Jakarta, CNN Indonesia -- Mutofik Sultoni, atau yang lebih dikenal dengan chef Muto pernah dimarahi orang tuanya ketika sedang membantu memasak. Bukannya membantu, Muto kecil malah merusak masakan orang tuanya.
"Pak, saya bantu masak ya," kata Muto menawarkan bantuan dan disambut baik oleh ayahnya. Saat itu sang ayah sedang menanak nasi di atas tungku dengan kayu bakar.
"Masakan nasinya saya buka, saya ambil centong, saya ambil abu," ujar Muto bercerita pada CNN Indonesia. "Abunya saya taruh di nasi, saya aduk-aduk. Hahaha.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya tak ada niat Muto untuk merusak masakan orang tuanya. Menurutnya, memberi abu itu sama dengan memberi bumbu. "Itu umur 8 tahun saya sudah aduk-aduk nasi plus abu kayu," katanya bercerita.
Menekuni profesi sebagai chef sebenarnya tak pernah terlintas sama sekali di benak Muto. Ia justru bercita-cita menjadi polisi atau tentara. Kedua profesi itu di mata Muto bakal membuatnya terlihat gagah.
"Aku pengin banget seperti itulah. Kelihatannya gagah. Karena waktu kecil ngeliat polisi keren, marinir keren," kata laki-laki asal Tegal itu.
Bagi Muto, jalan menuju cita-citanya itu tidaklah mudah. Ia pernah mengikuti tes masuk sekolah kepolisian di Purwokerto, tapi gagal. Berbekal semangat dan keyakinan ia pun mencoba mewujudkan impiannya menjadi nyata.
Hijrah dari kampung halamannya, Muto pergi bersama sang kakak ke ibukota. Tapi bukan untuk bekerja. Muto berencana ingin mendaftar menjadi marinir.
Akhirnya Muto pun berhasil masuk ke sekolah marinir. Namun, semacam semesta tak mendukung, rasanya ia tak berjodoh dengan profesi yang dicita-citakannya itu.
"Aku masuk marinir delapan bulan. Berangkat pendidikan ke Malang. Pas mau belajar nembak malamnya aku sakit. Akhirnya dipulangin ke Jakarta."
Punya cita-cita namun selalu gagal meraihnya, mungkin membuat ia sedikit kecewa. Untungnya hal ini tak sampai membuat ia putus asa. Muto terus berusaha mencari yang terbaik dalam hidupnya.
Rupanya kegagalannya itu justru mengarahkannya pada nasib yang sekarang ini. Ia berhasil menjadi chef, meniti karier di luar negeri, bahkan mengisi program di televisi, berkat tidak berjodohnya Muto dengan profesi polisi dan marinir.
Tapi, menjadi chef bagi Muto tidaklah instan. Ada tahap-tahap yang harus ia lewati sebelumnya.
"Waktu di marinir banyak kenalan kerja di catering. Banyak chef, tukang masak. Aku kenalan mereka pada buka restoran aku ikut. Awalnya jadi tukang cuci piring," kata Muto berkisah.
Muto kemudian melanjutkan ceritanya. Baru satu minggu kerja, pemilik restoran melihat potensinya. Menurut sang bos, Muto tidak cocok bekerja sebagai tukang cuci piring. "Baru satu minggu kerja, owner ngeliat enggak cocok. 'Kamu jadi waiters saja'," ujarnya.
"Akhirnya aku belajar jadi waiters dengan teknis Bahasa Inggris mulai dari greeting tamu, minta bill. Sampai saya juga belajar bartender, akunting manajemen," kata laki-laki kelahiran 25 November 1979.
Semakin lama pengetahuan Muto tentang dapur pun semakin tebal. "Kalau manajemennya mentok sampai asisten manager," ujarnya. Berkat pengetahuannya itulah ia didaulat untuk menjadi chef.
Ditawarkan posisi yang lebih tinggi ternyata tak membuat Muto menerimanya dengan mudah. Ia pun jelas-jelas menolak. "Aku diangkat jadi chef tapi aku nolak karena melihat mereka pekerjaannya panas. Apalagi ada isu kalau kerja di dapur mandul," kata Muto.
Ia juga tak menyukai lingkungan chef yang menurutnya kotor. Muto juga takut penampilannya tak menarik lagi akibat berprofesi sebagai chef sementara saat itu ia sudah merasa keren dengan jabatannya sebagai asisten manager. "Terus kotor, ya gitu penampilannya kurang menarik."
Sejak bekerja di restoran, mau tak mau Muto memang harus paham tentang dapur. Tak heran jika ia memiliki banyak pengetahuan tentang masak-memasak yang akhirnya membuat ia suka memasak.
Cerita tentang penawaran menjadi chef yang pernah ditolaknya, sebenarnya berawal dari sebuah kejadian. Kala itu ia bekerja di Cafe Jimbaran Bali.
"Waktu itu chefnya lagi enggak ada. Lagi istirahat semua. Di saat mereka istirahat, orderan datang, saya masak," kata Muto. Untungnya saat itu Muto sedikit banyak sudah menguasai masakan. "Nah, kebetulan masakannya disukai sama mereka," ujarnya. "Tapi diangkat jadi chef aku menolak karena aku enggak suka masak waktu itu."
Sampai tiba saatnya Muto dikirim ke luar negeri untuk bekerja di sebuah Resort Hotel bernama Ela Quality di Turki. Di sana ia semakin mendalami ilmunya.
Bahkan katanya, masakan Muto sampai disukai oleh salah satu menteri di sana. Di sana pulalah Muto mendapat gelar chef.
"Sebenarnya saya enggak menunjukkan kalau saya chef. Julukan chef itu mereka yang menilai karena saya dulu saya menciptakan menu baru," kata Muto bercerita. "Siapapun yang bisa menciptakan menu baru itulah chef. Siapapun," tegasnya.
Chef Muto memang tergolong chef yang memiliki kemampuan yang unik. Aksi memasaknya selalui dipenuhi atraksi juggling. Mulai dari juggling shaker (tempat lada yang terbuat dari kayu) sampai pisau juga pernah ia lakukan.
"Aku ngambil jalur berbeda dengan chef yang lain. Di samping mendalami resepnya aku juga mendalami attractive-nya,” kata Muto.
Sebenarnya Muto juga tak mempunyai kemampuan juggling. Semua berawal ketika ia bekerja di sebuah restoran Jepang bernama Konomi Tepanyakki.
Ia melihat chef di restoran itu begitu lincah memainkan shaker. "Saya lihat kayu dua ini apa kok dilempar-lempar? Akhirnya dia ngasih teori lempar ke depan, lempar ke belakang."
Saking penasaran dengan juggling shaker ini, Muto sampai tekun berlatih di rumah. "Saya colong (shaker) bawa ke rumah. Setiap malam saya belajar tanpa sepengetahuan chefnya," ujar Muto.
Berkat usahanya itu, keberhasilan pun datang menghampiri Muto. Ia menjadi lihai memainkan shaker. Bahkan sang chef panutannya itu sampai terheran-heran. "Begitu tampil masak saya udah lihai. Dia kira kalau saya sudah jago sebelum di situ."
Tahun 2006 kemampuan juggling Muto pun semakin baik. Ia bahkan didaulat menjadi trainer untuk para pemula. "Saya ngedidik anak buat juggling shaker," kata Muto.
Semakin lama kemampuan Muto pun semakin bertambah. Mulai tahun 2008 ia menggunakan benda lain selain shaker. "Tahun 2008 mix pisau, telur, mangkok, api. Semuanya saya mix.”
Muto mengaku senang melakukan atraksi dengan alat dan bahan masakannya ketika memasak. Menurutnya itu bisa menghibur para pengunjung. Apalagi jika konsep restorannya open kitchen. "Kalau masak saja mereka pasti akan bete melihat. Saya mix dengan attractive juggling," kata laki-laki yang logat bicara Jawa-nya masih sangat kental itu.
Bahkan tak jarang ia sampai melakukan sulap, demi menghibur pengunjungnya. "Kalau sulap beli alatnya, terus dikasih tahu kan triknya."