ANALISIS

Ketika Industri Nyeri Gara-gara Peraturan Menteri

CNN Indonesia
Jumat, 28 Jul 2017 12:18 WIB
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo 'menyentil' Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang dinilai membuat peraturan penghambat investasi.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo 'menyentil' Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang dinilai membuat peraturan penghambat investasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo mulai mewanti-wanti. Baru-baru ini, ia 'menyentil' ulah pembantunya yang suka membuat Peraturan Menteri, namun malah dianggap menghambat investasi.

Tak tanggung-tanggung, ia pun menyebut produk hukum dari dua instansi yang dianggapnya bikin pelaku usaha geleng-geleng kepala. Disebutnya, dua kementerian itu adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Permen (Peraturan Menteri) baik di kehutanan dan ESDM misalnya, saya lihat satu dan dua bulan ini direspons tidak baik karena dianggap menghambat investasi," ujar Jokowi awal pekan ini.

Sontak, pernyataan ini cukup mencengangkan. Apalagi untuk Kementerian ESDM. Pasalnya, tahun 2017 merupakan tahun yang produktif dalam menyusun Peraturan Menteri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga akhir Juli, setidaknya sudah ada 44 Permen yang diterbitkan. Angka ini tercatat dua kali lipat lebih besar dibanding tahun lalu, di mana hanya terdapat 19 Permen yang diterbitkan.

Selain itu, bisa dibilang Permen ini dibuat dengan tujuan yang baik. Permen ESDM Nomor 11, 12, dan 24 misalnya, disusun agar tarif listrik lebih efisien. Ada pula Permen ESDM Nomor 10 yang meminta pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dikenakan denda tertentu yang disebut delivery or pay jika tidak mampu memenuhi kewajiban yang tertuang di dalam kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA).

Namun, yang namanya kebijakan, tentu saja tidak bisa diterima baik oleh semua kalangan.

Pelaku usaha migas, contohnya, belakangan mempertanyakan efektivitas bagi hasil Gross Split sebagai pengganti kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) cost recovery yang termuat di dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017. Menurut mereka, belum ada jaminan bahwa bagi hasil ini bisa mendongkrak keekonomian lapangan migas dibanding rezim PSC cost recovery.

"Mungkin perlu dilakukan kajian komprehensif mengenai tingkat keekonomiannya. Sekarang, biaya eksplorasi yang berbentuk sunk cost tidak akan diganti pemerintah jika produksi berhasil ditemukan. Bagaimana caranya menjamin tingkat keekonomian ketika KKKS menggendong sendiri sunk cost ini," terang Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong.

Ketika Industri Nyeri Gara-gara Peraturan MenteriMenteri ESDM Ignasius Jonan. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Melengkapi ucapan Marjolijn, Direktur IPA Ronald Gunawan mengatakan, implementasi Gross Split mungkin bisa berlaku jika pengembangan lapangan migas tidak membutuhkan biaya investasi yang besar.

Alasannya, skema Gross Split tidak mengenal pemulihan biaya, sehingga perusahaan migas harus efisiensi maksimal agar tingkat keekonomiannya bisa mumpuni.

Sebagai percobaan, skema PSC Gross Split baru diberlakukan di blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Meski tandatangan kontrak sudah dilakukan 19 Januari 2017 silam, namun hingga saat ini PHE masih memperjuangkan tingkat keekonomian seperti masa PSC cost recovery.

Di dalam kontrak baru tersebut, PHE mendapatkan bagi hasil dasar (base split) minyak sebesar 57,5 persen dan gas sebesar 62,5 persen.

Sayang, bagi hasil ini dirasa kurang karena masih ada variabel yang dihitung, yaitu biaya operasi yang belum dikembalikan pemerintah (unrecovered cost) sebesar US$453 juta, munculnya kewajiban hak partisipasi (Participating Interest/PI) bagi Pemerintah Daerah (Pemda) sebesar 10 persen, dan munculnya kembali beban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pasca perubahan rezim PSC menjadi Gross Split.

"Implementasi Gross Split di blok ONWJ baik-baik saja asal keekonomiannya sama seperti PSC sebelumnya. Kami akan hitung kembali, berapa hitungan split tambahan yang bisa kami dapatkan yang setara dengan tingkat keekonomian yang kami rasakan dalam 20 tahun terakhir," jelas Gunung Sardjono Hadi, Presiden Direktur PHE

Tak berhenti keluhan pelaku usaha migas, muncul keluhan lain di sektor mineral dan batu bara. Adalah Permen Nomor 6 Tahun 2017 yang disebut menjadi biang mandegnya investasi fasilitas pemurnian (smelter) di Indonesia.

Di dalam aturan itu, pemerintah melonggarkan ekspor bagi nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen dan ore bauksit yang telah dicuci dengan kadar lebih dari 42 persen.

Terancam Gulung Tikar

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER