Jakarta, CNN Indonesia --
Suasana pagi masih terasa di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, saat saya menginjakkan kaki di sana pada Senin (27/9) untuk menjajal wisata sejarah dan wisata kuliner.
Cikini merupakan salah satu kawasan yang digadang menjadi destinasi urban tourism (wisata perkotaan) di DKI Jakarta, bersama Kota Tua, Pecinan, Menteng, Pasar Baru, Pantai Indah Kapuk, Pluit, Jatinegara, Blok M, dan Senayan.
Kalau ditanya soal Cikini, ingatan saya langsung tertuju pada patung yang bertengger bundaran jalanan dekat Stasiun Gambir. Patung tersebut berwujud perempuan yang menyodorkan semacam piring, dan pria yang hendak mengambil sesuatu dari piring itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Patung itu dikenal sebagai Patung Pahlawan atau Tugu Tani, salah satu ikon Jakarta karya pematung asal Uni Soviet (Rusia kala itu), Matvey Manizer dan Ossip Manizer.
Konon, ide pembuatan patung itu didapat ketika Manizer datang ke Indonesia tahun 1960. Saat itu, Manizer mendengarkan cerita seorang ibu yang mengatakan kalau anaknya ikut berjuang melawan penjajah di Indonesia.
Manizer tersentuh dengan tutur sang ibunda yang amat mendukung buah hatinya. Setelah pulang ke Rusia, pada tahun yang sama, ia lalu membuat patung dengan bahan perunggu. Patung itu dikirim ke Jakarta tahun 1993 sebagai hadiah dan bentuk persahabatan Indonesia dan Rusia.
Saat ini, patung bersejarah itu masih bisa dilihat di tengah riuhnya silang jalan menuju ke arah Gambir, Senen, Kebon Sirih, dan Cikini. Berdiri tegar dan setia, seperti kasih sayang ibu kepada anaknya.
 Patung Tugu Tani, ikon Jakarta. Dibuat oleh pematung asal Uni Soviet (Rusia kala itu), yaitu Matvey Manizer dan Ossip Manizer. (CNNIndonesia/Yulia Adiningsih) |
Sarapan di Bubur HR Sulaeman
Selintas menikmati pemandangan Tugu Tani, saya bergegas ke kedai bubur HR Sulaeman untuk mengisi perut yang kosong. Bubur ini juga dikenal dengan Bubur Cikini (Burcik). Bubur legendaris yang sudah ada sejak tahun 1960-an dibuat oleh pria bernama Sulaeman.
Awalnya, Burcik ini tidak dijual di kedai, melainkan di gerobak. Namun, seiring berjalannya waktu, bubur racikan Sulaeman itu makin banyak penggemarnya. Bisnis kulinernya itu lantas semakin berkembang, hingga ia bisa membeli sebuah kedai untuk berjualan.
Bukan cuma legendaris, rasa bubur legendaris itu tak bisa dipungkiri kenikmatannya. Saat semangkuk bubur mendarat di meja, aroma gurih langsung tercium.
Rasa buburnya original, tidak ada rasa penyedap rasa berlebihan. Suiran ayam dan cakue yang memberi rasa guruh pada tiap sendoknya. Di bawah tumpukan bubur, tersembunyi telur setengah matang. Kenikmatan semangkuk bubur ini dilengkapi dengan tumpukan emping.
Menu Bubur Telur ini dihargai Rp29 ribu per porsi. Selain bubur telur, ada juga bubur Cikini dan Bubur Putih.
 Bubur HR Sulaeman, bubur legendaris yang sudah ada sejak tahun 1960-an. (CNN Indonesia/Yulia Adiningsih) |
Cuci mata di pasar
Bubur sudah di perut, saya jadi punya tenaga lagi untuk berkeliling di kawasan Cikini pagi itu. Sayangnya, Taman Ismail Marzuki masih ditutup karena proyek revitalisasi dan aturan PPKM. Padahal di sana ada banyak tempat wisata bersejarah, mulai dari Graha Bakti Budaya, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, sampai Planetarium. Begitu juga dengan dengan Museum Joang 45 yang berada tak jauh dengannya.
Jadilah iseng berjalan kaki ke arah Pasar Bunga Cikini. Jaraknya sekitar 130 meter dari kedai Bubur HR Sulaeman.
Warga menyebut area ini Pasar Kembang. Luasnya hingga ke bawah Stasiun Cikini. Lapak yang dibuka biasanya merupakan bisnis keluarga turun temurun.
Semerbak harum dan warna bunga menyegarkan hidung dan mata saya. Tapi nampaknya pandemi virus corona tak membuat banyak lapak terlihat sibuk. Kalaupun ada, berarti sedang ada pesanan karangan bunga "Turut Berduka Cita".
 Suasana Pasar Bunga Cikini, Jakarta, Rabu (29/9). (CNNINdonesia/Adhi Wicaksono) |
Tak jauh dari Pasar Kembang, saya kembali melanjutkan ke Pasar Cikini Ampiun, area berdagang sembako sampai emas andalan warga Jakarta Pusat selain Pasar Tanah Abang yang sudah eksis sejak tahun 1962.
Meski sama-sama pasar, Pasar Cikini Ampiun berbentuk gedung dengan enam lantai. Sebelum direnovasi, pasar ini hanya terdiri dari dua lantai.
Pasangan yang hendak melangsungkan lamaran atau pernikahan pasti sudah tak asing lagi dengan pasar ini. Segala pernak-pernik pesta bisa dibeli, mulai dari keranjang seserahan sampai cincin kawin.
Sama seperti Pasar Kembang, geliat bisnis di sini juga terlihat lesu hari itu. Kemungkinan karena PPKM membuat resepsi pernikahan tak lagi digelar besar-besaran, sehingga pernak-pernik pesta belum lagi jadi kebutuhan utama untuk meresmikan ikatan cinta.
 Pasar Cikini Ampiun yang sudah dimodernisasi. (CNNIndonesia/Yulia Adiningsih) |
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Ngopi
Dari Pasar Cikini Ampiun, saya meluncur ke Bakoel Koffie. Bisa dibilang ini salah satu kedai kopi tertua di Jakarta. Setiap foto estetik yang diunggah di media sosial pasti pernah berlatar belakang ruangan dalam atau teras kedai kopi ini.
Kedai kopi ini telah ada sejak tahun 1878, didirikan oleh seorang imigran asal China bernama Liauw Tek Soen bersama istrinya yang warga asli Indonesia.
Sebelum tenar sebagai Bakoel Koffie, kedai ini mulanya disebut Warung Tinggi yang menjual lauk pauk plus kopi. Lokasinya di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Warung nasi itu ramai didatangi pengayuh becak.
Tahun 1927, Warung Tinggi semakin dikenal berkat menu kopinya. Akhirnya Liauw Tek Soen mendirikan pabrik kopi rumahan bernama Tek Soen Hoo.
Usaha Warung Tinggi semakin berkembang pesat, hingga berhasil mengekspor bubuk kopi ke Belanda.
Tahun demi tahun, pengelolaan Warung Tinggi diwariskan ke anak-anak Liauw Tek Soen, hingga akhirnya muncul kedai Bakoel Koffie di tepi jalan Cikini pada 1970.
Hingga saat ini, Bakoel Koffie punya cabang di Senopati, Bintaro, Kelapa Gading, dan Kuningan.
Siang itu saya memesan Vocado Frost Koffie. Percampuran antara jus alpukat dengan kopi yang ajib. Harganya Rp65 ribu.
 Teras Bakoel Koffie Cikini. (CNN Indonesia/Yulia Adiningsih) |
Saat ditanya apa menu yang paling sering dipesan, pelayan menjawab Americano, Espresso, Cappuccino, Piccolo, dan Latte. Kedai ini juga menyediakan menu non-kopi seperti teh dan jus buah.
Karena sudah waktu jam makan siang, saya sekaligus memesan menu Nasi Sop Iga. Harganya Rp100 ribu per porsi. Kaldunya sangat terasa.
Pukul 13.00 WIB saat itu, seorang teman menyusul saya ke Bakoel Koffie. Ia memesan segelas Vokado Frost Koffie Less (yang lebih minim kopi) dan Nasi Kebuli. Tak perlu ditanya rasanya, minuman dan makanan ini kami santap sampai ludes.
Suasana Bakoel Koffie di Cikini yang santai membuat kami betah untuk duduk berlama-lama di sana.
Karena masih pandemi, kami tak bisa ngopi lebih lama lagi di sini ini. Akhirnya kami keluar dan duduk di bangku-bangku jalan, tak jauh dari Bakoel Koffie.
 Suasana Bakoel Koffie Cikini. (CNN Indonesia/Yulia Adiningsih) |
Tan Ek Tjoan
Hingga tahun 2015, ada pabrik dan toko roti Tan Ek Tjoan yang berdiri tak jauh dari Bakoel Koffie.
Saat ini, pabrik dan tokonya pindah ke kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak lagi mengizinkan keberadaan pabrik di pusat kota.
Meski demikian, gerobak sepeda Tan Ek Tjoan masih banyak ditemui di kawasan Cikini. Saat menemukan sosok abang roti yang sedang berteduh di pinggir jalan, saya langsung membeli Roti Gambang.
Roti Tan Ek Tjoan didirikan oleh Tan Ek Tjoan dan istrinya Phia Lin Nio pada tahun 1921 di Bogor, Jawa Barat. Kala itu di sana, pelanggannya kebanyakan orang Belanda.
Namun, Wakil Presiden Indonesia pertama, Bung Hatta, juga termasuk salah satu pelanggannya. Ia pernah menyuruh supirnya turun ke toko Roti Tan Ek Tjoan untuk membelikan beberapa roti demi menemaninya sepanjang perjalanan dinas di Bogor.
Baru pada tahun 1950, pabrik dan tokonya dibuka di Cikini. Hingga akhirnya usaha toko ini diwariskan ke anak cucu Tan Ek Tjoan yang kebanyakan bermukim di Belanda.
Produk pertama dan paling legendaris dari Tan Ek Tjoan adalah Roti Gambang, berupa roti yang diolah dengan gula aren. Teksturnya keras, namun begitulah adanya. Mengunyahnya seakan bernostalgia.
Jadi, saat wisata di Cikini dan bertemu gerobak Roti Tan Ek Tjoan, sempatkanlah membelinya selagi tersedia.
 Gerobak Roti Tan Ek Tjoan yang ditemukan di pinggir jalan Cikini. (CNNIndonesia/ Yulia Adiningsih) |
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Tjanang Ice Cream
Wisata kuliner legendaris di Cikini saya hari itu berlanjut ke Tjanang Ice Cream. Es krim langganan Presiden Indonesia pertama, Bung Karno.
Tjanang Ice Cream bisa didapatkan di Hotel Cikini. Dulu kedainya menduduki lahan tempat penginapan ini. Salah satu petugas hotel, merangkap menjadi pelayan es krim Tjanang itu.
Saya memesan es krim Tjanang rasa kopyor dan langsung menyantapnya. Memang rasa kelapanya sangat terasa dan khas. Saat es krim itu bertemu dengan lidah, rasanya matahari yang masih terik di Cikini sore hari itu tiba-tiba bisa dikompromi. Es krim ini bisa dibeli dengan harga mulai Rp15 ribu.
"Dulu ada tempat sendiri di sini, tapi sekarang tinggal begini saja, penjualannya dititipkan," ujar sang petugas hotel, yang lanjut mengatakan kalau rasa durian pun jadi favorit pembeli.
 Lemari pendingin Tjanang Ice Cream di Hotel Cikini. (CNN Indonesia/Yulia Adiningsih) |
Dari dokumentasi yang dipampang di atas pendingin es krim, terlihat masa-masa kejayaan Tjanang yang dibangun oleh Sim Fie.
Sebuah foto memperlihatkan bangunan toko besar dengan papan nama 'Tjan Njan', nama awal es krim Tjanang sebelum akhirnya "dipribumikan".
Es krim Tjan Njan bahkan sampai dipesan oleh Bung Karno untuk menjamu peserta Games of the New Emerging Forces atau Ganefo di Jakarta pada tahun 1963.
Saat ini, Tjanang Ice Cream dikelola generasi kedua dan masih terus bertahan di tengah gempuran zaman, juga bersama Ragusa dan Baltic yang cabangnya juga pelopor es krim legendaris di Indonesia.
 Papan nama Tjanang Ice Cream. (CNN Indonesia/Yulia Adiningsih) |
Restoran Trio
Sore berganti malam, jalanan di Cikini semakin ramai oleh kendaraan dan pejalan kaki. Penurunan jumlah kasus virus corona di Jakarta nampaknya mulai mengembalikan kesibukan kota ini.
Tadinya saya dan teman ingin mengunjungi Megaria untuk nonton bioskop atau makan pempek legendarisnya, namun ia mendadak harus menyelesaikan tugas kantor di rumahnya.
Dia pergi pulang dan saya melanjutkan pelancongan terakhir ke Restoran Trio. Tempat makan legendaris yang sudah buka dari tahun 1947.
Awalnya saya ingin makan di Restoran Oasis, namun sayang sekali restoran legendaris itu sudah tutup dan berganti dengan restoran yang menyediakan menu mi instan dan buka 24 jam.
Restoran Trio didirikan oleh Lam Khai Tjioe, seorang imigran dari China. Restoran inj dikelola secara turun temurun. Kini, restoran itu dipegang oleh anaknya, Lam Hong Kie atau Effendy.
Sederet pejabat dan artis seperti Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok, sampai aktor Tora Sudiro menjadi pelanggan restoran ini.
"Kalau Pak Tjahjo Kumolo sebelum di PDI Perjuangan masih makan dia," kata Widodo, salah satu pelayan di Restoran Trio.
"Selama Covid sering, cuman kadang-kadang sebulan dua kali. Pesen cuman take away. Gak makan di sini," tambahnya.
 Menu di Restoran Trio. (CNNIndonesia/Yulia Adiningsih) |
Malam itu saya memesan Lumpia Udang Ala Trio, Soup Asparagus Telor Kepiting dan es kelapa kopyor. Lumpia udangnya terasa halus dan segar. Lebih enak dicocol ke dalam saus merah asam manis.
Lalu, asparagusnya lembut dan telur kepitingnya terasa sekali. Dicampur atau tidak dengan nasi, asparagus itu tetap enak. Setelah semuanya habis, saya seruput es kelapa kopyor itu. Rasa segar mengalir ke dalam kerongkongan saya.
Para penjaga restorannya ramah. Meski saya sendiri menyantap makan, tapi suasanya terasa hangat. Usai makanan habis, saya tak langsung pulang.
Sisa-sisa waktu saya habiskan dengan berbincang-bincang dengan mereka. Ditemani suara mesin kendaraan yang hilir mudik melintasi Restoran Trio.
Aturan PPKM membuat Restoran Trio harus tutup lebih cepat, sekitar jam 20.00, sehingga saya harus segera angkat kaki dari sana.
Saat di perjalanan pulang ke rumah, saya berpikir mungkin akan kembali lagi di Cikini di akhir pekan mendatang, karena sejarah dan keriaan di kawasan itu rasanya tak bisa selesai dipahami dalam sehari.
Tentu saja wisata di Cikini bakal sangat menarik jika paket wisata walking tour (wisata jalan kaki) yang digagas Pemprov DKI Jakarta sudah tersedia, karena mengunjungi tempat bersejarah memang paling nikmat sembari mendengar langsung kisahnya.
Di tengah pandemi virus Corona, perjalanan wisata masih dikategorikan sebagai perjalanan bukan darurat, sehingga sebaiknya tidak dilakukan demi mencegah penyebaran dan penularan Covid-19, terutama di daerah yang masih minim fasilitas kesehatannya.
Jika hendak melakukan perjalanan antarkota atau antarnegara, jangan lupa menaati protokol kesehatan pencegahan virus Corona, dengan mengenakan masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak fisik antarpengunjung. Jangan datang saat sakit dan pulang dalam keadaan sakit.