Jakarta, CNN Indonesia --
Pandemi Covid-19 mau tidak mau membuat perempuan hanya bisa merawat diri di rumah. Namun untuk urusan bulu-bulu di sekujur tubuh, rasanya memang lebih tepat dilakukan di layanan kecantikan.
Untuk sementara, bulu di ketiak, kaki, tangan, area intim juga bagian atas bibir dibiarkan begitu saja.
Akan tetapi, sebenarnya sejak kapan perempuan dituntut untuk memiliki tubuh bersih bebas bulu?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau Anda ingat, beberapa selebriti dunia terkesan cuek dengan bulu di tubuh mereka. Tahun lalu, model dan presenter Ashley Graham malah mengunggah foto di mana bulu ketiaknya terpampang nyata. Lady Gaga tampil di panggung pada 2011 dengan bulu ketiak berwarna biru tosca.
Rupanya 'mandat' untuk memiliki tubuh bebas bulu dibebankan pada perempuan sejak awal abad 20. Sebelumnya, baik perempuan maupun laki-laki menggunakan kulit kerang, lilin lebah dan berbagai obat untuk menghilangkan bulu.
Victoria Sherrow dalam 'Encyclopedia of Hair: A Cultural History' menuliskan tubuh bebas bulu dilihat sebagai cara menjaga kebersihan tubuh. Orang Romawi kuno bahkan menganggap seseorang semakin murni dan superior saat kulit halus dan bersih.
Di Timur Tengah, juga Asia Selatan dan Timur terbiasa melakukan threading untuk membersihkan bulu di area wajah. Wilayah-wilayah lain di Asia pun perempuan umum melakukan waxing (pencabutan bulu dengan gula cair) dan trimming (memotong) bulu pubis. Namun, ini tidak umum di negara-negara Barat.
Kemudian di Abad Pertengahan, perempuan Katolik yang baik diharapkan membiarkan rambut tumbuh untuk menyimbolkan feminitas, tapi mesti disembunyikan di depan umum.
Di abad 14, perempuan akan mencabut rambut dari dahi mereka untuk mendorong garis rambut ke belakang dan wajah terlihat lebih lonjong.
Darwin bicara soal bulu tubuh
Temuan alat cukur untuk laki-laki pada 1760 pun tidak membuat perempuan melihat aktivitas menghilangkan bulu itu penting. Baru di akhir 1800-an, perempuan mulai memasukkan aktivitas ini dalam rutinitas kecantikan mereka.
Hal ini bisa ditelusuri dalam buku 'Descent of a Man' tulisan Charles Darwin (1871). Rebecca Herzig mengulasnya dalam buku 'Plucked: A History of Hair Removal'.
Teori seleksi alam Darwin mengaitkan bulu tubuh dengan "keturunan primitif dan kembalinya atavistik ke bentuk sebelumnya yang 'kurang berkembang'," tulis Herzig seperti dikutip CNN.
Sebaliknya, kalau bulu tubuh lebih sedikit, ini jadi tanda orang lebih berkembang dan menarik secara seksual.
Saat gagasan ini dipopulerkan, pada abad 19 ahli medis dan ilmiah menghubungkannya bulu tubuh dengan penyakit, kegilaan dan kekerasan bernuansa kriminal. Namun konotasi ini sebagian besar disematkan pada tubuh perempuan, bukan laki-laki.
Ada semacam upaya peningkatan 'kontrol sosial gender' dalam peran perempuan dalam masyarakat.
Heather Widdows, profesor etik global di University of Birmingham, menjelaskan hal ini membuat perempuan berpikir mereka harus bebas bulu untuk dianggap layak diperhatikan. Pun ini jadi cara heteronormatif untuk mengendalikan tubuh mereka.
Di awal 1900-an, orang kulit putih kelas atas dan menengah Amerika makin melihat kulit halus menandakan feminitas. Namun kulit dengan bulu atau rambut dianggap menjijikkan sehingga perlu dihilangkan.
Kemudian awal abad 20, perkembangan industri mode termasuk model busana tanpa lengan membuat perempuan merasa perlu menghilangkan bulu di tubuhnya.
Pernah dengar istilah 'Brazilian wax'?
Pada 1987, J Sisters atau tujuh perempuan bersaudara dari Brasil membuka salon di New York City menawarkan layanan 'Brazilian' atau penghilangan bulu pubis secara total. Ini pun jadi tren hingga merambah kalangan selebriti seperti Gwyneth Paltrow dan Naomi Campbell.
"Menyingkirkan bulu tubuh jadi berubah dari yang 'diharapkan' norma. Menjadi tidak berbulu telah dilihat sebagai satu-satunya cara 'alami' dan bersih untuk menampilkan tubuh. Tapi sebenarnya tidak," kata Widdows.
Perempuan makin tak percaya diri
Standar kecantikan dari waktu ke waktu memang terus berubah. Sempat ada masanya di mana perempuan yang cantik itu tubuhnya berisi karena dipandang bisa melahirkan keturunan yang sehat.
Sekarang tak hanya tubuh ideal, kulit putih dan rambut hitam panjang, tetapi juga kulit mulus bebas bulu.
Psikolog klinis Veronica Adesla mengamini memang ada anggapan bahwa perempuan itu bersih, rapi dan berkaitan dengan tanpa bulu.
Sedangkan laki-laki dikaitkan dengan bulu atau rambut yang berantakan, seakan-akan tidak terawat.
"Perempuan ada [harus memenuhi] ekspektasi tubuh yang terawat, rapi, bersih, lebih memperhatikan diri dibanding laki-laki. Dari dulu kan laki-laki lekat dengan pekerjaan kasar, enggak ada waktu untuk mikirin merawat tubuh. Sementara perempuan yang kerjanya tidak sekasar itu, lebih ada waktu untuk memperhatikan tubuh," kata Veronica pada CNNIndonesia.com lewat telepon, Senin (2/8).
Saat ekspektasi ini tidak dipenuhi, semisal perempuan membiarkan bulu kaki dan tangan tumbuh lebat dan hitam, ada bulu halus di atas bibir, kemungkinan akan timbul rasa tidak percaya diri.
Standar atau stigma bahwa tubuh perempuan harus bersih dan bebas bulu ternyata turut mempengaruhi pandangan perempuan terhadap tubuhnya sendiri.
"Perempuan pun merasa, kurang cantik ya aku? Mau keluar rumah saja enggak pede [percaya diri]," imbuhnya.
Akan tetapi memang dari segi higienitas dan kesehatan, area tubuh tertentu memang perlu lebih dirawat berkaitan dengan pertumbuhan bulunya. Veronica menganggap trimming pada bulu pubis tetap perlu dilakukan untuk mengurangi risiko kelembapan dan pertumbuhan bakteri atau jamur.
Area ketiak pun perlu perhatian dengan trimming atau mencukur karena pada beberapa orang pertumbuhan bulu tak terkendali membuat keringat lebih banyak. Saat keringat bertemu bakteri, bau badan pun sulit dihindari.
"Di sini yang penting, menerima diri dan tidak terpaksa akan hal yang dilakukan. Untuk jaga kesehatan? Enggak masalah," katanya.