Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah kembali menunjukkan optimisme ekonomi untuk tahun depan. Pertumbuhan ekonomi dipatok sebesar 5,4 persen dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2018 mendatang.
Angka itu cukup optimistis, mengingat realisasi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2017 cenderung stagnan dan terpaut tipis dibanding target APBNP 2017.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2017 tercatat di angka 5,01 persen. Kondisi serupa juga terjadi di kuartal berikutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, pemerintah sudah mematok target pertumbuhan ekonomi di dalam APBNP sebesar 5,2 persen.
Apalagi, di tahun depan, postur anggaran tahun depan terbilang tidak ekspansif seperti tahun ini. Hal tersebut, bisa dilihat dari defisit anggaran yang dirancang 2,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Defisit ini tentu lebih kecil dibanding defisit anggaran tahun ini yang disusun 2,92 persen. Besaran belanja pemerintah pastinya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, mengingat pengeluaran pemerintah merupakan satu dari komponen PDB apabila ditelisik dari pendekatan pengeluaran (
expenditure approach).
Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap optimistis pertumbuhan ekonomi bisa melejit ke angka 5,4 persen tanpa perlu menyusun anggaran yang ekspansif.
Sebab, alih-alih ekspansi fiskal, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan target pertumbuhan tahun depan perlu disokong dari investasi.
Ia melanjutkan, peran Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) seharusnya bisa bertumbuh 6,3 persen di dalam PDB tahun depan. Selain itu, porsi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) seharusnya bisa tumbuh dari posisi 14,5 persen di tahun ini ke angka 17 hingga 19 persen. Dengan demikian, angka pertumbuhan 5,4 persen bisa diraih dalam genggaman.
"Kunci utama tetap investasi. Semua negara yang ekonominya bisa tumbuh di atas 5 persen adalah investasi. Kalau dilihat, China dan India yang tumbuh di atas 6 hingga 7 persen
growth-nya investasinya di atas
double digit," kata Sri Mulyani.
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi tak hanya bergantung dari PMTB dan ekspansi anggaran. Konsumsi rumah tangga dan ekspor netto harus diperhitungkan. Apalagi, sesuai data BPS semester kemarin, sebanyak 75,65 persen dari PDB berasal dari dua variabel tersebut.
Menimbang dua indikator yang disebut belakangan, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri cenderung pesimistis bahwa pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa sesuai target.
Menurutnya, indikasi penurunan konsumsi untuk golongan menengah ke atas masih akan terus berlanjut, di mana masyarakat lebih memilih mengalokasikan pendapatannya untuk menabung ketimbang konsumsi.
Ia mengutip data yang dirilis Bank Mandiri yakni 20,77 persen pendapatan masyarakat lari ke tabungan. Adapun, angka ini meningkat dari angka sebelum Pilkada DKI Jakarta yakni 18,6 persen.
“Dan itu tentu berpengaruh ke kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan. Kenaikan DPK jauh lebih tinggi dibanding penyaluran kredit,” jelas Faisal.
Tak hanya di kelas masyarakat menengah ke atas, daya beli di golongan 40 persen masyarakat rentan miskin juga terancam karena pendapatan riilnya terus menurun.
Sebagai contoh, ia menyebut bahwa upah riil buruh tani di bulan lalu tercatat Rp37.711 per hari. Padahal, tiga tahun sebelumnya, upah buruh tani sempat mencapai Rp39 ribu per hari.
Maka dari itu, menurutnya, tak heran jika saat ini konsumsi rumah tangga bagi 40 persen golongan rentan miskin hanya menyumbang 17 persen pengeluran rumah tangga nasional. Jika tak ada perbaikan pendapatan bagi golongan tersebut, ia sangsi pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa sesuai target.
“Memang, 40 persen rakyat termiskin kena, upah riil buruh tani dan bangunan turun semua. Namun, menurunnya pendapatan riil masyarakat juga mulai merembet ke kelas menengah bawah karena ada pencabutan subsidi listrik bagi golongan 900 Volt Ampere (VA),” lanjutnya.
Sementara itu, di sisi ekspor-impor, ia menilai bahwa Indonesia juga mengalami tekanan dari tingginya nilai impor minyak gara-gara harga minyak yang terus menguat.
Berdasarkan data BPS, impor migas secara year-to-date September sudah berada di angka US$17,34 miliar atau meningkat 9,54 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$13,77 miliar. Ini menyebabkan pertumbuhan impor ke Indonesia secara keseluruhan mencapai 13,97 persen di periode tersebut.
Jika kondisi ini berlanjut di tahun depan, maka nilai ekspor netto diperkirakan tak kuat menopang pertumbuhan ekonomi.
Terlebih, andalan ekspor Indonesia masih berupa komoditas, di mana pergerakan harganya mengikuti pengaruh internasional.
Di sisi lain, pertumbuhan sektor manufaktur juga terus melemah dan kini bertengger di posisi 3,38 persen dari angka dua digit 20 tahun lalu. Akibatnya, sektor ini tak bisa berkontribusi banyak dalam meningkatkan nilai ekspor.
Dipengaruhi faktor-faktor tersebut, ia meramal pertumbuhan ekonomi tahun depan maksimal hanya berada di angka 5,1 persen.
“Intinya gini, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini dipengaruhi komoditas. Kalau harga boom ya bagus, kalau tidak, jelek,” tambahnya. Setali tiga uang, Anggota Komisi XI fraksi Partai Gerindra Kardaya Warnika menganggap target yang diusung pemerintah jauh terlalu tinggi. Menurut dia, pemerintah seharusnya berkaca pada lemahnya beberapa komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017.
Untuk investasi, contohnya, pertumbuhan PMTB di semester lalu terbilang 5,07 persen atau lebih kecil dibanding periode yang sama tahun sebelumnya 5,31 persen.
Tak hanya itu, ada pula indikasi pengurangan konsumsi yang terlihat dari lemahnya pertumbuhan sektor ritel dari 10 persen tahun lalu ke angka 3,7 persen di tahun ini.
Sebetulnya, tambah Kardaya, pertumbuhan ekonomi bisa saja mencapai 5,4 persen di tahun depan. Asal, target pertumbuhan ekonomi juga mencapai targetnya.
“Kalau pemerintah yakin betul 5,4 persen ya kami persilahkan. Prognosa yang tentunya kami buat untuk tahun yang akan atang tentunya melihat faktor-faktor yang terjadi di tahun ini,” ungkapnya.
Kendati diterpa keraguan, pemerintah masih optimistis. Sebab, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih akan bergerak naik hingga akhir tahun, dan diharapkan trennya juga akan bergerak hingga tahun depan.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution yakin pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini saja bisa mencapai 5,4 persen. Hanya saja, ia sadar bahwa masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan.
“Kebutuhannya agak tinggi untuk ke arah 5,4 persen. Pemerintah melihat perkembangan ekonomi masih baik, memang yang tidak terlalu menggembirakan dari segi pertumbuhan belanja dan penerimaan pemerintah,” kata Mantan Gubernur Bank Indonesia ini.