Jakarta, CNN Indonesia -- Pertumbuhan ekonomi Indonesia akhirnya menunjukkan tanda positif. Setelah sebelumnya mencatat petumbuhan 5,01 persen di semester I 2017, angkanya merangsek naik menjadi 5,06 persen secara tahunan (
year-on-year) di kuartal III tahun ini.
Namun, ada satu hal yang bikin waspada. Kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ternyata makin menurun antar periodenya.
Meski masih dominan dibandingkan sektor lainnya, manufaktur hanya menyumbang 19,93 persen terhadap total PDB di kuartal III 2017. Padahal, di periode yang sama tahun 2015, industri manufaktur bisa menyumbang 20,38 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, di tahun 2013, kontribusi industri manufaktur juga pernah mencapai 23,28 persen terhadap total PDB.
Tak heran, kerap muncul anggapan bahwa deindustrialisasi makin menunjukkan tajinya di Indonesia. Namun, apakah terlalu dini untuk menganggap Indonesia sudah memasuki masa rawan deindustrialisasi?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengamini masa rawan itu. Ia mengacu pada kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB yang terus menurun dan diiringi dengan kualitas pertumbuhan ekonomi yang tidak menunjukkan perbaikan.
Menurutnya, Indonesia boleh saja punya pertumbuhan ekonomi yang membaik. Namun, di waktu yang bersamaan, tingkat pengangguran absolut bertambah 10 ribu orang secara tahunan dan masih ada stagnasi dari segi ketimpangan, yang direpresentasikan dalam bentuk rasio gini.
 (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) |
Makanya, Indonesia disebutnya harus waswas. Sebab, jika industri manufaktur jalan mundur, maka penciptaan lapangan pekerjaan akan menjadi sulit. Ini nantinya akan menjadi buah simalakama bagi golongan usia produktif, yang diperkirakan mendominasi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
“Bonus demografi di tahun 2030 akan menjadi bencana demografi karena lapangan kerja bagi usia produktif tidak tersedia dan stagnasi ekonomi dalam jangka panjang,” jelas Bhima.
Menurutnya, akar masalah dari deindustrialisasi ini adalah pendeknya pohon industri dari komoditas mentah Indonesia. Ia mencontohkan, ekspor Indonesia sebesar Rp558 triliun di kuartal III kebanyakan masih berupa minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Padahal, jika Indonesia bisa menciptakan produk derivatif yang banyak dari CPO, tentu ekspor Indonesia bisa memiliki nilai tambah, dan ujung-ujungnya meningkatkan pertumbuhan serta porsi industri manufaktur di dalam PDB.
“Kemudian soal minyak mentah dan ekspor mineral. Pembangunan kilang dan smelter cukup lambat. Jadi
political will untuk melakukan industrialisasi Indonesia saat ini kurang baik. Banyaknya infrastruktur juga belum seluruhnya terkoneksi dengan kawasan industri. Terlebih, diskonektivitas infrastruktur dengan industri juga menambah masalah baru,” paparnya.
Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal menuturkan, sebetulnya tanda-tanda deindustrialisasi sudah mengintai Indonesia sejak 2004.
Menurutnya, semua negara pasti pernah mengalami deindustrialisasi. Namun, untuk kasus Indonesia, status waspada memang patut disematkan.
Menurut Faisal, sebagian besar negara yang mengalami fase deindustrialisasi umumnya adalah negara maju, di mana sektor manufaktur sudah memasuki masa dewasa (mature).
Dengan kata lain, pertumbuhan manufaktur sebagian besar sudah disumbang oleh sektor padat modal dan berteknologi tinggi dan sudah tidak lagi mengandalkan sektor usaha padat karya.
Tetapi, khusus untuk kasus di Indonesia, sektor manufaktur sudah layu di tengah tingginya ketergantungan dari industri padat karya. Ia mengutip data BPS pada kuartal III 2017, di mana sektor makanan dan minuman mengambil porsi 34,95 persen terhadap total nilai industri non migas.
Jika pertumbuhan industri manufaktur Indonesia tidak segera mencapai dua digit, maka Indonesia akan kewalahan dalam menggapai pendapatan per kapita yang juga tinggi. Bisa-bisa, Indonesia malah akan terjebak di dalam perangkap negara kelas menengah (middle income trap).
Di tahun 2016, Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia ada di angka US$3.400, sementara Bank Dunia mencatat bahwa standar pendapatan negara maju minimal memliki pendapatan per kapita US$12.236.
“Kalau di negara maju, sektor industri sudah lewat masa
maturity lalu bergeser ke jasa. Indonesia bahkan belum sempat mengalami industri manufaktur yang
mature, belum sampai
high value added. Bahkan belum sampai juga pertumbuhan industri mencapai dua digit, sudah keburu turun,” paparnya. Mengatasi hal tersebut, tentu dibutuhkan keseriusan tingkat tinggi dari pemerintah. Faisal menuturkan, pemerintah harus jor-joran dalam menggiatkan sektor manufaktur, di mana salah satu contohnya adalah menentukan prioritas pengembangan industri nasional.
Sehingga, sumber daya dalam bentuk Sumber Daya Manusia (SDM) hingga bahan baku bisa dimanfaatkan dengan tepat guna.
“Bahkan kalau perlu, biarlah sektor manufaktur ini langsung di bawah kendali Presiden. Karena menumbuhkan nilai industri nasional bukan hanya pekerjaan Kementerian Perindustrian, namun juga tolak ukur keberhasilan bagi instansi lain. Harus jelas arah industri nasional mau dibawa ke mana, sehingga anggaran pemerintah hingga resources yang ada benar-benar terkonsentrasi,” jelasnya.
Di tengah kekhawatiran deindustrialisasi, Indonesia dinilainya bisa sedikit menghela nafas mengingat banyak pula negara-negara berkembang yang sektor industrinya sudah layu sebelum berkembang.
Ambil contoh negara-negara di benua Afrika, di mana kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB sudah melandai bahkan sebelum sektor padat karyanya benar-benar matang.
“Di Afrika, banyak negara yang bahkan belum sampai industri tekstil sudah turun kontribusinya. Mereka masih berkutat di light industry,” paparnya.
 (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) |
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, saat ini kinerja sektor manufaktur masih dianggap mumpuni dalam menopang pertumbuhan ekonomi.
Ia mengacu pada data United Nations Statistics Division tahun 2016 yang menyebut bahwa Indonesia menempati peringkat ke-empat dari 15 negara di dunia yang industri manufakturnya bisa memberikan kontribusi terhadap PDB lebih dari 10 persen.
Meski demikian, tentu saja Indonesia tak boleh berpuas diri. Penguatan industri dalam negeri, lanjutnya, harusnya bisa disokong oleh hilirisasi SDA dalam negeri.
Menurutnya, Indonesia sudah menuju ke arah tersebut. Ini dibuktikan dari kinerja sektor industri logam dasar yang membukukan pertumbuhan 10,6 persen secara tahunan di kuartal III kemarin.
Di samping itu, penguatan nilai industri dalam negeri juga perlu ditopang oleh investasi dan penguatan perdagangan antar negara. Ia berharap, kedua faktor tersebut bisa mencuat setelah Indonesia mengalami kenaikan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EODB) dari posisi 91 ke 72.
Yang terakhir, tentu saja paradigma mengenai sektor manufaktur harus diubah agar Indonesia bisa melahirkan sektor unggulan berdaya saing tinggi.
“Paradigma industri manufaktur global saat ini memandang proses produksi sebagai satu kesatuan antara proses praproduksi, produksi dan pascaproduksi. Oleh karena itu, kami sudah tidak bisa lagi melihat produksi hanya di pabrik saja,” paparnya.