Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pemeringkat Efek Indonesia (
Pefindo) memperkirakan jumlah penerbitan
surat utang korporasi pada 2019 akan berada di kisaran Rp130 triliun hingga Rp170 triliun.
Proyeksi itu tak berbeda jauh dari ramalan sepanjang tahun ini yang diprediksi berkisar Rp120 triliun hingga Rp170 triliun. Namun nilai itu menyusut dari realisasi sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp183 triliun.
"Emiten-emiten dengan melihat biaya dana yang tinggi seperti sekarang akan memutar otak kira-kira sumber pendanaan yang cocok dengan sumber pendapatan mereka seperti apa," ujar Ekonom Pefindo Fikri C Permana dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (20/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penerbitan surat utang tersebut meliputi obligasi konvensional, sukuk, surat utang jangka menengah (MTN), hingga sekuritisasi.
Per akhir Agustus 2018, emisi surat utang nasional mencapai Rp99,1 triliun. Sebanyak Rp83,66 triliun merupakat surat utang yang diperingkat Pefindo.
Menurut Fikri, tingginya biaya dana (
cost of fund) masih menjadi tantangan bagi emiten. Hal itu dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebagai respons dari kondisi pasar keuangan global.
Di pasar obligasi, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun pada 2019 akan mencapai 8,6 persen atau naik dari proyeksi akhir tahun ini, 8,4 persen.
Tahun depan, tantangan masih berasal dari kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, dan isu perang dagang yang diikuti perang mata uang.
Risiko di negara berkembang masih tinggi, sehingga berpotensi mendorong aliran modal keluar.
"Untuk 2018, kami asumsikan (suku bunga BI) masih akan naik satu kali lagi sehingga pada akhir tahun suku bunga acuan BI akan ada di 5,75 persen," jelasnya.
Untuk menahan pembalikan arus modal, BI kemungkinan masih mengerek suku bunga acuan sebanyak dua kali tahun depan. Artinya, bunga acuan pada akhir 2019 bisa mencapai 6,25 persen.
Kondisi global juga membuat Pefindo memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya akan mentok di 5 persen, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 5,3 persen. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi hanya akan berada di kisaran 5,1 persen.
Secara fundamental, lanjut Fikri, perekonomian Indonesia sebenarnya masih lebih baik dibandingkan negara berkembang lain. Namun, Indonesia perlu mewaspadai sentimen di pasar keuangan jika negara berkembang mengalami krisis, seperti Turki dan Venezuela.
Dari sisi inflasi, tahun depan akan terjaga di level 3,0 persen, turun dari proyeksi sepanjang tahun ini, 3,2 persen.
Isu perang dagang akan mengubah rantai pasok dunia yang akan berdampak pada ekspor Indonesia. Selain itu, pertumbuhan ekonomi China, yang merupakan salah satu negara tujuan ekspor Indonesia, diperkirakan melambat.
Konsumsi masyarakat juga berpotensi melambat, karena pendapatan masyarakat berisiko menurun jika permintaan ekspor melambat.
Nilai Tukar Rupiah 'Perkasa'Dari sisi nilai tukar, Fikri memperkirakan bakal menguat di kisaran Rp14.400 hingga Rp14.500 per dolar AS mengingat kondisi nilai tukar saat ini masih di bawah nilai fundamental. Akhir tahun ini, rupiah berpotensi menguat hingga 14.700 per dolar AS.
Kendati demikian, volatilitas rupiah masih akan tinggi, bergerak di rentang volatilitas Rp14 ribu hingga Rp15 ribu per dolar AS.
Fikri memperkirakan permintaan dolar AS bakal meningkat pada Juni 2019, karena ada tuntutan untuk pembayaran dividen dan surat utang.
Di sisi lain, pelemahan rupiah terhadap dolar AS dapat berdampak positif pada ekspor domestik jika pelaku usaha berhasil memanfaatkan peluang yang ada.
Secara terpisah, Analis Rating Pefindo Danan Dito menilai kebutuhan pendanaan melalui surat utang sebenarnya masih besar untuk ekspansi maupun untuk membayar kembali utang jatuh tempo perusahaan (
refinancing).
Namun, saat kondisi global masih penuh gejolak, investor cenderung berhati-hati berinvestasi. Akibatnya, perusahaan akan menghitung dengan cermat kebutuhan penerbitan surat utang mempertimbangkan tren biaya dan margin yang tinggi.
"Perusahaan akan memikirkan apakah akan mengambil permintaan yang preminya tinggi itu atau menahan untuk ekspansi," ujarnya
(sfr/lav)