ANALISIS

'Meraba' Minat Masyarakat Investasi di Surat Utang Negara

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 27 Des 2017 13:28 WIB
Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) di tahun depan yang diperkirakan turun, dinilai bakal membuat masyarakat enggan berinvestasi pada produk tersebut.
Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) di tahun depan yang diperkirakan turun, dinilai bakal membuat masyarakat enggan berinvestasi pada produk tersebut. (REUTERS/Garry Lotulung)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan defisit masih akan diterapkan oleh pemerintah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.  Pasalnya, di tahun depan, belanja negara ditargetkan sebesar Rp2.220,7 triliun, sedangkan penerimaan negara hanya mampu menyumbang Rp1.894,7 triliun.

Dengan kata lain, pemerintah masih harus mengalami defisit anggaran sebesar Rp325,9 triliun, atau 2,19 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut kemudian harus ditutupi melalui pinjaman, antara lain dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Negara (SBN). 

Tahun depan, pemerintah rencananya akan menerbitkan SBN bruto sebesar Rp846,4 triliun. Penerbitan tersebut terdiri dari SBN domestik mencapai Rp582,1 triliun, SBN valuta asing seebsar Rp145,3 triiun, dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dengan jumlah Rp119 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peran masyarakat pun bakal ditingkatkan dengan meningkatkan peran investor ritel di dalam penerbitan SBN di tahun depan.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, SBN dilempar ke investor ritel sebesar 6 persen hingga 8 persen dari penerbitan bruto SBN, atau ada di kisaran Rp50,78 triliun hingga Rp67,71 triliun. Target ini sendiri lebih besar ketimbang target indikatif tahun ini yang ada di angka Rp40 triliun.

Untuk menghimpun pendanaan secara ritel, pemerintah berencana menjual SBN ritel secara daring (online). 

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Al Firman mengatakan, penjualan ini dimaksudkan agar investasi melalui SBN bisa lebih menjangkau masyarakat. Namun, karena masih dalam tahap uji coba, pemerintah baru berani menargetkan Rp1 triliun dari SBN secara online.

“Kami ingin memperluas cakupan investor. Memang jumlah (himpunannya) masih Rp1 triliun, karena ini masih trial. Tapi kami akan membuka lagi kalau makin banyak peminat,” ungkap Luky.

Namun, bercermin dari realisasi tahun ini, keinginan pemerintah tersebut nampaknya bakal sulit tercapai di tahun depan. Pasalnya, realisasi penerbitan SBN ritel hingga kini masih belum mencapai target.

Menurut data DJPPR Kemenkeu, penyerapan SBN ritel hanya berada di angka Rp22,98 triiun atau 57,45 persen dari target indikatif tahun ini, Sehingga, bisa jadi target pemerintah dalam menggaet investor ritel terlalu muluk-muluk. Apalagi, kondisi pasar SBN tahun ini diperkirakan masih sama di tahun depan.

Direktur Utama PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Salyadi Saputra menuturkan, ada kemungkinan imbal hasil obligasi pemerintah akan kembali menyempit tahun depan, seiring kenaikan peringkat yang diberikan oleh Fitch Ratings. Kenaikan peringkat menunjukkan kondisi makroekonomi Indonesia yang dianggap cenderung stabil, sehingga risiko yang tercermin oleh biaya kupon akan terus menipis.

Meski begitu, ia masih belum tahu berapa besaran penurunan imbal hasil SBN untuk tahun depan. Adapun berdasarkan data Kemenkeu, imbal hasil SBN terus menurun sebesar 145 basis poin secara tahunan (year-on-year) di kuartal III kemarin.

“Kami belum tahu seberapa terpengaruh imbal hasil pada obligasi negara dengan kenaikan investment grade,” kata Salyadi.

Dengan kondisi imbal hasil yang terus melorot, ada kecenderungan investor ritel tidak begitu tertarik untuk berinvestasi di obligasi pemerintah. Ini sebetulnya terbukti ketika pemerintah menerbitkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) seri 014 yang dirilis akhir September lalu. Dengan bunga kupon 5,85 persen, pemerintah hanya bisa mengisi pundi sebesar Rp8,9 triliun, atau masih jauh dari target indikatifnya yakni Rp20 triliun.

Padahal, di waktu-waktu sebelumnya, pemerintah sempat menghajar investor dengan bunga kupon 6,6 persen ketika merilis ORI 013 dan bahkan pernah memberikan kupon 9 persen untuk ORI 012.

Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, imbal hasil yang makin kecil membuat investor galau untuk menanamkan uangnya. Pasalnya, nilai yield dari obligasi pemerintah tak jauh beda dengan bunga deposito.

Adapun menurut Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) Bank Indonesia, saat ini rata-rata bunga deposito dengan masa satu tahun ada di angka 5,7 persen.

Meski yield yang ditawarkan beda tipis, namun investor ritel cenderung lebih suka berinvestasi di deposito karena sifatnya yang lebih likuid dibanding obligasi.

“Suku bunga deposito buat ritel masih menarik, karena sewaktu-waktu bisa dicairkan. Kalau SBN kan tiga tahun di-hold. Bagi investor ritel ,ini lebih nyaman. Memang yield-nya lebih kecil sediit, tapi bisa dicairkan,” jelas Lana.

Selain itu, ia juga sangsi bahwa strategi penjualan obligasi secara online bisa menggugah minat investor ritel. Sebab menurutnya, investor domestik masih belum melek akan investasi obligasi. Namun, kebijakan ini mungkin akan berhasil menggaet kaum millenial yang sudah paham akan pentingnya berinvestasi.

“Penjualan obligasi online tidak akan cukup menambah serapan SBN ritel. Tapi itu tidak apa-apa sebetulnya, karena biasanya yang melakukan segala sesuatu secara online adalah anak muda. Mungkin bisa menarik mereka,” paparnya.

Untuk itu, ia berkesimpulan bahwa minat investasi SBN ritel tahun depan akan serupa seperti tahun ini. Pemerintah pun dinilai perlu mengubah strategi portofolionya dengan memperkecil porsi ritel. Terlebih, pemerintah berencana akan mencari pendanaan awal tahun (front loading) yang cukup besar.

Lana bilang, pemerintah bisa mengalihkan porsi SBN yang tadinya disediakan untuk konsumsi global. Hal ini lantaran sentimen makroekonomi Indonesia justru mempan bagi investor-investor tersebut.

“Pemerintah juga sebenarnya bisa memperbaiki angka kupon SBN misal ke angka 7 persen. Tapi, kalau kupon naik, maka semua imbal hasil tentu akan naik. Lebih baik sebagian (porsi ritel) dilepas ke global, karena peringkat dari Fitch akan membantu yield SBN bertenor panjang, sementara yang bertenor pendek spread-nya akan turun,” pungkas Lana. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER