Mengatasi hal tersebut, tentu dibutuhkan keseriusan tingkat tinggi dari pemerintah. Faisal menuturkan, pemerintah harus jor-joran dalam menggiatkan sektor manufaktur, di mana salah satu contohnya adalah menentukan prioritas pengembangan industri nasional.
Sehingga, sumber daya dalam bentuk Sumber Daya Manusia (SDM) hingga bahan baku bisa dimanfaatkan dengan tepat guna.
“Bahkan kalau perlu, biarlah sektor manufaktur ini langsung di bawah kendali Presiden. Karena menumbuhkan nilai industri nasional bukan hanya pekerjaan Kementerian Perindustrian, namun juga tolak ukur keberhasilan bagi instansi lain. Harus jelas arah industri nasional mau dibawa ke mana, sehingga anggaran pemerintah hingga resources yang ada benar-benar terkonsentrasi,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah kekhawatiran deindustrialisasi, Indonesia dinilainya bisa sedikit menghela nafas mengingat banyak pula negara-negara berkembang yang sektor industrinya sudah layu sebelum berkembang.
Ambil contoh negara-negara di benua Afrika, di mana kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB sudah melandai bahkan sebelum sektor padat karyanya benar-benar matang.
“Di Afrika, banyak negara yang bahkan belum sampai industri tekstil sudah turun kontribusinya. Mereka masih berkutat di light industry,” paparnya.
 (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) |
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, saat ini kinerja sektor manufaktur masih dianggap mumpuni dalam menopang pertumbuhan ekonomi.
Ia mengacu pada data United Nations Statistics Division tahun 2016 yang menyebut bahwa Indonesia menempati peringkat ke-empat dari 15 negara di dunia yang industri manufakturnya bisa memberikan kontribusi terhadap PDB lebih dari 10 persen.
Meski demikian, tentu saja Indonesia tak boleh berpuas diri. Penguatan industri dalam negeri, lanjutnya, harusnya bisa disokong oleh hilirisasi SDA dalam negeri.
Menurutnya, Indonesia sudah menuju ke arah tersebut. Ini dibuktikan dari kinerja sektor industri logam dasar yang membukukan pertumbuhan 10,6 persen secara tahunan di kuartal III kemarin.
Di samping itu, penguatan nilai industri dalam negeri juga perlu ditopang oleh investasi dan penguatan perdagangan antar negara. Ia berharap, kedua faktor tersebut bisa mencuat setelah Indonesia mengalami kenaikan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EODB) dari posisi 91 ke 72.
Yang terakhir, tentu saja paradigma mengenai sektor manufaktur harus diubah agar Indonesia bisa melahirkan sektor unggulan berdaya saing tinggi.
“Paradigma industri manufaktur global saat ini memandang proses produksi sebagai satu kesatuan antara proses praproduksi, produksi dan pascaproduksi. Oleh karena itu, kami sudah tidak bisa lagi melihat produksi hanya di pabrik saja,” paparnya.
(gir)