Pemerintah juga kembali melarang mudik pada Lebaran tahun ini. Alhasil, perputaran dana akan lebih terbatas di kota-kota besar saja.
"Kalau tidak mudik juga orang kan mengurangi belanja. Tidak bisa dongkrak daya beli tinggi karena tidak ada salurannya. Orang mungkin akan belanja, tapi tidak sebanyak kalau mereka mudik," terang Tauhid.
Oleh karena itu, ia heran dengan target Jokowi yang begitu optimistis. Tauhid beranggapan mimpi Jokowi sulit tercapai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"7 persen tidak realistis, sumbernya dari mana," imbuh Tauhid.
Tauhid menjelaskan daya beli yang belum pulih ini terlihat dari tingkat inflasi yang masih di bawah 2 persen pada bulan lalu. Tercatat, inflasi hanya sebesar 1,43 persen pada April 2021 secara year on year (yoy).
"April ini daya beli rendah, inflasi 1,43 persen. Harusnya kalau sudah normal itu di atas 2 persen. Tapi April saja masih 1 persenan, ini artinya belum gerak," jelas Tauhid.
Ia berpendapat bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah juga kurang 'nendang' bagi masyarakat yang terdampak pandemi covid-19. Jumlah yang diberikan tak setara dengan yang dibutuhkan masyarakat.
"Jadi dampak covid-19 lebih tinggi daripada bantuan sosial yang diberikan pemerintah, makanya konsumsi makanan tetap minus. Seharusnya bentuk dan nilai bantuan berbeda-beda," ucap Tauhid.
Pemerintah sebaiknya lebih realistis. Ekonomi memang sudah mulai masuk fase pemulihan.
Tapi harus ada proses yang harus dilalui. Pemerintah juga masih harus mengantisipasi lonjakan kasus covid-19 seperti yang terjadi di India dan Malaysia.
"Sepanjang covid-19 belum tertangani, trennya (ekonomi) tetap rendah. Ini ancaman kalau ada serangan dari varian covid-19 baru," katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus melihat lagi postur APBN 2021. Menurut Tauhid, pola belanja pemerintah belum menunjukkan bahwa negara sedang menghadapi covid-19.
"Belanja modal masih paling kecil, harusnya belanja modal naik untuk membuka lapangan pekerjaan. Sekarang yang banyak justru belanja pegawai, itu efek bergandanya kecil," kata Tauhid.
Di sisi lain, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal berpendapat target ekonomi 7 persen bukanlah hanya angan-angan semata. Senada dengan Tauhid, secara matematika, Fithra menilai hal itu bisa tercapai karena PDB ADHK kuartal II 2020 terbilang sangat rendah.
"Kemungkinan tercapai 7 persen cukup besar karena kuartal II 2020 ini kan berangkat dari low based. Jadi kalau dibandingkan dengan kuartal II 2021 maka ada kemungkinan target tercapai," ucap Fithra.
Lagipula, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2021 masih sesuai dengan penilaian pasar. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi periode Januari-Maret 2021.
Kemudian, PMI manufaktur RI juga terus naik ke level 54,6 per April 2021. Dampak kenaikan PMI akan terasa pada kuartal II 2021.
"Performa PMI tidak terlihat pada kuartal I, tapi bisa terlihat pada kuartal II," kata Fithra.
Meski potensi ekonomi tembus 7 persen terbuka lebar, tapi Fithra menilai pemerintah tetap harus mendorong konsumsi, khususnya untuk kelas menengah atas. Pasalnya, konsumsi rumah tangga akan bergantung pada pola konsumsi kelas menengah atas.
"Proporsi konsumsi yang dominan adalah kelas menengah atas, ini yang harus didorong. Kelas ini menguasai 50 persen dari total konsumsi," jelas Fithra.