Pangsa pasar keuangan syariah di Indonesia memang masih imut-imut. Namun, banyak kalangan percaya prospeknya di Tanah Air akan terus berkembang.
Lihatlah, dengan penetrasi pasar yang saat ini masih rendah saja, Islamic Finance Development Indicator (IFDI) sudah menempatkan industri keuangan syariah RI di posisi kedua dunia.
Posisi tersebut naik dari 2019 di peringkat keempat dunia, menggeser Bahrain dan Arab Saudi.Bahkan, meski terjadi tren penurunan kinerja industri keuangan di tengah pandemi corona, beberapa instrumen keuangan syariah tetap mencatatkan pertumbuhan positif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asuransi SyariahLantas apa saja instrumen keuangan syariah yang ada di Indonesia? Apa bedanya dengan instrumen konvensional dan apa pula kekurangan kelebihannya? Berikut ulasannya:
Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Muhammad Syakir Sula menerangkan secara prinsip ada tiga hal dalam asuransi konvensional yang tidak diperbolehkan dalam syariat Islam.
Pertama, karena alasan gharar, yakni transaksi meragukan, spekulatif atau dalam hal ini menyebabkan ketidakjelasan dari jumlah atau premi yang dibayarkan.
Kedua, alasan maisir atau transaksi dalam bentuk permainan atau gambling. Ketiga, karena alasan riba, yaitu tambahan atas pokok atau bunga.
"Ketiga hal tersebut yang oleh ulama tidak boleh karena itu di luar fatwa. Karena itu, asuransi konvensional tidak dibolehkan dalam Islam," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (31/12).
Selain itu, asuransi syariah harus menggunakan akad atau perjanjian tertulis, yakni tabarru' dan akad Tijarah, seperti wakalah bil ujrah, mudharabah musytarokah, dan wakaf.
Sedangkan akad yang digunakan asuransi konvensional mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan tidak terbatas pada halal dan haramnya objek atau sistem investasi yang digunakan."Intinya dari akad ini, supaya ketiga prinsip konvensional yang disebutkan sebelumnya tidak ada dan menjadi lebih jelas," imbuhnya.
Secara garis besar, asuransi konvensional memiliki misi utama untuk sosial, sedang asuransi syariah memiliki misi Aqidah, misi ibadah (Ta'awun), misi ekonomi (iqtishad) dan misi pemberdayaan umat (sosial).
Meski demikian, menurut Syakir, kelebihan dan kekurangan antara asuransi syariah dan konvensional di luar urusan agama, hanya terletak pada sistem manajerialnya. Sehingga, meski bebas dari riba, belum tentu pelayanan asuransi syariah lebih baik dari konvensional.
"Boleh jadi konvensional pelayanannya lebih bagus karena modal besar, sedangkan ada asuransi syariah yang masih kecil, modalnya kecil sehingga pelayanannya kurang bagus," imbuhnya.
Namun, ada satu produk asuransi syariah yang tak ada di asuransi konvensional, yakni asuransi wakaf. Hal ini dapat dianggap sebagai kelebihan. Sebab dapat memudahkan umat Islam untuk berwakaf dengan cara mencicil.
"Ada orang mau wakaf dia tidak punya uang banyak. Nah salah satu cara dia adalah lewat asuransi. Misalnya saya mau wakaf Rp10 juta, saya bisa cicil dari gaji saya Rp 1 juta. Nanti sepuluh tahun baru diwakafkan. Kalau dia meninggal di tahun ke dua, wakafnya tetap diberikan," jelasnya.
Surat Berharga Negara (SBN) atau obligasi pemerintah menjadi salah satu instrumen yang cukup banyak digemari investor dari dalam negeri.
Jika dikelola secara konvensional, instrumen investasi ini kerap disebut surat utang. Namun, ada juga obligasi syariah atau surat berharga syariah negara (SBSN) atau yang dikenal sebagai sukuk.
Sukuk merupakan cerminan kepemilikan aset berwujud yang disewakan atau akan disewakan dan bukan berupa surat utang.
"Jadi yang syariah underlying asetnya negara, misalnya kantor kementerian, jadi harus ada jaminannya. Kalau ada SBN konvensional kan enggak perlu. Jadi kalau di syariah ada yang bisa dieksekusi asetnya itu simpelnya," terang Syakir.
Pada sukuk, imbal hasil yang diberikan adalah berupa uang sewa (ujrah) atau bagi hasil dengan persentase tertentu sesuai dengan prinsip syariah Islam yang tidak mengandung unsur riba.
Hal ini berbeda dengan obligasi konvensional yang memberikan keuntungan berupa bunga.
"Kalau di SBSN itu mekanisme yang digunakan itu bagi hasil sedangkan yang konvensional bunga. Itu kan enggak boleh," tuturnya.
Sama seperti asuransi, kelebihan dan kekurangan investasi SBSN atau sukuk dengan konvensional terletak pada masalah manajerial. Namun, sambung Syakir, pada periode awal SBSN ritel diperkenalkan kepada publik, bunganya sempat lebih tinggi dibandingkan instrumen investasi lain seperti deposit.
"Dulu ketika baru keluar saya sempat beli itu karena lebih tinggi hasilnya dibanding bank. Dalam satu tahun itu sempat 12 persen. Bandingkan dengan bank yang satu tahun 11 persen atau lebih," ucapnya
Selain itu, kelebihan SBSN dan sukuk lantaran terdapat pernyataan halal atau kesesuaian syariah dari DSN MUI.