Jakarta, CNN Indonesia -- Merokok di Indonesia bukan hanya sekadar menjadi kegiatan segelintir orang. Bahkan menurut data jumlah perokok yang dikeluarkan Litbang Kemenkes pada 2003, jumlah perokok berusia 15 tahun ke atas terus meningkat. Pada 2003, sebesar 36,3 persen dari penduduk Indonesia, atau sekitar lebih dari 79 juta jiwa (dengan asumsi jumlah penduduk saat itu 220 juta jiwa) adalah perokok aktif.
Jumlah yang fantastis tersebut menjadikan Indonesia menjadi negara dengan perokok yang masif di Asia Tenggara. Dengan jumlah perokok puluhan juta tersebut, hanya segolongan tempat yang menawarkan proses penyembuhan dari adiksi batang berisi tembakau tersebut.
Salah satunya adalah Klinik Berhenti Merokok (KBM) yang dimiliki oleh Rumah Sakit Persahabatan (RSP) Jakarta. Dalam nuansa No Tobacco Day 2015 ini, CNN Indonesia berkesempatan mengenal KBM RSP lebih lanjut dari kepala KBM RSP, dr. Feni Fitriani Taufik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KBM RSP tadinya hanya berupa bentuk konseling yang ditawarkan oleh poli asma RS Persahabatan sejak awal 2000-an kepada para perokok yang ingin berhenti mengisap batang beracun tersebut. Namun, fakta yang dihadapi adalah jumlah para peserta konseling berhenti merokok tersebut semakin menurun hingga akhirnya mati suri.
"Awalnya banyak yang datang, tapi kemudian makin menurun karena merasa cuma ngobrol-ngobrol semata, hingga akhirnya pada 2008 dibuka kembali dengan konsep yang berbeda," kata Feni ketika ditemui di Gedung Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia, Depok, Kamis (28/5).
Belajar dari pengalaman sebelumnya, KBM RSP menerapkan konsep holistik dalam penanganan perokok mulai dari pemula hingga yang sudah kecanduan dan menghasilkan penyakit. Konsep tersebut didukung dengan tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu kesehatan yang sudah terlatih dan siap sedia menangani para perokok akut.
Berbagai program ditawarkan oleh klinik yang memiliki biaya rata-rata Rp 250 ribu per kunjungan tersebut. Mulai dari konseling dengan dokter yang ahli, penyediaan obat-obatan khusus, terapi perilaku, hingga hipnoterapi kepada para pasien.
Bukan cuma dokter yang menangani keahlian di bidang pernapasan dan paru-paru, namun juga menyertakan ahli gigi hingga ahli gizi guna menggenapkan konsep penyembuhan dari rokok. Total, ada sembilan dokter yang bergabung dalam klinik ini. Dalam proses pemberhentian dari kebiasaan merokok, menurut Feni yang terpenting adalah penguatan sang perokok saat mengalami fase 'sakaw' yang diistilahkan oleh tim KBM RSP dengan withdrawal effects.
Fase seorang perokok yang tadinya mengalami kecanduan hingga akhirnya mencoba menarik diri dari kebiasaan tersebut tidaklah mudah dijalani. Tubuh sang perokok akan mengalami perubahan drastis baik secara fisik maupun psikologis.
"Ketika perokok mengalami fase 'sakaw', yang terpenting adalah diketahui, dibimbing, dan diatasi bersama. Bukannya justru karena sedang mengalami sakaw, lalu diberikan rokok," kata Feni.
Proses 'sakaw' yang dialami seorang perokok merupakan dampak dari terputusnya pasokan nikotin pada otak. Perasaan yang muncul dapat berupa cemas, berdebar-debar, gelisah, hingga tidak dapat tidur. Kondisi inilah yang membuat merokok sulit sekali dihilangkan.
Ketika seseorang mengisap rokok yang mengandung nikotin, maka nikotin yang terserap dalam darah akan terbawa hingga ke otak. Di dalam otak, nikotin akan ditangkap oleh sebuah reseptor yang kemudian merangsang pelepasan dopamin, yaitu zat yang menimbulkan efek perasaan nyaman.
Namun ketika seseorang berhenti mengonsumsi nikotin, maka reseptor tersebut akan kekurangan bahan guna otak menghasilkan dopamin. Karena kekurangan dopamin, maka efek yang ditimbulkan adalah perasaan gelisah dan muncul rasa untuk kembali mengisap rokok guna mendapatkan nikotin kembali.
"Perokok reguler akan meningkatkan reseptor ini hingga 300 persen, semakin besar adiksi ke nikotin, maka gejala sakaw akan semakin besar," kata Feni. Sudah bergabung dengan KBM RSP sejak 2009, banyak pasien yang sudah ditangani oleh Feni dan kawan-kawan. Klinik yang didatangi oleh perokok usia produktif, yaitu 20 hingga 50 tahun ini tidak banyak dilirik oleh para perokok.
"Bulan ini kami ada delapan pasien baru, biasanya empat hingga enam pasien per bulan," kata Feni.
Minimnya jumlah perokok yang datang untuk bertobat ini diakui Feni disebabkan beberapa faktor, seperti minimnya kesadaran akan bahaya merokok, biaya yang tidak murah, dan juga pengobatan ini belum dibantu oleh jasa asuransi apapun.
Kurangnya kesadaran dirasakan Feni ketika mengobati seorang suami yang dipaksa oleh istrinya untuk datang ke klinik guna mengobati kebiasaan buruk sang suaminya. Bukannya sang suami yang tersembuhkan, justru pasangan tersebut malah bertengkar di depan Feni yang kemudian diakhiri dengan perginya sang suami dari klinik tersebut.
"Paling penting itu adalah niat, kalau sudah tidak ada niat berhenti ya susah," kata Feni.
Namun Klinik Berhenti Merokok ini menjanjikan kesembuhan dengan penuh yang pernah mereka uji sendiri. Dalam sebuah uji internal pada 2009 pada 18 pasien yang diterapkan seluruh konsep penyembuhan dari klinik, hasil menunjukkan 100 persen pasien sembuh dari ketergantungan merokok.
Penelitian internal yang dilaksanakan tiga bulan tersebut mencapai hasil maksimal lantaran turut menyertakan tindak lanjut pasca pemberian terapi. Dengan pengawasan berkala, maka akan lebih dapat terlihat kesuksesan dari terapi yang diberikan.
"Permasalahannya, kami kurang tenaga untuk follow up setelah terapi, jadi sekarang rata-rata keberhasilan 50 hingga 60 persen." kata Feni.
Kegagalan pun pernah dirasakan Feni dan kawan-kawan di klinik ini. Klinik dengan pasien berupa 90 persen laki-laki tersebut pernah memiliki pasien yang sudah diberikan terapi, namun tiga bulan setelahnya ternyata kembali pada batang rokok.
Tantangan bagi para tim ini untuk menghadapi berbagai kondisi dari pasien. Mulai dari menghadapi remaja ABG labil hingga harus menjadi saksi pertengkaran suami istri gara-gara rokok.