnya dengan perspektif lebih luas," tuturnya. Ia pun berjanji akan bergerak cepat dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan setelah melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat.

Arcandra juga bilang bahwa Peraturan Menteri seharusnya memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang terkait secara langsung. Sehingga, peraturam memang seharusnya ditinjau ulang untuk melihat dampak langsungnya.

"Aturan itu harus memberikan added value kepada dunia usaha. Kami dengarkan, untuk investasi masuk maunya seperti apa," pungkasnya.

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER