Jakarta, CNN Indonesia --
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Lapangan Banteng di Jakarta sempat menjadi kawasan pusat pemerintahan.
Saat itu di sekitar Lapangan Banteng berdiri gedung-gedung pemerintahan, tempat ibadah dan fasilitas publik.
Beberapa gedung-gedung pemerintahan yang dibangun seperti Dewan Hindia Belanda (sekarang menjadi gedung Kementerian Luar Negeri), Benteng Pangeran Frederick (sekarang menjadi Masjid Istiqlal), Gereja Katolik Roma, Gereja Immanuel, Stasiun Kereta Api Gambir, Pengadilan Tinggi, Gedung Keuangan, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gedung yang terakhir kini bernama Gedung Pancasila. Sesuai namanya, gedung itu menjadi saksi bisu lahirnya Pancasila.
Gedung Pancasila tepatnya berlokasi di Jl. Taman Pejambon No. 6, Jakarta. Melihat di peta, posisinya berada dalam kompleks gedung Kementerian Luar Negeri dan letaknya "hanya selemparan batu" dari Hotel Borobudur.
Mengutip tulisan dari situs resmi Kementerian Luar Negeri, tak ada catatan resmi mengenai waktu pembangunan Gedung Pancasila.
"Beberapa literatur menunjukkan bahwa pembangunannya dilaksanakan kira-kira pada tahun 1830. Gedung tersebut awalnya dibangun sebagai rumah kediaman Panglima Angkatan Perang Kerajaan Belanda di Hindia Belanda, yang juga merangkap sebagai Letnan Gubernur Jenderal," tulis artikel mengenai Gedung Pancasila dalam situs tersebut.
Sebelumnya Panglima Angkatan Perang tinggal di gedung yang sekarang berdiri Gereja Katedral. Melalui surat keputusan tanggal 5 Desember 1828, rumah kediaman Panglima dijual kepada Yayasan Gereja Katolik dengan harga 20 ribu gulden.
Yayasan Gereja kemudian membongkar rumah tersebut dan mendirikan gereja. Karena sebab-sebab yang tidak diketahui, gereja tersebut roboh pada tanggal 9 April 1880. Akhirnya dibangunlah Gereja Katedral di tempat tersebut yang diresmikan satu dekade kemudian pada tahun 1901.
Kediaman Panglima Angkatan Perang lalu dibangun di Taman Hertog. Namanya berasal dari Hertog van Saksen Weimar yang menjabat sebagai Panglima dari tahun 1848-1851.
Nama tersebut kemudian berganti menjadi Taman Pejambon. Di sekitar Pejambon dahulu juga terdapat sebuah kompleks militer.
Panglima Angkatan Perang bermukim di Taman Hertog sampai tahun 1916. Pada tahun 1914-1917, Departemen Urusan Peperangan Hindia Belanda dipindahkan ke Bandung yang diikuti juga dengan kepindahan Panglima ke kota tersebut.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Gedung dewan
Rumah bekas kediaman Panglima Angkatan Perang dipandang cukup memadai untuk tempat persidangan Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad). Fungsi baru bangunan tersebut diresmikan pada Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal Limburg Stirum.
Dalam katalog Pameran Peringatan Hari Ulang Tahun ke-300 Kota Batavia yang diselenggarakan di museum di Amsterdam pada bulan Juni dan Juli 1919, terdapat catatan bahwa Volksraad pernah digunakan juga sebagai tempat pertemuan para anggota Dewan Pemerintahan Hindia Belanda (Raad van Indie).
Kemudian pemerintah membangun gedung tersendiri untuk Raad van Indie, yaitu gedung yang ada di sebelah barat Gedung Volksraad di Jl. Pejambon No. 2.
Volksraad adalah sebuah dewan yang wewenangnya sangat terbatas. Semula Dewan hanya diberi hak untuk memberi nasehat kepada pemerintah, tetapi pada tahun 1927 dewan rakyat tersebut diberi wewenang untuk membuat Undang-Undang bersama-sama dengan Gubernur Jenderal. Tetapi wewenang itu tidak banyak berarti penting karena Gubernur Jenderal memegang hak veto.
Masa Jepang
Gedung Volksraad lalu diambil alih oleh penjajah Jepang yang saat itu menguasai Indonesia. Tahun 1943, saat Negara Matahari terbit mulai tersudut dalam Perang Pasifik, gedung ini menjadi tempat rapat penting.
Perdana Menteri Koiso dalam Taikoku Gikai atau sidang istimewa Parlemen Jepang ke-85 di Tokyo, 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia "di kelak kemudian hari nanti". Lalu pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Tujuan politik pembentukan BPUPK tersebut ialah agar rakyat Indonesia tetap memberikan dukungan kepada Jepang, sekalipun kedudukan militer Jepang di Pasifik sudah goyah.
Tugas badan ini ialah untuk mempelajari soal-soal yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, dan tata-pemerintahan yang diperlukan dalam usaha pembentukan Indonesia yang merdeka "di kelak kemudian hari".
Dalam pidato radio tanggal 9 Maret 1945, pihak Jepang mengatakan bahwa kemerdekaan itu "ibarat mendirikan gedung. Sebelum mendirikan gedung, terlebih dahulu batu besar itu haruslah dibikin sekuat-kuatnya, tetapi sebelum batu-batu besar itu diujudkan, maka perlu sekali dibikin rancangan yang sempurna."
Rapat demi rapat dilalui anggota BPUPK. Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPK, seorang anggota BPUPK yang bernama Soekarno (yang kemudian menjadi Presiden Indonesia pertama) mengkritik tugas BPUPK seperti yang dirumuskan pihak Jepang.
"Kalau benar semua ini harus diselesaikan terlebih dahulu, sampai njlimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semua tidak akan mengalami Indonesia Merdeka - sampai di lubang kubur!" ujar Soekarno.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Ia lalu memberi jawaban berupa lima hal yang diusulkan untuk dijadikan Dasar Negara Indonesia Merdeka.
Kelima Sila tersebut adalah: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pidato tersebut telah mendapat sambutan hangat dari segenap anggota BPUPK. Menurut notulen rapat dicatat sebagai tepuk tangan yang "riuh", "riuh rendah" dan "menggemparkan".
Sejak Dasar Negara Indonesia Merdeka diucapkan, perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia yang hakiki semakin berkobar di penjuru daerah.
Pada awal tahun 1950, Gedung Volksraad diserahkan kepada Departemen Luar Negeri. Nama Gedung Pancasila mulai semakin dikenal ketika pada tanggal 1 Juni 1964 di Departemen Luar Negeri diperingati secara nasional hari lahirnya Pancasila yang dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Penunjukan Gedung Pancasila sebagai kantor Departemen Luar Negeri terasa selalu memberi bimbingan kepada Departemen Luar Negeri sebagai aparat pemerintah yang mengemban tugas menjalankan politik luar negeri agar berpegang teguh pada pedoman hidup, falsafah bangsa dan dasar negara Pancasila yakni ikut serta memajukan perdamaian dunia, keadilan sosial dan kemakmuran yang adil dan merata.
Gedung Pancasila saat ini dimanfaatkan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan internasional, seperti resepsi kunjungan petinggi-petinggi asing ke Indonesia, penandatanganan perjanjian dengan negara lain dan organisasi internasional, sampai sumpah jabatan staf Kementerian Luar Negeri.