-- Terik matahari dengan semilir angin sejuk menyambut kedatangan saya di Gimhae International Airport,
pada pertengahan Oktober lalu.
Oktober menjadi salah satu bulan terbaik untuk mengunjungi kota terpadat kedua di Korea Selatan setelah Seoul tersebut. Selain karena cuaca yang menyenangkan, Busan juga menjadi pusat industri perfilman dunia pada bulan tersebut.
akan selalu diselenggarakan Oktober setiap tahun. Ragam film mancanegara termasuk Indonesia bisa disaksikan secara bebas oleh masyarakat. Satu tiket dijual 7 ribu won atau sekitar Rp84 ribu (kurs 1 won = Rp12).
Antusiasme masyarakat jelas terlihat untuk festival film terbesar di Asia tersebut. Saya sempat ikut 'peperangan' untuk tiket screening dan red carpet pembukaan. Namun, tiket tersebut langsung habis hanya dalam tiga menit.
Tak hanya itu, bukan hal mudah untuk mendapatkan tiket film-film yang ditayangkan di acara tersebut.
Tahun ini, Busan International Film Festival menayangkan 299 film dari 85 negara. Meski terkesan banyak, jumlah peminat film jauh lebih banyak lagi. Sedikit sulit jika membeli tiket film yang hendak ditonton pada hari yang sama.
Penjaga loket tiket pun menyarankan agar membeli tiket satu hari sebelum film ditayangkan. Pengunjung bisa mengambil buku panduan secara cuma-cuma hampir di setiap sudut lokasi Busan International Film Festival.
Acara utama diselenggarakan di kawasan Haeudae-gu. Namun, festival tahunan tersebut juga digelar di BIFF Square Nampo-dong, lokasi awal festival film tahunan tersebut. Di sana, masyarakat bisa menikmati penayangan film-film lawas secara cuma-cuma.
Tak hanya itu, Nampo-dong juga memiliki 'Walk of Fame' layaknya di Hollywood atau yang dikenal dengan Star Street. Di sepanjang jalan banyak terdapat tanda tangan pelaku industri film dunia.
Nampo-dong dan Jagalchi MarketBanyak hal bisa dilakukan di Nampo-dong selain melihat-lihat Star Street dan menonton film gratis. Jika Seoul memiliki Dongdaemun, Namdaemun, Hongdae, serta Myeongdong untuk berbelanja, Busan memiliki Nampo-dong.
Di kawasan tersebut, tersebar toko pakaian, skincare, make up untuk berbelanja. Restoran dan jajanan juga berjejer di pinggir jalan.
Tak hanya itu, hanya dengan beberapa langkah dari sana, pengunjung bisa mengunjungi Jagalchi Market, pasar ikan yang tak bisa dilewatkan ketika berkunjung ke Busan.
Hanya dipisah dengan ruas jalan, suasana hingar bingar BIFF Square langsung berubah dengan keramaian ala pasar. Jalan penuh bintang di Nampo-dong tak akan terlihat di Jagalchi Market.
Seperti di Indonesia, jalanan di Pasar Jagalchi terlihat becek dan penuh lubang. Bau amis pun tercium di pasar ikan terbesar Korea Selatan tersebut.
Teriakan para penjual ikan dan penjaja makanan terdengar di sepanjang jalan. Tak hanya itu, alunan musik trot pun turut meramaikan suasana pasar Jagalchi.
Jagalchi Market merupakan tempat yang tak boleh dilewatkan penggemar makanan laut. Mulai dari pintu masuk hingga belakang, pengunjung bisa memilih langsung olahan laut yang ingin dimakan.
Mulai dari ikan, udang, belut, kepiting, lobster segar yang bisa dipilih dan dimasak langsung di lokasi. Harganya pun beragam. Namun, makanan rata-rata dijual mulai dari 15 ribu won atau sekitar Rp180 ribu.
Jika belum puas mengeksplorasi makanan olahan laut di pinggir jalan, pengunjung bisa masuk ke gedung utama Jagalchi Market. Ketika masuk, saya merasakan berada di dunia yang berbeda.
Bangunan lebih dari tiga lantai tersebut ramai dengan teriakan para penjual makanan, lantai yang licin dengan air, gang-gang sempit di mana penjual berlalu lalang sambil membawa makanan.
 Makan seafood segar di Jagalchi Market. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Menu serta harga makanan serupa seperti dengan yang di pinggir jalan. Sehingga, semua hanya tinggal selera pengunjung ingin menyantap seafood di dalam atau luar ruangan.
Hanya satu saran sebelum menikmati makanan di Jagalchi Market, biasakan untuk bertanya terlebih dahulu harga makanan. Sebab, seorang teman bercerita kepada saya, apabila kurang beruntung, turis bisa bertemu dengan penjual 'usil' yang menggetok harga makanan.
Selain seafood, fishcake atau omuk menjadi salah satu makanan yang harus disantap selama berada di Busan. Omuk memang bisa ditemukan di seluruh kota Korea Selatan. Namun, omuk di Busan terasa lebih segar dan ringan dibandingkan kota-kota lainnya.
Penyajiannya pun sedikit berbeda. Banyak penjual omuk di Busan yang menyajikannya dengan botol semprotan berisikan kecap asin.
Hal tersebut yang tak saya temukan ketika mengunjungi kota lain di Korea. Busan memang dikenal sebagai kota penyuplai omuk terbesar di Korea.
Menyantap seafood pun menutup perjalanan hari pertama saya di Busan saat itu.
Catatan perjalanan wisata di Busan masih berlanjut ke halaman berikutnya...[Gambas:Video CNN] Gamcheon Culture VillageKeesokan harinya, saya pun memulai langkah perjalanan menuju Gamcheon Culture Village, kawasan pemukiman yang penuh dengan mural indah di tembok-tembok rumah.
Gamcheon Culture Village dibangun pada 1950an setelah perang Korea. Para masyarakat perlahan mulai membangun di kawasan tersebut dan mulai disebut sebagai Machu Picchu of Busan atau Kota Lego.
Pemukiman tersebut secara resmi menjadi pusat atraksi Busan sejak 2009 ketika pemerintah memutuskan memperindah Gamcheon Village.
Kawasan yang terletak jauh dari pusat kota ini lebih enak ditempuh dengan bus daripada subway. Perlu satu jam dan Rp30 ribu untuk tiba di Gamcheon Culture Village dari tempat menginap saya di kawasan Haeundae-gu.
Tanjakan serta warna-warni tembok dan atap rumah menyapa turis sebelum tiba di gerbang awal Gamcheon Culture Village.
Waktu yang banyak serta sepatu yang nyaman sangat diperlukan untuk menjelajahi Gamcheon Culture Village.
Setibanya di sana, pengunjung bisa langsung berjalan-jalan menikmati keindahan pemukiman tersebut.
Namun, turis juga bisa ke ruang informasi terlebih dahulu tepat di gerbang masuk. Di sana, pengunjung bisa membeli peta seharga 2 ribu won atau sekitar Rp24 ribu.
 Sudut berfoto. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Peta tersebut memberikan tiga jalur pilihan untuk berkeliling. Mulai dari jalur ungu dan oranye yang hanya memerlukan satu jam untuk menyelesaikan seluruh perjalanan hingga jalur biru yang memerlukan dua jam.
Perkiraan tersebut di luar waktu antre berfoto di sejumlah spot.
Salah satu spot berfoto yang sayang untuk dilewatkan sehingga memiliki antrean paling panjang adalah the Little Prince and the Fox. Saat ramai, pengunjung bisa mengantre hingga 30-45 menit di spot tersebut.
Peta yang dibeli di awal tak hanya menunjukkan arah tapi juga memiliki misi. Terdapat 12 lokasi yang menyediakan stempel sebagai tanda telah melewati kawasan tersebut.
Selain stempel, turis juga akan mendapatkan kartu pos secara cuma-cuma. Hal tersebut menjadi daya tarik bagi turis berjiwa petualang.
 Area makan minum. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Tak perlu khawatir kelaparan ketika menghabiskan banyak waktu di Gamcheon Culture Village. Banyak kafe serta restoran di pemukiman tersebut. Salah satu gang bahkan penuh dengan restoran.
Satu hal yang harus benar-benar diperhatikan ketika berkunjung ke Gamcheon Culture Village.
Meski menjadi salah satu tempat rekreasi, Gamcheon Culture Village masih ditempati oleh warga layaknya perumahan atau pemukiman pada umumnya.
Tak hanya itu, warga lanjut usia banyak dijumpai ketika berada di sana.
Sehingga, pengunjung diharapkan untuk bisa tetap menjaga ketenangan serta kenyamanan warga sekitar.
Catatan perjalanan wisata di Busan masih berlanjut ke halaman berikutnya...[Gambas:Video CNN] Jeonpo Cafe StreetJelang sore hari, saya memutuskan untuk berkeliling di pusat kota Busan. Berbekal saran dari tempat warga asli Busan, saya memilih untuk mengunjungi kawasan Jeonpo.
Memerlukan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke kawasan tersebut dengan menggunakan subway.
Jeonpo mengingatkan saya dengan Myeongdong, Seoul. Begitu banyak anak-anak muda memenuhi kawasan tersebut. Toko pakaian, skincare, kafe dan restoran terlihat di kiri dan kanan jalan.
Salah satu yang tak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke sana adalah Jeonpo Cafe Street. Sesuai dengan namanya, banyak kafe-kafe unik di kawasan tersebut. Sekilas, Jeonpo Cafe Street seperti Senopati di Jakarta.
Namun, kafe-kafe di Jeonpo Cafe Street jauh lebih kecil dibandingkan kafe di Jakarta. Kafe tersebut memiliki konsep berbeda-beda, mulai dari yang minimalis, imut nan menggemaskan hingga yang gothic dengan nuansa sedikit menyeramkan.
Perlu waktu cukup lama bagi saya untuk memilih kafe yang pas untuk beristirahat sambil menyeruput kopi. Harga kopi yang ditawarkan pun beragam mulai dari 900 won atau sekitar Rp10.800 hingga 6300 won atau sekitar Rp75.600.
Di Jeonpo juga terdapat banyak toko kopi franchise seperti Starbucks, A Twosome Place, Angel-in-Us, HOLLYS COFFEE, TOM N TOMS serta dal.komm COFFEE.
Usai beristirahat dengan menyeruput kopi dingin, saya pun memutuskan untuk window shopping sebelum akhirnya kembali ke penginapan.
Selain memiliki Shinsegae sebagai pusat perbelanjaan terbesar di Asia, Korea terutama Busan juga memiliki banyak Underground Shopping Mall bagi turis berbujet sedang seperti saya.
Sehingga, saya memilih untuk mengunjungi Seomyeon Underground Shopping Mall yang masih di kawasan Jeonpo.
Di sana, banyak baju, coat serta sepatu yang dibanderol 10 ribu won atau sekitar Rp120 ribu. Seomyeon Underground Shopping Mall terlihat seperti Mangga Dua di Jakarta dengan harga yang kadang lebih murah.
Perut kenyang, hati senang dan tangan penuh dengan tentengan, saya pun akhirnya memilih untuk kembali ke penginapan. Angin sejuk menemani akhir perjalanan saya di Busan kala itu.
[Gambas:Instagram]