ANALISIS

Menakar Target Muluk Pertumbuhan Ekonomi 2018

CNN Indonesia
Rabu, 18 Okt 2017 12:15 WIB
Target pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,4 persen terbilang optimistis, mengingat realisasi sepanjang tahun 2017 cenderung stagnan.
indikasi penurunan konsumsi untuk golongan menengah ke atas masih akan terus berlanjut, di mana masyarakat lebih memilih mengalokasikan pendapatannya untuk menabung ketimbang konsumsi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Menimbang dua indikator yang disebut belakangan, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri cenderung pesimistis bahwa pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa sesuai target.

Menurutnya, indikasi penurunan konsumsi untuk golongan menengah ke atas masih akan terus berlanjut, di mana masyarakat lebih memilih mengalokasikan pendapatannya untuk menabung ketimbang konsumsi.

Ia mengutip data yang dirilis Bank Mandiri yakni 20,77 persen pendapatan masyarakat lari ke tabungan. Adapun, angka ini meningkat dari angka sebelum Pilkada DKI Jakarta yakni 18,6 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Dan itu tentu berpengaruh ke kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan. Kenaikan DPK jauh lebih tinggi dibanding penyaluran kredit,” jelas Faisal.

Tak hanya di kelas masyarakat menengah ke atas, daya beli di golongan 40 persen masyarakat rentan miskin juga terancam karena pendapatan riilnya terus menurun.
Sebagai contoh, ia menyebut bahwa upah riil buruh tani di bulan lalu tercatat Rp37.711 per hari. Padahal, tiga tahun sebelumnya, upah buruh tani sempat mencapai Rp39 ribu per hari.

Maka dari itu, menurutnya, tak heran jika saat ini konsumsi rumah tangga bagi 40 persen golongan rentan miskin hanya menyumbang 17 persen pengeluran rumah tangga nasional. Jika tak ada perbaikan pendapatan bagi golongan tersebut, ia sangsi pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa sesuai target.

“Memang, 40 persen rakyat termiskin kena, upah riil buruh tani dan bangunan turun semua. Namun, menurunnya pendapatan riil masyarakat juga mulai merembet ke kelas menengah bawah karena ada pencabutan subsidi listrik bagi golongan 900 Volt Ampere (VA),” lanjutnya.

Sementara itu, di sisi ekspor-impor, ia menilai bahwa Indonesia juga mengalami tekanan dari tingginya nilai impor minyak gara-gara harga minyak yang terus menguat.

Berdasarkan data BPS, impor migas secara year-to-date September sudah berada di angka US$17,34 miliar atau meningkat 9,54 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$13,77 miliar. Ini menyebabkan pertumbuhan impor ke Indonesia secara keseluruhan mencapai 13,97 persen di periode tersebut.

Jika kondisi ini berlanjut di tahun depan, maka nilai ekspor netto diperkirakan tak kuat menopang pertumbuhan ekonomi.

Terlebih, andalan ekspor Indonesia masih berupa komoditas, di mana pergerakan harganya mengikuti pengaruh internasional.

Di sisi lain, pertumbuhan sektor manufaktur juga terus melemah dan kini bertengger di posisi 3,38 persen dari angka dua digit 20 tahun lalu. Akibatnya, sektor ini tak bisa berkontribusi banyak dalam meningkatkan nilai ekspor.

Dipengaruhi faktor-faktor tersebut, ia meramal pertumbuhan ekonomi tahun depan maksimal hanya berada di angka 5,1 persen.

“Intinya gini, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini dipengaruhi komoditas. Kalau harga boom ya bagus, kalau tidak, jelek,” tambahnya.

Komponen Lemah

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER