Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai mayoritas konsumen tidak membaca syarat dan ketentuan sebelum melakukan transaksi digital di financial technology (fintech). Kondisi ini menimbulkan risiko bagi konsumen jika terjadi permasalahan nantinya.
"Masyarakat ketika bertransaksi dengan fintech itu sebetulnya belum baca dengan detail tentang syarat dan ketentuan yang berlaku. Kalau tidak ada masalah oke saja, tapi kalau ada masalah ternyata syaratnya memang begitu, sementara konsumen tidak atau belum baca syarat dan ketentuan yang berlaku dalam kontrak perjanjian," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam acara Fintech Talk, Selasa (17/11).
Tulus menuturkan YLKI sudah mengusulkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengkaji standardisasi pada syarat dan ketentuan dalam transaksi fintech. Tujuannya, agar tidak merugikan pihak konsumen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, kerap kali fintech memasukkan ketentuan yang bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maupun produk hukum lainnya.
Risiko kerugian bagi konsumen ini meningkat terutama disebabkan konsumen tidak membaca secara detail syarat dan ketentuan tersebut.
"Dalam perjanjian standar itu ada kadang kala ditemukan klausul yang baku yang sangat merugikan konsumen, ini yang kami minta kepada OJK berkali-kali dan BI bisa melakukan itu juga, agar standar dalam sektor finansial itu direview (dikaji), termasuk di fintech," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina mengamini jika mengkomunikasikan syarat dan ketentuan tersebut merupakan salah satu upaya peningkatan transparansi pembayaran.
Komunikasi tersebut hendaknya memperhatikan tingkat literasi digital konsumen Indonesia yang belum terlalu baik, misalnya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
"Apalagi di Indonesia tantangan khususnya di daerah menjadi tantangan karena di daerah banyak menggunakan bahasa daerah," katanya.
Pandemi Dorong Fintech
Siti menuturkan perlindungan pada konsumen fintech hendaknya ditingkatkan, khususnya fintech pembayaran (payment). Pasalnya, ia memperkirakan penggunaan teknologi pembayaran digital itu semakin berkembang ke depannya, khususnya karena pandemi covid-19.
Fintech pembayaran sendiri mendominasi jenis fintech di Indonesia, yakni sebesar 13 persen.
"Kehadiran fintech pembayaran makin relevan karena pandemi ada pembatasan fisik yang dulunya belum ada kegiatan transaksi digital karena pembatasan fisik menjadi mencoba fintech, yang dulu tidak sering sekarang karena pandemi jadi sering," kata Siti.
Selain itu, fintech memiliki potensi untuk menyentuh sektor yang tidak terangkul perbankan. Di sisi lain, data BPS yang menyebutkan jika 84 persen bisnis di Indonesia didominasi oleh UMKM pada 2019, sehingga menjadi pasar yang menjanjikan bagi fintech.
"Tentunya prospek ke depan semakin positif untuk fintech pembayaran, ditambah juga dukungan regulasi," katanya.
(ulf/bir)