Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal menuturkan, sebetulnya tanda-tanda deindustrialisasi sudah mengintai Indonesia sejak 2004.
Menurutnya, semua negara pasti pernah mengalami deindustrialisasi. Namun, untuk kasus Indonesia, status waspada memang patut disematkan.
Menurut Faisal, sebagian besar negara yang mengalami fase deindustrialisasi umumnya adalah negara maju, di mana sektor manufaktur sudah memasuki masa dewasa (mature).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kata lain, pertumbuhan manufaktur sebagian besar sudah disumbang oleh sektor padat modal dan berteknologi tinggi dan sudah tidak lagi mengandalkan sektor usaha padat karya.
Tetapi, khusus untuk kasus di Indonesia, sektor manufaktur sudah layu di tengah tingginya ketergantungan dari industri padat karya. Ia mengutip data BPS pada kuartal III 2017, di mana sektor makanan dan minuman mengambil porsi 34,95 persen terhadap total nilai industri non migas.
Jika pertumbuhan industri manufaktur Indonesia tidak segera mencapai dua digit, maka Indonesia akan kewalahan dalam menggapai pendapatan per kapita yang juga tinggi. Bisa-bisa, Indonesia malah akan terjebak di dalam perangkap negara kelas menengah (middle income trap).
Di tahun 2016, Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia ada di angka US$3.400, sementara Bank Dunia mencatat bahwa standar pendapatan negara maju minimal memliki pendapatan per kapita US$12.236.
“Kalau di negara maju, sektor industri sudah lewat masa
maturity lalu bergeser ke jasa. Indonesia bahkan belum sempat mengalami industri manufaktur yang
mature, belum sampai
high value added. Bahkan belum sampai juga pertumbuhan industri mencapai dua digit, sudah keburu turun,” paparnya.