Rumah bekas kediaman Panglima Angkatan Perang dipandang cukup memadai untuk tempat persidangan Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad). Fungsi baru bangunan tersebut diresmikan pada Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal Limburg Stirum.
Dalam katalog Pameran Peringatan Hari Ulang Tahun ke-300 Kota Batavia yang diselenggarakan di museum di Amsterdam pada bulan Juni dan Juli 1919, terdapat catatan bahwa Volksraad pernah digunakan juga sebagai tempat pertemuan para anggota Dewan Pemerintahan Hindia Belanda (Raad van Indie).
Kemudian pemerintah membangun gedung tersendiri untuk Raad van Indie, yaitu gedung yang ada di sebelah barat Gedung Volksraad di Jl. Pejambon No. 2.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Volksraad adalah sebuah dewan yang wewenangnya sangat terbatas. Semula Dewan hanya diberi hak untuk memberi nasehat kepada pemerintah, tetapi pada tahun 1927 dewan rakyat tersebut diberi wewenang untuk membuat Undang-Undang bersama-sama dengan Gubernur Jenderal. Tetapi wewenang itu tidak banyak berarti penting karena Gubernur Jenderal memegang hak veto.
Gedung Volksraad lalu diambil alih oleh penjajah Jepang yang saat itu menguasai Indonesia. Tahun 1943, saat Negara Matahari terbit mulai tersudut dalam Perang Pasifik, gedung ini menjadi tempat rapat penting.
Perdana Menteri Koiso dalam Taikoku Gikai atau sidang istimewa Parlemen Jepang ke-85 di Tokyo, 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia "di kelak kemudian hari nanti". Lalu pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Tujuan politik pembentukan BPUPK tersebut ialah agar rakyat Indonesia tetap memberikan dukungan kepada Jepang, sekalipun kedudukan militer Jepang di Pasifik sudah goyah.
Tugas badan ini ialah untuk mempelajari soal-soal yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, dan tata-pemerintahan yang diperlukan dalam usaha pembentukan Indonesia yang merdeka "di kelak kemudian hari".
Dalam pidato radio tanggal 9 Maret 1945, pihak Jepang mengatakan bahwa kemerdekaan itu "ibarat mendirikan gedung. Sebelum mendirikan gedung, terlebih dahulu batu besar itu haruslah dibikin sekuat-kuatnya, tetapi sebelum batu-batu besar itu diujudkan, maka perlu sekali dibikin rancangan yang sempurna."
Rapat demi rapat dilalui anggota BPUPK. Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPK, seorang anggota BPUPK yang bernama Soekarno (yang kemudian menjadi Presiden Indonesia pertama) mengkritik tugas BPUPK seperti yang dirumuskan pihak Jepang.
"Kalau benar semua ini harus diselesaikan terlebih dahulu, sampai njlimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semua tidak akan mengalami Indonesia Merdeka - sampai di lubang kubur!" ujar Soekarno.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...