Pemerintah mengungkapkan realisasi pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) Katoda Tembaga milik PT Freeport Indonesia baru mencapai 5,86 persen dari target awal 10,5 persen pada akhir 2020. Begitu juga dengan pembangunan smelter Precious Metal Refinery (PMR) baru mencapai 9,79 persen dari target 14,29 persen pada tahun ini.
Kendati begitu, pemerintah ingin smelter tetap selesai penuh sesuai target pada 2023 mendatang.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan realisasi pembangunan smelter meleset dari target karena terganggu pandemi virus corona atau covid-19. Hal ini membuat Freeport harus menyesuaikan rencana pembangunan smelter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perkembangan ini memang bergeser sedikit dari rencana semula akibat kondisi pandemi covid-19," ungkap Ridwan saat konferensi capaian akhir tahun secara virtual bersama awak media, Jumat (15/1).
Kendati begitu, sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), pemerintah ingin target pembangunan smelter tetap dikejar semaksimal mungkin agar bisa selesai pada tiga tahun ini.
"Kami sadar dunia belum seindah 100 persen seperti yang kita harapkan, kalau ada kendala akan kami pertimbangkan. Namun sekali lagi target selesai tetap 2023. Namun jika ada hal-hal di perjalanan tentu kita tidak menutup mata," ujarnya.
Ridwan mengatakan itu dilakukan bukan semata-mata pemerintah akan langsung melonggarkan target pembangunan. Bukan pula berencana menjatuhkan hukuman kepada Freeport dan badan usaha lain.
"Target kita bukan untuk menghukum, bukan untuk menggagalkan, target kita adalah membangun smelter, fokus di situ," tuturnya.
Di sisi lain, Ridwan menyatakan Freeport telah menyampaikan rencana pembangunan smelter dengan perusahaan lain. Hal ini menurutnya sah-sah saja.
Peraturan, katanya, membolehkan smelter dibangun sendiri maupun dengan kerja sama. Namun, belum diungkap rinci rencana itu.
Sementara secara rinci, pembangunan smelter Katoda Tembaga menyerap biaya sebanyak US$159,92 juta. Sedangkan pembangunan smelter PMR menyerap biaya US$19,8 juta.
Secara keseluruhan, Kementerian ESDM mencatat pembangunan smelter yang selesai pada tahun lalu hanya satu smelter. Namun, mereka tak mengungkap perusahaan yang berhasil melakukannya.
Dengan penyelesaian itu, jumlah smelter mencapai 19 unit pada 2020.
Pemerintah menargetkan ada 4 smelter baru yang akan terbangun pada 2021. Target naik menjadi 28 smelter pada 2022 dan 53 smelter pada 2023.
Bersamaan dengan rencana pembangunan smelter, pemerintah mencatat nilai investasi pembangunan smelter yang ada di tanah air akan mencapai US$21,59 juta.
Estimasi ini berasal dari investasi smelter nikel US$8 juta, bauksit US$8,64 juta, besi US$193,9 ribu, tembaga US$4,69 juta, mangan US$23,9 ribu, serta timbal dan seng US$28,8 ribu. Namun, realisasi investasi smelter yang sudah masuk baru mencapai US$12,06 miliar sampai semester I 2020.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengungkapkan 4 smelter yang direncanakan pada 2021 terdiri dari 3 smelter nikel dan 1 smelter timbal.
Smelter nikel akan dibangun PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam di Tanjung Buli, PT CMMI di Cikande, Cilegon, dan smelter dari PT SNI di Cilegon.
Sedangkan smelter timbal akan dibangun PT Kapuas Prima Coal.
"Jadi total ada empat smelter," kata Yunus pada kesempatan yang sama.
Ridwan turut memaparkan bahwa pemerintah berhasil mereklamasi lahan bekas tambang sebanyak 7.000 hektare pada 2020. Itu sesuai dengan target yang mereka tetapkan.
Kendati begitu, realisasi ini merosot dari tahun lalu yang mencapai 8.296 ha. Namun, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu 6.950 ha pada 2018, 6.808 ha pada 2017, dan 6.876 ha pada 2016.
Sementara pada 2021, Kementerian ESDM menargetkan reklamasi lahan bekas tambang akan mencapai 7.025 ha. Ridwan mengklaim hal ini merupakan salah satu kebijakan dalam rangka memberi dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah juga memberikan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dengan sumbangan Rp1,5 triliun pada 2020. Manfaat ini turun separuh dari realisasi tahun lalu mencapai Rp3,01 triliun karena pandemi covid-19.
"Namun kami terus memberikan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di aspek lain, seperti pendidikan, kesehatan, tingkat pendapatan riil, kemandirian ekonomi, sosial budaya, pembentukan kelembagaan komunitas, pembangunan infrastruktur yang menunjang, dan lainnya," pungkasnya.
(uli/agt)